Godspeed You! Silence Emperor: John Cage, GBYE!, Kesunyian dan Politik

Posted on April 16, 2009

1


“Larilah kawanku, ke dalam kesendirianmu! Kulihat kau jadi tuli oleh suara riuh orang-orang besar dan tersengat oleh orang-orang kecil. Hutan dan karang tahu benar bagaimana jadi membisu bersamamu. Jadilah engkau seperti pohon kembali, dengan tenang sepenuh hati ia menjulurkan dirinya ke laut. Dimana kesendirian berhenti, pasar pun mulai, mulai pula lah riuh rendah para aktor besar dan desau kerumun lalat beracun.”
– Sabda Zarathustra, Nietzsche

Adalah John Cage, pada tahun 1952, melakukan sebuah proyek yang berhubungan dengan kepenasaranannya terhadap kesunyian. Berawal dari rasa skeptisnya terhadap apa yang disebut ‘keheningan’, ia melakukan observasinya mengunjungi tempat-tempat yang ia harap dapat menemukan ‘ketiadaan suara’, dan hasilnya sungguh tak ia harapkan; Cage tak menemukan apa yang ia sebut ‘total silence’. Dimanapun itu “ketiadaan suara adalah hal yang mustahil” ujarnya ketika ia berada dalam ruangan anechoic di Harvard University, sebuah ruangan yang dapat membuat seseorang mendengar suara apapun yang dihasilkan dalam ruangan tersebut bahkan sirkulasi darah dan detak jantungnya sendiri.

Kemudian observasinya bermuara pada komposisi dan performance yang ia beri titel 4’33? yang kontroversial itu, dimana ia hanya duduk diam di depan sebuah piano dan tidak melakukan apapun kecuali menaikkan dan menurunkan lid piano, menghasilkan suara-suara yang tak disengaja hadir. Tak lebih. Selama tepat 4 menit dan 33 detik, performance itu usai dan hanya itu. Dihadapan ratusan yang datang pada saat penampilannya itu, tentu saja Cage bukan sedang melawak, mencari sensasi, atau hanya sekedar mencari ketidakwarasan. Justru sebaliknya, dengan waras Cage sedang melanjutkan proyek avantguard-nya dalam mempertanyakan dikotomi antara suara dan kesunyian. Ia berargumen dikotomi tersebut tak pernah ada, menurutnya ‘kesunyian’ sebagai absence of sound tak pernah hadir ditengah-tengah kita. Yang ada adalah keinginan seseorang untuk mendengar sesuatu, termasuk didalamnya berarti pula mengusahakan perhatiannya terhadap sesuatu yang ingin ia dengarkan. Ia lalu mendefinisikan ‘kesunyian’ sebagai sekedar ketiadaan suara-suara yang sengaja akan dilakukan atau diharapkan ada, pengalihan perhatian yang sedemikian rupa sehingga dapat diartikan bahwa “kesunyian adalah hanya sebuah usaha mengakhiri perhatian” sehingga “Kesunyian adalah sekedar perubahan pemikiran belaka”, dan suara tetap lah ada disana. Suara dalam kesunyian adalah suara yang tak ingin atau tak sedang dimaksud untuk kita didengarkan.

Sumber gagasan Cage dalam membuat 4’33” sebenarnya berasal dari rekannya Robert Rauschenberg yang membuat pameran serangkaian lukisan yang sekilas nampak kosong, hanya kanvas putih belaka. Namun lukisan-lukisan Rauschenberg tersebut tidaklah kosong, hanya saja ia mencat kanvas dengan cat putih. Ia sedang berbicara tentang persepsi kekosongan yang sebenarnya pula tak pernah ada. Kosong, sunyi, tak bersuara, titik nol, netral, tak berpihak, semuanya hanya persepsi. “Jika ada seseorang yang memposisikan dirinya dalam sebuah kekosongan dan kenetralan, itu hanya persepsi mental-nya yang berusaha menempatkan diri di luar titik-titik biner yang ia persepsikan pula ada”

Usaha untuk mempertanyakan ke-netral-an ini yang mengingatkan kita pada Godspeed You! Black Emperor (selanjutnya saya sebut Godspeed saja). Menakutkan sekaligus indah, Godspeed yang kita tahu menulis musik instrumental yang melukiskan dunia pasca-apokalips, yang kadang terlalu sunyi dan terlalu bising untuk diputar di radio dengan durasi lebih dari 20 menit. Mereka memang dengan sangat disengaja memasukkan kesunyian dalam komposisi-komposisi epic mereka, kadang sepanjang 2-3 menit, kadang memakan sepertiga komposisi. Pendiri dan motor di balik Godspeed yang sekaligus gitaris Efrim Menuck dalam salah satu wawancaranya (yang sangat jarang mereka lakukan) berbicara perihal kesunyian, sebagai nihilisme namun bukan sebagai posisi ketidakberpihakan dan peniadaan kehendak untuk memposisikan diri dalam dunia.

