Ini tulisan lama yang baru saya rampungkan semalam. Sejak pulang menyaksikan mereka, rasanya saya harus menulis sesuatu. Hanya entah kenapa saya selalu merasa khawatir apa yang saya tulis tidak mewakili apa yang saya alami. Belakangan saya menemukan tulisan resensi penampilan mereka yang lain, pada akhir tulisan sang penulis memberi peringatan “Bagaimanapun, mirip dengan musik mereka, penampilan mereka tak bisa dijelaskan dengan tulisan apapun, kecuali lewat proses menghampiri dan merengkuhnya. Godspeed You! Black Emperor adalah sebuah proses mengalami”. Saya sedikit lega dan saya putuskan disimpan di sini sekaligus merayakan berakhirnya tahun luar biasa ini.
****
I
Inhaler saya sudah hampir tidak berfungsi. Saya mencoba menguatkan diri karena saya pikir pesawat sudah mendarat dan tak lama lagi saya bisa mencari tempat beristirahat atau lokasi medis terdekat. Namun ternyata tidak semudah itu. Jarak dari pesawat mendarat ke tempat pengambilan barang bagasi di LCCT ternyata cukup jauh. Bahkan sangat jauh dibandingkan airport Husein Sastranegara. Nafas saya semakin pendek-pendek.
Saya berjalan sekitar 1 km ke pojokan bagasi tersebut dan kemudian 300 meter lagi menuju halte bus yang harus saya naiki menuju pusat kota Kuala Lumpur. Di antara nafas satu-dua yang tersisa di ujung tenggorokan dan pandangan yang mulai memudar, saya mencoba menelpon Ahmad dan Fahmi, kawan lama disana, namun entah mengapa telepon genggam saya tidak berfungsi.
Sedikit nekat, saya mengira-ngira bus tujuan mana yang bisa membawa saya ke pusat kota. Saya langsung naik dan memilih duduk dekat AC tepat di belakang supir bus, mencoba menenangkan dan merebahkan diri. Ashma datang dalam hidup saya baru beberapa minggu sebelumnya saja. Saya masih sering bingung dan tak siap tanggap membiasakan diri dengan serangan-serangan mendadak yang waktunya tak bisa saya perkirakan. Menurut dokter ashma kumat karena ada pemicunya. Sampai hari keberangkatan itu saya tak tahu apa pemicunya. Siang itu lah yang terburuk.
Namun demikian, kekhawatiran saya pada hari itu ada di lain perkara dan dengan kondisi seperti itu, bisa dibilang sungguh tidak pada tempatnya. Bukan soal diserang ashma di kampung orang yang saya tak tahu harus kemana cari obat dan pertolongan medis, atau perkara potensinya mengagalkan rencana menikmati konser paling terencana yang pernah saya lakukan. Kekhawatiran saya ada dalam hal yang berlebihan; bagaimana jika konser malam nanti tak memenuhi ekspektasi saya selama ini.
Ini bagian yang agak sulit saya jelaskan, karena Godspeed You Black Emperor (dimanapun tanda seru dipasang pada nama mereka) tidak saya anggap sekedar band, bahkan mungkin bukan band. Ia mirip sebuah ide dari sebuah buku. Emosi dari sebuah film. Euforia dari sebuah perayaan, kemarahan pada aksi protes dan harapan dari sebuah doa. Dengan segala mistifikasi identitasnya, GYBE sendiri bagi saya secara personal lebih dari sekedar sebuah grup musik yang memiliki beberapa kumpulan lagu dalam beberapa album dalam satu rentang waktu.
