Andry Moch, A Stone A dan Memori Bulan Mei

Posted on November 8, 2011

10


Sudah 3 Tahun Andry Moch meninggalkan kita. Beberapa kerabat, sahabat dan keluarga beliau akan menggelar sebuah pameran karya-karyanya yang beberapa kali tertunda karena satu dan lain hal. Sekaligus pula pada pameran kali ini akan dirilis buku tentang beliau yang memuat tulisan-tulisan dari beragam kawan juga karya-karya dari seorang Andry semasa hidupnya.

Bagi kawan-kawan yang belum sempat mengenal Andry, ia adalah seorang seniman muda nyeleneh berbakat yang akrab dengan beragam kalangan. Secara personal ia lebih dari sekedar memiliki reputasi mengagumkan sebagai seorang sahabat yang gemar menolong, teman yang asyik diajak berdiskusi atau seorang anggota band ‘AStoneA’ yang ajaib itu. Kepergiannya yang terlalu dini di usia muda 3 tahun lalu, (karena kanker ginjal yang dideritanya) meninggalkan duka juga jejak dan memori di antara kami sehingga kami pikir sebuah rangkaian acara yang digagas kawan-kawan dekatnya sejak 3 tahun lalu sangat penting untuk merayakan legacy Andry sebagai seorang seniman, scenester Bandung, sahabat atau sebagai manusia biasa yang memiliki kepribadian luar biasa.

Pameran dan Launching buku yang bertajuk “Not Fade Away” ini akan berlangsung dari tanggal 11-28 November 2011, bertempat di Galeri Soemardja, Bandung.  Bagi kawan-kawan yang tertarik datang, kalian bisa melihat detail acaranya disini. Berikut adalah tulisan personal saya, yang bersama dengan tulisan kawan-kawan lainnya akan dimuat dalam buku retrospektif yang dapat kawan-kawan peroleh di lokasi pada saat pameran.

Fatum Brutum Amorfati, Gone but not Forgotten. Long live Andry Moch.

Andry Moch, A Stone A dan Memori Bulan Mei

Masih ingat lekat bagaimana panasnya hari itu. Matahari tepat diatas kepala. Namun kami seperti dua orang Indian bodoh mengitari tempat sampah dengan api membara dan asapnya kemana-mana.  Sebuah clothing line lokal mengundang saya dan Andry membuat customized skate deck untuk sebuah event pameran, setelah berdiskusi berjam-jam, kami memutuskan untuk membakarnya saja. Entah kenapa ide-ide ngasal selalu keren jika didiskusikan dengannya. Hasil akhirnya sih jauh dari keren. Papan skateboard hitam legam dengan setengah wujudnya jadi arang begitu ngga ada keren-kerennya.  Apalagi dengan bungkus Indomie dan beberapa sampah ikut menempel disana-sini. Akhirnya untuk menutupi gagalnya usaha kami membuat sesuatu yang keren, Andry mengusulkan untuk memahat papan itu dengan tulisan-tulisan ala grafitti tembok WC. Kagok aral. Hasilnya ultra-epik.

Ada sesuatu yang auratik dari apapun yang Andry buat sebagai ‘karya’. Dimanapun ia terlibat dalam hal ‘berkesenian’, ia selalu memberi sentuhan khas nya yang tak kepalang tanggung gaspol, sehingga label ‘kitsch’ sekalipun nampaknya terlalu keren dan kata ‘kampungan’ atau ‘kampring’ tak cukup deskriptif mewakilinya. Andry yang banyak kita ketahui lewat karya-karya visualnya, namun perannya di scene musik Bandung 2000-an cukup signifikan sebagai seorang individu unik.

Jauh hari sebelum kami berkenalan, saya hanya sempat melihatnya sekali dua kali berkelebat di depan kamar Dodi, kakaknya yang akrab disapa Odoy. Saya dan Odoy satu angkatan di Seni Rupa ITB dan saya sering bermain dan menginap di rumahnya sejak 1995. Saat itu scene musik independen Bandung sedang mengalami masa keemasannya. Band-band bermunculan dengan ragam karakter, varian genre musik dan keunikan tersendiri merepresentasikan tangkringan-tangkringan nongkrong berbeda dari sudut-sudut kota Bandung. Album-album milestone lahir di era ini, dari Puppen hingga Pure Saturday. Burgerkill hingga Balcony. Kala itu, GOR Saparua sudah layaknya mirip sebuah pusat kebudayaan. Hampir setiap minggu selalu ada acara musik disana. Dari acara punk, grunge, metal hingga acara hibrida yang dihadiri semua umat, dari yang berambut mohawk hingga yang gondrong berkaos hitam. Lapak-lapak mulai bertebaran dan distro saat itu masih bermakna warung yang menjual rekaman-rekaman independen yang tak pernah ada di toko kaset dan fanzine-fanzine luar maupun lokal selain tentunya barang-barang wajib seperti T-shirt dan pin.