“Kesunyian dalam komposisi kami adalah sebuah jeda refleksi. Untuk merasakan dan menghargai suara. Suara-suara yang kami bangun dari titik nol, setelah kami membuat senyap, meruntuhkan dunia dalam beberapa menit” Dengan jawaban argumen yang lebih mirip Proudhon dibanding mirip Cage, tak heran Godspeed menghindari teks literal dan membuat musik mereka tanpa lirik. “Bahasa tak cukup mewakili ide-ide kami, bahasa memenjarakannya”. Tentu saja bagi kita, yang terbiasa dengan musik ber-‘pesan’ dan terjebak dalam biner musik politis/tidak politis, grup musik seperti Godspeed akan terlihat begitu paradoks. Mereka menyerukan seruan pada perubahan dunia yang kehilangan harapan, namun di sisi lain mereka tidak berbicara pada kita seperti kebanyakan grup musik -ehm- ‘politis’ lainnya.

Apapun itu, yang pasti dengan semua usaha-usaha mereka dari mulai mendemistifikasikan musik (di dalamnya berarti pula silence dan noise), pelaku musik (artist dan audience), industri musik hingga detil-detil produk mereka seperti titel lagu yang menunjukkan tanggal Ariel Sharon memprovokasi penyerbuan ke Palestina dan cover yang lebih mirip peta konspirasi industri musik dengan industri militer, Efrim dan Godspeed-nya sama sekali tidak merepresentasikan sebuah posisi ke-netral-an. Ketiadaan teks bagi mereka bukan berarti berada dalam kehampaan, kekosongan objektifitas.

Justru sebaliknya lah, dari Cage dan Godspeed kita bisa merenungkan ulang sebuah posisi subjektif di tengah pergolakan objektif kerumunan massa. Diingatkan kembali pada bentuk-bentuk kehadiran, usaha keterlibatan, bergabung pada kehadiran lain di dunia tanpa harus memakai seragam dan berteriak-teriak di tengah pasar dan kampanye para elit politik. Godspeed memberi perbedaan pada makna ‘menghindari kalayak’ dan ‘melakukan/menciptakan sesuatu’. Mereka lebih mirip pada kisah Zarathusta pada lembaran Nietzsche yang mengajak kita pada kesendirian, bukan kesunyian. Mengajak keluar dari konformitas mental kawanan dan gerombolan dalam beragam bentuknya, dari mulai masifikasi atas nama pasar hingga penyeragaman atas nama politik, untuk kemudian menemukan kesendirian pada hal-hal penciptaan. Kesendirian yang bukan usaha menuju isolasi yang menutup diri dari persentuhan dunia dengan yang ‘bukan kita’. Namun justru sebaliknya, dalam metafor Nietzsche, menjadi bagian bisu yang intim dari ‘hutan dan karang’, serupa ranting pohon yang dengan tenang sepenuh hati ia menjulurkan dirinya ke laut. Di sini kita melihat Godspeed mencoba untuk menghampiri dunia bukan untuk menguasai, seperti kekuasaan dan politik para caleg.

Lepas dari semua hype post-rock dan tetek bengek avantgardis yang sedang di eksploitasi industri media entertaintment hari ini, Godspeed dapat kita representasikan sebagai wakil suara akhir zaman, sebagaimana musik mereka. Seperti halnya suara yang tak mungkin tak hadir dalam sebuah keheningan, kita diajak untuk melihat kembali alternatif lain diluar posisi biner, mungkin salah satunya, menggubah sebuah komposisi lagu versi kita di tengah keapatisan massa dan hiruk pikuk di depan kotak suara. Membangun generasi baru yang terlalu lelah dengan apatisme namun pula terlalu muak dengan demokrasi kotak suara, karena netral itu tak pernah ada dan kesunyian kosong hanya lah pengalihan persepsi.

 

Posted in: Uncategorized