Mereka memang tidak pernah membuatnya mudah. Saya bisa memulainya dari nama mereka yang agak sulit diingat sepintas dan berusaha mereka coba untuk tidak dekatkan dengan makna apapun kecuali nama itu sendiri. Mereka berjumlah sembilan orang dan mereka tidak sedang memainkan orkestra. Di awal eksistensi mereka, GBYE memberlakukan kode etik bagi mereka sendiri; tak ada penyanyi, tak ada pemimpin, tak ada wawancara, t-shirt dan tak pernah ada photo press. Mungkin karena itu saya tak pernah tau seperti apa wajah-wajah mereka, karena memang tidak perlu. Dengan jumlah anggota sebanyak itu, GYBE pula berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah anarki dalam praktek. Bagaimana mereka mengatur ketidakteraturan tanpa pimpinan dengan indah. Dengan output yang dihasilkan mereka selama ini, ide tentang anti-hirarki dan anti-otoritarian terlihat bukan saja memungkinkan, namun juga menarik.
Usaha mereka yang menolak bermain musik dengan aturan yang di set oleh industri pada prosesnya menghasilkan mitologi totalitas pembangkangan yang tak pernah dilakukan oleh band punk politis manapun. Mitologi itu sedemikian rupa bekerja, tentang apa dan siapa mereka, tentang musik mereka, tentang segala sesuatu diluar musik mereka, sedemikian rupa lahir dan beredar namun bukan mereka yang mengisahkan narasinya, mereka lebih memilih membiarkan orang lain yang melakukannya.
Lagu mereka bukan seperti lagu yang sering kita dengar dan bayangkan. Berdurasi rata-rata lebih dari 15 menit, berunsurkan drones panjang, struktur yang repetitif di satu momen, kebisingan dan sunyi di banyak babak, suara kaset loop crackling piringan hitam dan gerimis dan letupan-letupan crescendo sebelum kembali hening. Lagu mereka instrumental, nir-vokal. Beberapa orang menyebutnya post-rock atas alasan memakai instrumen rock untuk bermain-main dengan tekstur dan kontras, volume dan hening, melodi dan disonan. Namun GYBE melampaui apapun yang orang maksud dengan makna post-rock.
Mereka tidak sedang bermain-main dengan frasa Mc Luhan, medium adalah pesan itu sendiri. Mereka melampaui itu. Dalam satu wawancaranya, mereka menegaskan;“Music should be about things are not OK, or else shouldn’t exist at all. The best songs ever are the songs that ride that line. We just try to get close to that perfection.” Mereka tidak mencoba bermain netral di hadapan kebusukan dunia, dan berujar seperti kebanyakan musisi; “Kami hanya musisi yang hanya bermain musik”. Mereka berusaha untuk membuat musik berbicara lebih banyak dari kata-kata karena mereka paham keterbatasan representasi kata-kata. Mereka paham betul kata bisa memenjarakan ide, pesan dan imajinasi. Mereka pula tak sedang menjadi band politis, mereka ingin lebih dari itu. Mereka ingin hadir menjadi semua dan sekaligus bukan semua.
Namun demikian, GBYE tak pernah meninggalkan kita tanpa clue. Ia hadir dalam banyak bentuk. Pada sebuah diagram yang digambar tangan pada isi sampul album mereka, berupa peta yang menunjukkan relasi setiap perusahaan rekaman major dengan industri militer. Judul lagu yang menunjukkan tanggal pertama Intifada meletus di jalur Gaza dan nama seorang penjahat perang di Bosnia. Foto anjing yang selalu berada ditengah demonstrasi di Yunani, graffiti protes terhadap regulasi ekonomi di Quebec, dan foto dramatis beberapa detik sebelum bom dijatuhkan. Imaji-imaji itu hadir berhimpitan dengan foto indah lanskap entah dimana, foto buram rel kereta, dandelion di tengah padang dan pemandangan pantai dari sebuah jendela yang nyaris rapuh.
Teks pula hadir dalam beragam bentuk yang menempel pada musik mereka; potongan rekaman puisi tentang dunia pasca apokalips, seorang tuna wisma yang membayangkan tempat yang cocok untuk bunuh diri ketika bursa saham runtuh atau rekaman wawancara jalanan dengan seorang bernama Bailey Finnegan yang merapalkan kalimat-kalimat kebencian bagi negara dan otoritas di satu siang yang tak bersabahat dan merapal ulang lirik Iron Maiden. Di tengah crescendo tiga gitar dan sayatan biola, rasanya teks-teks tadi memiliki nyawa lebih dari sekedar teks.