Andry pernah mengakui ia bagian dari generasi yang besar dengan atmosfer scene Bandung di 90an, meski ia masuk pesantren di Garut sebelum masuk UPI Bandung tahun 2000-an. Seperti kebanyakan lainnya yang besar di era fanzine, rekaman dan show D.I.Y, Andry merasakan pula bagaimana senangnya berkenalan dengan kultur yang menginspirasikan kita untuk memegang kontrol terhadap musik dan passion kita sendiri. Namun kami justru baru berkenalan dan bersahabat justru kala era itu mulai meredup. Pada sebuah momen workshop pada bulan Mei tahun 2000, di Galeri Sumardja yang saya agak lupa detilnya, Ia menghampiri saya mengenalkan diri dan bertanya-tanya perihal grup saya, Homicide. Wajahnya yang mirip Odoy langsung dapat saya pastikan bahwa ia adalah adiknya yang dulu masih SMA mondar mandir di depan kamar jika tak sedang di Garut.

Kami mulai intens berteman sejak ia dan komunitasnya mulai menggagas dan menggarap iF Venue, sebuah ruang alternatif serbaguna yang cukup fenomenal di pertengahan 2000-an. Dari acara pameran seni rupa, diskusi ekonomi-politik, bedah buku, hingga beragam gigs mini beragam genre yang seringnya tak terlupakan. Tak lama kemudian saya melihat Andry dan band barunya manggung sekitar tahun 2003-an, dengan nama band se-absurd dan se-gaspol musik yang mereka mainkan; A Stone A.

Meski nama A Stone A lebih terkenal dengan reputasi membubarkan kerumunan dibanding menghibur, grup ini memiliki passion dan intensitas yang luar biasa dan bisa dibilang salah satu grup penting Bandung pasca era 90-an. Mereka tentu tak usah gembar-gembor D.I.Y, underground dan sebagainya, karena mereka mirip band grindcore yang sudah brutal by default, sedemikian rupa sehingga tak pernah mengizinkan mereka main di acara besar atau komersil atau merilis rekaman lewat label besar meski tentu mereka tak akan pernah menolak bila ada kesempatan untuk itu.

Saat itu mungkin bisa dihitung dengan jari jumlah band noise atau noise rock di Indonesia. Bahkan nampaknya untuk Bandung, ber-avantgarde ria dengan disonan, sound lo-fi dan lirik-lirik ‘oh-tuhan-ampuni-kami’ seperti yang mereka buat, bisa dibilang A Stone A adalah pelopor. Ini penting dicatat mengingat hari ini, pasca dobrakan A Stone A (dan dalam hal ini mungkin juga Pemuda Elektrik), bertaburan grup-grup dengan sound, semangat dan kekacauan yang pernah mereka hadirkan sejak awal 2000-an dulu.

Pada banyak kesempatan di awal 2000-an, Andry selalu berujar bahwa ia ingin punya fanzine dan band punk, terinspirasi band-band Bandung era 90-an. Namun fakta berbicara, ia memiliki sebuah kolektif musik yang lebih dari sekedar band punk. A Stone A merupakan anomali tersendiri di scene musik Bandung yang dijejali band punk, hardcore dan metal. Bisa dibilang A Stone A merupakan band performance art yang meminjam etos dan estetika punk rock era Black Flag dan Sonic Youth, namun saya pikir sebaliknya, A Stone A justru memberikan kontribusi uniknya dengan pengaruh kitsch yang mereka peroleh di wilayah rupa dan mereka aplikasikan di scene musik independen Bandung.

Yang mengagumkan sekali lagi adalah intensitas mereka terutama dalam hal manggung. Untuk ukuran band iseng, eksperimental dan media ngaco-ngacoan, A Stone A cukup masif dalam hal berbagi kebisingan di acara-acara D.I.Y lokal. Dari mulai acara pembuka acara pameran seni rupa, teater hingga acara punk dan acara komunitas yang sangat kental nuansa politisnya. Favorit saya adalah ketika mereka membuka Sabot, band math-rock/noise asal Cekoslovakia di iF Venue tahun 2006.  Begitu brutalnya mereka main sehingga salah satu personil Sabot yang berumur cukup uzur itu menggeleng-gelengkan kepala. Ia nampaknya agak tidak menyangka dari sosok personil-personilnya (terutama Andry yang kala itu memakai kemeja putih ala pengurus DKM) ternyata memainkan musik sebrutal dan seabsurd itu.

Tentu A Stone A tak bisa dipisahkan dari sosok Andry Moch yang saya tahu. Tanpa mengesampingkan fakta bahwa A Stone A adalah kerja kolektif, saya yakin peran Andry membuat A Stone A sejijay dan sehebat era itu sangat besar, meski disana ada Akbar dan Amenk (yang karya rupa-nya bersaudara dengan karya-karya Andry). Entah bagaimana menjelaskannya, ada sesuatu yang sangat Andry ketika mendengarkan A Stone A saat itu. Saya yakin banyak kawan-kawan yang sempat berbagi pengalaman dalam wilayah seni rupa dan menjumpai kekonyolan Andry dalam berbagai bentuk akan sepakat bahwa itu bukan dibuat-buat alias sudah dari sononya begitu. Dalam kata lain hal-hal impulsif yang melahirkan gambar Uday Hussein (anak Saddam) untuk ilustrasi Alone At Last, (band punk Bandung) atau desain poster A Stone A bergambar musang keluar dari toples bersumber pada kekonyolan yang sama yang melahirkan celetukan pada lagu Agus Jurig; “Gus, Aguuuus, where are you Agussss, im looking for youuuuuu…”