GYBE datang di waktu yang tepat dalam hidup saya. ‘Datang’ mungkin bukan kata yang terlalu tepat, karena ia tidak datang begitu saja. Era itu adalah senjakala keoptimisan kawan-kawan pada perubahan. Tahun demoralisasi. Setahun setelah Yun Hap tertembak di depan Semanggi dan malam terbakar bersama harapan mereka yang tergusur dari jalur utama protes jalanan. Beberapa bulan setelah saya kehilangan seorang sahabat yang tewas overdosis dan memakamkannya di suatu pagi yang tak tahu diri meminta diingat selama beberapa malam kemudian terjaga pada rasa bersalah. Era yang tak begitu lama datang sejak runtuhnya keyakinan kami pada menara-menara suar perubahan dan narasi-narasi besar.
Seorang sahabat memutarnya pada suatu malam saat saya berkunjung ke kamarnya, mematikan lampu dan meminta saya duduk dan mendengarkan. Saya masih ingat momen itu berawal; drones, berisik bisik desis kaset dan suara baritone seseorang yang bersuara menahan untuk tidak putus asa, berujar “the car’s on fire and there’s no driver at the wheel, and the dark wind blows” sebelum kemudian suara biola menggiring saya pada 17 menit paling menggetarkan selama hidup saya mendengarkan musik. ‘Dead Flag Blues’ adalah fragmen pertama saya bersentuhan dengan musik mereka.
GYBE tak hanya merubah banyak pandangan saya tentang musik namun pula pada dunia, pada ide-ide tentang merubah dunia dan apa yang harus dilakukan di hadapannya ketika harapan runtuh dan hidup harus dilanjutkan. Entah berapa kali saya menulis perihal GYBE dan inspirasi-inspirasi yang datang dari musik dan eksistensi mereka. Entah berapa kali pula saya curi elemen musik mereka untuk saya sample selama dahulu bersama Homicide.
GYBE vakum sejak 2002, pasca mereka merilis “Yanqui UXO”. Mereka kembali di akhir 2012 lalu dengan tiba-tiba, merilis album baru mereka “Allelujah! Don’t Bend! Ascend!” yang bersuara tetap seperti dahulu dengan petualangan baru, tak kurang sedikitpun. Tur ini mungkin bagian dari rangkaian perjalanan mereka mempromosikan album itu, mungkin juga bukan. Yang pasti, saya bukan tipe orang yang memburu konser dengan rutin, dompet saya tak pernah sering mengizinkan. Namun ketika mendengar mereka akan mengunjungi Kuala Lumpur dan tak akan singgah di sini, rasanya ada yang harus dilakukan dengan segera. Serangan ashma pertama datang tepat di tengah kesibukan saya menjual-jual barang untuk membeli tiket, dan terus berlanjut setiap hari dengan intensitas meningkat hingga harinya tiba, tanggal 18 di bulan April lalu.
Selama di bus saya berusaha memejamkan mata berharap tidur, namun sebaliknya saya mengalami halusinasi parah, berada antara perasaan ada dan kosong. Berulang kali saya pompakan isi inhaler dan tetap tidak berdampak apapun. Saya berusaha mengumpulkan konsentrasi untuk memeriksa apa yang salah dengan telepon genggam saya, itu satu-satunya harapan untuk bisa mengontak dua sahabat saya di Kuala Lumpur yang sudah menjanjikan untuk menjemput. Dengan sisa-sisa kewarasan akhirnya saya menemukan betapa bodohnya saya, lupa menonaktifkan fungsi airplane mode setelah turun dari pesawat. Saya langsung menanyakan pada Ahmad dan Fahmi di mana saya harus turun dan memastikan mereka ada di sana. Saya sungguh berharap klinik medis tak jauh dari situ.
Saya sampai di KL Sentral dengan nafas lebih pendek dari sebelumnya. Perjalanan dari bandara LCCT ke Sentral memakan waktu 45 menit. Ransel sudah terlalu berat rasanya, saya lepaskan dari bahu dan saya seret. Supir bus menurunkan saya di basement dan saya mati-matian menaiki elevator yang mati tepat ketika Fahmi mengirim pesan teks memberi tahu ia sudah ada di tempat penjemputan.