Saya menjadi sangat dekat dengan beliau ketika pada suatu kesempatan saya diajak seorang sahabat saya, Prima (yang kelak menjadi sahabat dekat Andry juga), untuk menggarap departemen grafis sebuah clothing lokal yang juga memiliki sayap usaha sebuah label rekaman yang merilis karya-karya dari grup-grup lokal, Subciety Records. Mereka membutuhkan seorang artworker handal yang memiliki karakter khas untuk menggarap banyak media, dari materi promo, fanzine hingga t-shirt. Andry Moch lah sosok pertama yang terlintas langsung di benak saya. Dengan meminta izin pada Iyo, pada bulan Mei 2005, saya merampok Andry yang saat itu sudah bekerja di majalah Ripple. Selain karya-karyanya yang selalu diluar perhitungan, saya bersyukur pernah pengalaman bekerja sama dengan Andry karena memang dalam rentang waktu yang relatif tak lama itu (sekitar 2 tahun) saya mengalami banyak momen tak terlupakan dan menemukan lebih banyak lagi sosok lain dari almarhum yang selama ini saya tahu.

Saya sudah mengetahui sebelumnya bahwa ia seorang yang gemar menolong dan berbagi, namun baru saat itu saya tahu bahwa ia memiliki ketertarikan pada aktivisme politik dan menolong banyak kawan di aktivitas tersebut tanpa pamrih dan tanpa menulis manifesto yang berapi-api. Ia sering terlibat dalam aksi-aksi graffiti kota dan penempelan poster, di acara-acara diskusi komunitas, juga dalam aksi-aksi solidaritas bagi beberapa simpul organisasi yang sedang membutuhkan bantuan. Termasuk didalamnya ketika pada suatu malam toko buku Ultimus digrebek dan banyak kawan ditangkapi di penghujung 2006, Andry merupakan salah satu kawan yang tiba dilokasi dalam waktu singkat sesaat setelah kawan-kawan menyebarkan pesan lewat SMS untuk pertolongan evakuasi.

Pula ketika Mayday tiba di setiap tahun. Saya tak pernah menyadari sebelumnya jika Hari Buruh adalah hari favoritnya untuk berlibur dan membantu kawan-kawan mempersiapkan perayaan kecil-kecilan bergabung bersama ratusan dan ribuan lainnya di tempat-tempat publik. Dari bantuan mencetak newsletter dan selebaran, menggotong backdrop untuk panggung hingga mendokumentasikan momen-momen penting. Jika kalian sempat bersikulasi di hari-hari itu, pasti kalian akan menjumpai Andry di Gasibu, Wastukencana atau Alun-alun, membawa kamera Canon dan minum es cendol tertawa-tawa dibawah teriknya siang.

Andry (berjaket jeans biru) ditengah massa yang sedang dangdutan di Hari Buruh, 1 Mei 2007

Tentu tak akan pernah cukup halaman untuk lebih panjang bercerita tentang memori bersama seorang Andry, saya yakin semua kawan, kerabat dan keluarganya pun demikian. Kebaikan, kekonyolan dan keriangannya menjalani hidup menjadi sesuatu keunikan tersendiri bagi yang pernah berbagi momen dengannya. Mereka yang saya yakin sama terkejut, sedih dan terpukul atas kepergian Andry hari itu.

Saya bertambah sedih saat Akbar-sahabatnya di A Stone A- berujar disaat pemakamannya bahwa Homicide adalah salah satu band lokal favorit-nya. Sungguh merasa terhormat mengetahuinya. Dan memang, saat saya memeriksa ulang dokumentasi foto-foto lawas kala Homicide manggung, ternyata Andry selalu hadir disana. Dari panggung kecil yang ditonton 20 orang hingga panggung besar ribuan orang, ia nampak berada di sisi panggung, lagi-lagi dengan kamera ditangannya. Saya pun langsung teringat salah satu karya digital berupa image animasi gif A Stone A yang ia tempel di situs Myspace Homicide bergambar Marx dan Benjamin Franklin dalam satu frame mengedipkan mata berbarengan dan logo-logo teori konspirasi bergantian hadir dan ia tambahi teks dibawahnya “Kita bersaudara Bung!!”. Saya ingat bagaimana kemudian kami semua tertawa terbahak saat melihat keabsurdan konyol yang khas Andry itu.

Andry pergi di suatu sore persis di hari kami merilis album terakhir Homicide yang sering ia tagih “Iraha atuuuh rilisna, ‘Cok…, asa lalila”*. Persis tanggal 1 Mei, di hari libur favoritnya 3 tahun lalu. We miss you ‘Ndry. Always

*Kapan atuh dirilisnya ‘Cok..., perasaan lama amat.


			
Posted in: Uncategorized