Dengan kekritisan seperti itu, kekhawatiran perihal konser nanti malam masih tersisa. Bagaimana jika konser ini menjadi momen anti-klimaks dari hubungan emosional saya dengan GYBE? Bagaimana jika konsernya tak lebih baik dari konser Mogwai di Bandung tempo hari? Bagaimana jika ternyata saya membuat-buat mistifikasi musik dan eksistensi mereka di benak saya sendiri sedemikian rupa sehingga lupa pada suatu wawancaranya, mereka pernah menegaskan ‘we are just a band’.
Fahmi membawa saya ke sebuah klinik kecil mirip puskesmas. Tabung oksigen menolong saya kembali bernafas normal. Seorang dokter keturunan India memberi saya resep obat dan kami pergi tak lama kemudian ke rumah seorang sahabat lama, seorang veteran punk KL, Joe Kidd gitaris Carburetor Dung, beristirahat sambil menunggu malam tiba.
******
II
Di antara suapan nasi lemak, Joe Kid bercerita tentang tempat yang akan kami datangi nanti. Fahmi juga bercerita perihal beberapa spot yang dulu pernah menjadi tempat bersejarah bagi scene musik KL. Kami berjalan kaki menuju venue, bertemu Ahmad dan kawan-kawan lama dari scene KL lainnya. Nafas saya jauh membaik. Bullet, rekan Joe Kidd di Carburetor Dung, merekomendasikan inhaler yang biasa dia pakai. Ia bilang efeknya mujarab namun tak lama. Tak masalah, selama malam ini saya bisa melewati dan menikmati konser dengan sukses, inhaler itu akan saya pegang selama konser untuk berjaga.
Pukul 8 malam, setengah jam sebelum konser dimulai, kami sudah berada di depan pintu masuk. Saya melihat sekeliling, baru sadar jika ini konser pertama yang saya datangi tanpa seorangpun memakai kaos band yang akan tampil, karena kaos GYBE memang tak pernah ada. Selintas ada suara mendengung dari dalam venue, saya langsung berfikir mereka sedang mengetes alat dan bersiap. Dengan antusiasme yang cukup aneh saya pamit pada beberapa kawan yang masih nangkring, saya memutuskan untuk masuk duluan. Rasanya sampai momen check sound pun saya ogah melewatkan.
Sesampai di dalam saya kaget. Ternyata suara tadi bukan suara mereka menyiapkan alat. Namun suara drones yang persis ada pada di menit awal “Dead Flag Blues”, lagu pertama dari album mereka ‘F#A#Infinity’. Ternyata pula mereka sudah ada di atas panggung meski belum berada di area tengah. Drones itu datang dari suara yang dihasilkan gitar dibiarkan mendengung dan saya baru tersadar sebenarnya konser sudah dimulai. Drones itu pembukanya.
Selama hampir setengah jam suara itu mengalun, semua kawan sudah masuk dan mulai memilih spot. Saya memilih berada tepat di depan, di pagar pembatas panggung. Catatan pun bertambah; Ini pula konser pertama yang saya saksikan dimana musisi yang tampil sudah berada duluan di panggung sebelum para penonton datang.
Drones bersuara semakin keras. Tiba-tiba semua lampu padam. Saya berasumsi lampu panggung menyala, karena itu yang biasa terjadi pada konser musik. Lagi-lagi saya salah. Panggung tetap temaram seperti sebelumnya, bahkan nyaris pula gelap. Sedikit nyala berasal dari penerangan untuk alat-alat yang mereka pakai. Saya mulai bisa menghitung mereka, dua pemain drum, dua bass, tiga gitar, satu violin, dan masih ada satu lagi yang sulit saya lihat karena terlalu gelap. Agaknya kombinasi suara dengungan drones dengan gelapnya ruangan membuat banyak orang disorientasi. Ada semacam kegelisahan seperti berada dalam sebuah ruangan besar gelap dibawah tanah dengan dengungan seolah ada sesuatu yang destruktif diluar sana siap menerobos masuk.
Tak lama kemudian backdrop di belakang mereka mulai menampakkan visual. Sorotannya datang dari belakang kami, sontak saya melihat ke belakang sejenak. Terlihat deretan proyektor 8mm menembakkan imajinya ke layar di belakang mereka. GBYE memang selalu membawa operator proyektor pada setiap panggungnya, mereka menghitung perannya sebagai bagian dari grup, tak berbeda dengan anggota kolektif lainnya, seperti pemain gitar atau drum. Ia beroperasi selayaknya seniman pertunjukan, berimprovisasi dengan pita dan proyektor, kadang melibatkan api dan air dan entah apa lagi untuk menghasilkan efek visual luar biasa diluar dugaan. Tanpa keterlibatan digitalisasi sedikitpun.
Rangkaian slide pertama berupa deretan lanskap bergantian muncul. Panggung tetap temaram, para personil hanya terlihat siluet dari depan, dan nampaknya memang sengaja akan terus seperti itu. Mereka tidak memerlukan lampu spot di panggung. Membiarkannya gelap agar penonton menganggap hanya musik dan visual yang mereka hasilkan saja sebagai satu-satunya hal yang dijadikan fokus malam itu, bukan wujud fisik mereka.
Suara biola menyayat mulai masuk mengakhiri disorientasi gara-gara drones dan gelap tadi, seiring dengan mulai munculnya teks ‘HOPE’ pada layar di belakang mereka. Kadang berkelebat berganti posisi dengan gambar daun kering, kolase foto keluarga, surat seseorang atau sebuah jembatan entah dimana. Seolah mereka ingin menyampaikan pesan sederhana tentang harapan yang selalu bisa dipegang meski seberapa buruk dunia ini berjalan. Selama nyaris 15 menit dengung drones mulai bertindihan dengan suara gitar dan bass membentuk dinding sonik tebal yang berujung pada suara gitar slide yang semakin lama semakin bergemuruh berkawin dengan noise disonan dan drum.
Saya sudah menebak, mereka akan membuka malam itu dengan “Mladic”. Lagu dengan urgensi yang menyerupai alarm, pembuka album pertama mereka setelah vakum selama satu dekade. Intro yang mencekam tadi seolah mengingatkan bahwa setelah sekian lama dunia masih sama seperti kala mereka merilis album “Yanqui UXO”, persis dengan kegelisahan yang sama. Jika dahulu meminjam tanggal hari Ariel Sharon memprovokasi, kali ini meminjam sosok penjahat perang Bosnia sebagai penanda. Pada versi asli di albumnya, urgensi ancaman ini dijawab dengan keriaan perkusi di ujung lagu yang mengingatkan saya pada tabuhan akustik di pojokan-pojokan gerakan Occupy.
Saat nada repetitif tadi menemukan orgasmenya di sepertiga lagu, saya memejamkan mata karena sound menjadi begitu keras. Pada beberapa fragmen, mereka membangun ulang strukturnya dan terasa berbeda. Pada puncak bangunan crescendo nan memekakkan tadi, saya baru menyadari apa fungsi mereka memakai dua drumset. “Mladic” tentu berakhir dengan mega tepuk tangan dan aplus dari yang datang, bukan hanya karena lagu ini lagu luar biasa, namun pula ini lagu pertama GYBE yang mereka dengarkan live dan hasilnya sama sekali melampaui ekspektasi.
Visual pada layar berganti, kali ini acak. Ada sekawanan burung di langit, rumah di tengah padang, ladang yang ditinggalkan dan kertas-kertas bekas dan kemudian kembali gelap. Lirih nada biola yang sangat akrab mulai mengalun. Seketika saya teringat ketika pertama kali mendapatkan ‘Slow Riot for New Zero Kanada’, seorang kawan merekamkannya pada sebuah kaset, dan terjadi kesalahan ketika ia merekam kedua sisinya dengan lagu yang sama, “Moya”. Satu lagu lagi, “Blaise Bailey Finnegan III” tertinggal. Kaset itu sempat menjadi satu-satunya rekaman yang saya bawa dan putar di bulan Desember2003, pasca menyaksikan kelahiran anak kedua saya di sebuah rumah sakit bersalin yang sekarang sudah tutup, tak beroperasi lagi, di daerah Martadinata, Bandung. Di seberangnya ada sebuah warung kopi tempat saya beristirahat mendengarkan kaset itu bolak balik, sebelum kemudian pulang atau berjaga di kamar istri saya dirawat selama tiga hari. Saya hampir hafal semua detilnya, dimana crescendo menghilang, dimana petikan gitar masuk dan detik keberapa momen epik dimulai ketika triangle berdenting dan bagpipes bersembunyi dibalik berlapis-lapis suara gitar. Sedemikian rupa akrab dengan cepat karena otomatis hanya “Moya” yang ada di Walkman saya kala itu.
Malam itu saya merasa kembali ke warung kopi itu, hanya saja kali ini dengan ‘Walkman’ yang lebih megah. Saya berusaha untuk tidak menutup mata karena atraksi visual dari proyektor di depan semakin menarik. Namun ada memori tertentu yang ingin saya ingat dengan memejamkan mata, ketika volume dan dinding sonik mereka mencapai puncak dan bermuara dengan tenang di tiga menit terakhir “Moya”. Rumah kontrakan pertama kami di bilangan Eyckman, lorong gang sempit yang masih bisa ditembus sinar matahari tempat saya menjemur Nayla kecil di pagi hari, Taman Kanak Kanak tempat Alyssa bermain. Saat nada terakhir melenyap ditelan gemuruh tepuk tangan seisi venue, saya membuka mata dan tak sadar telah berkaca-kaca. Akhirnya saya paham apa yang banyak orang maksud dengan pengalaman relijius yang transenden saat menonton GYBE.
Venue kembali hening. Tak ada sepatah katapun yang diucapkan para personil GYBE. Di depan venue, kawan-kawan tadi sempat membicarakan setlist malam ini, dan mereka menyebut-nyebut “Behemoth”, track super panjang yang tak pernah GYBE rekam dan hanya dimainkan saat manggung. Saya tak pernah mendengarnya tentu, karena pengalaman saya dengan GYBE hanya berkisar pada semua diskografi rekaman mereka, dan tak pernah mencari-cari YouTube untuk mendengarkan versi live pertunjukkan mereka. Saya keluar dari barisan depan, meraih ransel mencari botol minum persis ketika dua drum di panggung membuka komposisi yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya berfikir sangat mungkin ini track yang dimaksud.
Dengan panjang lagu hampir selama 40 menit, saya yakin itu adalah lagu terpanjang dalam setlist. Jika memang komposisi ini hanya mereka mainkan di panggung, maka ini momen yang cocok untuk pertama kali mendengarnya. Terdiri dari tiga fragmen, “Behemoth”dimulai dengan komposisi repetitif yang memakan hampir dua pertiga bagian lagu. Dengan ketukan drum yang lebih mirip musikalisasi marching sebuah pasukan yang pergi ke medan perang seraya mengetahui mereka pasti kalah, tegas namun kosong, megah namun tragis, sebelum kemudian berkabung pada 15 menit selanjutnya dengan hening dan sayup akordion. Entah mengapa mereka tak pernah merekam lagu sebagus ini.
“Behemoth” berakhir dengan kegelisahan prematur. 4o menit yang tak memberi kesempatan berharap seperti lagu GYBE lainnya. Kosong, nihil, luluh lantak. Mungkin oleh karena itu mereka melanjutkannya dengan “Chart#3” tak lama setelah dentuman drum ganda berakhir. Komposisi yang hanya berunsurkan gitar dan biola yang seolah mendengung dari kejauhan mirip karya-karya James Plotkin. Lagu ini adalah fragmen ketika dari lagu “Static” dalam album ‘Lift Your Skinny Fists Like Antenna to Heaven’. Meluruh, menghibur yang berkabung dengan rekaman narasi wawancara seseorang tentang afterlife.
Kami pernah memasangnya saat mengheningkan cipta pada sebuah gigs, untuk mengenang kawan yang beberapa hari sebelumnya wafat. Kami mengganti narasinya dengan testimoni kawan-kawan. Saya ingat disitu adiknya berujar perihal nasehat sang ayah yang menyuruhnya bersiap menjelang umur 50-an, dimana akan sering datang momen-momen kehilangan saat kerabat dan sahabat pergi satu persatu. Dalam narasinya, kawan saya itu berujar getir “Umur saya belum juga 30, tapi saya sudah kehilangan banyak”. Entah mengapa malam itu rasanya saya kembali diingatkan tentang itu. Tak seharusnya juga “Chart #3” diidentikkan dengan kehilangan dan kegetiran, dan malam itu mereka memainkannya dengan sempurna.
Mereka menyisakan sedikit improvisasi sebelum kemudian menggunakan spoken words tadi sebagai jembatan menuju lagu penutup “World Police and Friendly Fire” yang merupakan fragmen lanjutan dalam “Static”. Membuat merinding pada 10 menit pertama repetisi petikan gitar yang dingin, yang mirip riff metal diperlambat sepersekian persen kecepatannya dan kemudian di-loop berulang, berlatarbelakang cengking biola dan suara ambience. Bertolak belakang dengan layar yang sontak menampakkan bara api kecil yang semakin lama semakin membesar. Kali ini mereka memainkannya sesuai versi asli dalam album, nyaris tanpa improvisasi, membangun drama dalam 20 menit.
Memaksa saya kembali memejamkan mata dan membukanya sesekali untuk melihat sebesar apa api dalam layar ketika komposisi memuncak seperti deru lokomotif, melihat bagaimana dua drum kembar tadi bermain akselerasi dan berbagi tugas dalam keadaan chaos seperti itu. Memori kembali berkelebatan seiring dengan letupan pada 5 menit terakhir dengan tsunami sonik yang belum pernah saya alami sebelumnya.
Ketika semuanya berakhir, mereka menutupnya dengan hujan feedback dan disonan yang mengiringi satu persatu personil meninggalkan panggung. Hingga mereka keluar sekalipun tak ada satu patah kata pun mereka ucapkan. Hanya melambaikan tangan saat turun panggung untuk menandakan bahwa petualangan mereka malam itu usai. Tentu tak ada yang berharap ada encore, rasanya tak ada dalam sejarah mereka melakukan gimmik seperti itu.
Venue mulai berangsur ditinggalkan penonton. Saya masih tercengang di tengah ruangan, pengalaman nyaris meregang nyawa beberapa jam sebelumnya terbayar dengan pengalaman relijius menyaksikan pertunjukkan transenden seperti malam ini. Kekhawatiran saya pun berakhir. Saya menyalami dan memeluk satu persatu kawan-kawan scene KL. Terutama Fahmi yang menjemput dan mengantar saya ke klinik ketika nafas sudah diujung tenggorokan.
Di luar kami mengobrol dengan beberapa kawan lain, mereka bercerita tentang bagaimana GYBE memberikan syarat jika harus main disini. Standar mereka tentunya; tak ada sponsor, tak ada keterlibatan korporasi dan tak ada tetek bengek fandom seperti konfrensi pers, foto bersama dsb. Saya teringat beberapa bulan kemudian mereka menolak penghargaan Polaris Music dengan statement cukup unik untuk ukuran grup seperti mereka; “Organizing a gala just so musicians can compete against each other for a novelty-sized cheque doesn’t serve the cause of righteous music at all. Asking the Toyota motor company to help cover the tab for that gala, during a summer where the melting northern ice caps are live-streaming on the internet, IS FUCKING INSANE…, well then maybe the next celebration should happen in a cruddier hall, without the corporate banners and culture overlords”
Saya pulang dengan inhaler di kantung dan potongan tiket yang akan saya simpan baik-baik. Then again, di penghujung tahun ini lagi-lagi saya harus berterimakasih pada mereka atas musik dan inspirasinya. Long live a little bit of autonomy, these are truly the last days.
11 Desember 2013.
– Selamat Ulang Tahun Nayla.
(PS: Belakangan saya tahu, 11 Desember juga tanggal kelahiran Nana Krishnamurti Suparka, sahabat saya yang dahulu mengenalkan saya pada GYBE pertama kali. Selamat Ulang Tahun juga ‘Na. What a coincidence.)
Arfian :)
December 16, 2013
:’) euh aing mah, jd weh nambah kaduhung na, ayeuna katamabah ku “kaduhung maca” :((
ngabebelaan keur asthma mah gs weh diwakilan ku kami harita teh 😀
suaruas
December 17, 2013
anjis… bieu urg macana bari rada nyeri hate euy, pedah teu bisa nonton langsung basa eta… soklah ajakan ulin di urg ti ayeuna keneh, meh 3 ato 5 thn deui bisa di approve 😀 bisa meuren ai ku syaratna kitu ma hehehe
Rzkn_Sekarang_Parno_Lembur
December 18, 2013
Punteun kang… Cuma mw ngasih saran aja… Saya selain membawa inhealer juga suka bawa butiran salbutamol 400mg di dompet. Lumayan kang klo inhealernya jatoh itu bisa jadi alternatif. Cuma 2 rb rupiah satu strip 😀
gutterspit
December 19, 2013
Wahaha. Thanks. Oke semoga ada yang nimbrung lagi dan bisa jadi forum diskusi solusi pagi para pengidap asma yang bandel2. :))
morningdew
December 19, 2013
Ini beneran… Pas baca awal-awal merinding, dan berkaca-kaca sepanjang ‘perjalanan’ sampe paragraf akhir 😐
Dr. T
December 19, 2013
Kurangi rokoknya kang… Efeknya kerasa, soalnya perokok nafasnya kan relatif pendek jadi kalo ditambah asma ya nafasnya makin pendek (kalo masih bisa napas hehe)
Tinta Berjelaga
December 21, 2013
getwellsoon morgue vanguard 🙂
disease13
December 23, 2013
Nuhun iihh kadonaaaaaa… Meuni ngabibita anggeurr
andrenaline katarsis
December 30, 2013
Review gigs yang keren yang pernah saya baca, meski ashma yang di derita tak kalah keren 🙂
thoughtcrime
January 3, 2014
Maneh asa sering di blog ieu tulisana aya “ini sebetulnya tulisan lama”. Hahaha… Nyieun nu anyar atuh
gutterspit
January 3, 2014
Hihi. Yah maklum pemalas. Sataun paling 3-4 siki hahahaha
domusdomus
January 22, 2014
nyiiing…ditulis dengan segenap suka cita dan cinta gini ey
domusdomus
January 22, 2014
nyiiiing….ditulis dengan segenap suka cita dan cinta gini ey
anddymalfian
January 23, 2014
Teu nyangka si ucok boga panyakit bengek, rutin ngadahar anak beurit cok sugan weh cageur. Tapi bener oge saran ti Rzkn_Sekarang_P kudu boga stok salbutamol tablet, cuma kadang-kadang nu teu cocok mah sok ngadegdeg trus rada leuleus kana awak. Nying kieu-kieu ge aing teh asisten apoteker
linggaagung
January 24, 2014
Membaca catatan perjalan ini sambil mendengarkan GYBE bagai berziarah ke kota Jerusalem; menggetarkan pula menggerakan. Nuhun kang Ucok katampi pisan tulisanna.
goler
March 15, 2014
ajig hayang……
luthfi
April 18, 2017
“Dengan sisa-sisa kewarasan akhirnya saya menemukan betapa bodohnya saya, lupa menonaktifkan fungsi airplane mode setelah turun dari pesawat”. what the hell! :’)
makasih kang tulisan dan “perkenalan” mencerahkannya.
jjm
June 29, 2018
sayang jakarta tdk disinggahi…