Awalnya saya pikir seri buku 33 1/3 rilisan Continuum Books hanya sekumpulan fakta album yang disusun seperti ensiklopedi. Agak wajar mengingat seri buku ini berbentuk buku saku. Kecil dan ringkas. Setiap judul bukunya sama dengan judul album yang diulas. Misalnya: 33 1/3: Loveless mengupas album landmark milik My Bloody Valentine. 33 1/3: Pretty Hate Machine mengulas album pertama Nine Inch Nails.
Saya tak pernah penasaran, dan satu hari iseng membeli salah satu edisinya 33 1/3: It Takes A Nation of Millions to Hold Us Back, lebih karena saya fans fanatik Public Enemy. Setelah membacanya dalam waktu relatif singkat, saya harus akui, semua anggapan saya tentang seri buku ini sebelumnya ternyata keliru. Ini seri buku yang luar biasa. Dengan ketebalan tak lebih dari 160 halaman berukuran 16×12 cm, buku ini bertutur naratif acak namun solid dan informatif, jauh dari kesan buku saku ensiklopedik.
Ditulis oleh kritikus musik, Christopher R. Weingarten -yang kemarin terkenal gara-gara pidatonya “Twitter and the Death of Music Criticism” di sebuah konferensi kritik musik- buku ini mengupas banyak hal perihal album Public Enemy paling bersejarah (yang saya pikir, sebagai big fan mereka, saya sudah cukup tahu banyak seluk-beluknya). Weingarten dengan brillian menyusun struktur buku sepadat mungkin dalam delapan bab yang jika dicopot per bab sebagai tulisan lepas masih bisa berdiri sendiri sebagai esai Public Enemy maha dahsyat.
“It Takes A Nation…” merupakan sebuah album mahakarya dari Public Enemy. Setidaknya ada dua alasan paling penting. Album sophomore ini sehebat rima dan kekuatan vokal Chuck D. Tak hanya mengubah hip hop di era itu, mengubah persepsi banyak orang tentang album musik politis, juga menginspirasi generasi baru aktivis-aktivis di era Clinton dan Bush. Ia pula merupakan sebuah ‘album sample’, album yang musiknya dikonstruksi dan dikomposisi bukan dengan alat instrumen musik seperti era sebelumnya. Namun lewat metode sampling; mengambil elemen tertentu dari rekaman audio lainnya. Sebuah album kolase.
Keistimewaan album kedua Public Enemy ini terletak pada bagaimana ia merevolusi penggunaan sampler dimana The Bomb Squad (tim beatmaker PE) tak membiarkan proses sampling hanya sebagai tempelan, namun hadir sebagai nyawa album. Lebih dari itu, mereka jauh bereksperimen dengan metode tersebut lewat proses engineering, scratching, dekonstruksi, rekonstruksi bahkan (yang baru saya ketahui dari investigasi buku ini) dengan sengaja menginjak-injak piringan hitam sebelum di-sample, jika rekaman piringan hitam tersebut bersuara terlalu ‘bersih’!
Weingarten tak berhenti di situ. Ia tak hanya memaparkan fakta di belakang pembuatan album. Tak hanya mengangkat perihal bagaimana respon pertama radio-radio kala single pertama ‘Rebel Without A Pause’ diluncurkan di tahun 1987. Juga tak sekedar menulis bagaimana reaksi Rick Rubin kala ia mendengar advance copy dari album ini di sebuah pesawat setelah memutuskan berpisah dengan Russel Simmons dalam menjalankan Def Jam Records. Atau sekedar menceritakan detail proses Hank Shocklee (figur kunci dalam Bomb Squad) yang meng-EQ kering sample riff gitar ‘Angel of Death’ dari Slayer dan menolak memberi bassline pada beberapa lagu Public Enemy karena ia menginginkan track yang dingin yang hanya memiliki kick 808 sekeras mungkin.
Weingarten tak hanya menulis esai seperti liner notes. Ia berusaha melakukan investigasi yang melampaui retorika post-modern: dapatkah esensi sebuah album hip hop merekam pula emosi dan energi artis yang rekaman itu ambil sebagai sample?
Oleh karena itu, Ia memulai buku ini dengan cerita bagaimana salah satu lagu anti-pemerintah terpenting dalam sejarah ternyata mengambil sample dari ketukan drums Clyde Stubblefield. Ketukan drum itu terinspirasi lagu mars parade militer di tahun 1951 yang kelak ia adaptasi saat mengiringi James Brown dalam lagu ‘Funky Drummer’. Lagu yang kelak dua dekade kemudian menjadi sample tulang punggung album “It Takes A Nation…”.
Begitu pula ketika ia mencoba melihat relasi antara James Brown dan Public Enemy dalam urusan keterpurukan. Dengan cara bertutur yang mengalir ia mencoba fokus ke tahun 1976. Tahun dalam era terpenting James Brown yang saat itu berada di titik terendah dalam hidupnya. Pasca kematian anak lelakinya, deal bisnis yang buruk dengan Polydoor, tak memiliki apapun sehingga kemudian ia membuat album yang tak peduli pada apapun kecuali membuat dirinya bangkit dan merilis ‘Get Up Offa That Thing’. Weingarten menulis relevansinya dengan album Public Enemy. Ia menemukan relasi penting di mana ‘Get Up Offa That Thing’ adalah album yang banyak dipakai oleh Public Enemy sebagai bahan referensi sample dan breakbeats untuk menghasilkan album kanonikal mereka itu. Mengakhiri keterpurukan personal (album pertama, “Yo! Bum Rush the Show” yang tak begitu diterima hiphopheads dan kehilangan momen akibat terlambat dirilis) dan keterpurukan sosial (Amerika di era Reagan, pasca terbunuhnya tokoh-tokoh kulit hitam dan epidemik baru bernama crack di ghetto-ghetto).
Weingarten juga menghadirkan gambaran yang cukup deskriptif bagaimana lanskap emosi Issac Hayes kala sang harapannya (juga rekan dekatnya) Martin Luther King ditembak mati di tahun 1968 dan kerusuhan Watts meledak sesudahnya. Bisa dibayangkan luapan emosi dan kefrustasian Hayes yang saat itu hanya berjarak selemparan batu saat hendak beranjak ke Stax Studio untuk rekaman. Sebagai akibatnya, ia tak bisa menulis apapun selama setahun lebih. Hingga akhirnya ia merilis ‘Hot Buttered Soul’ yang menjadi elemen sample bombastis di track‘Black Steel in the Hour of Chaos’ milik Public Enemy di album “It Takes A Nation…” dua puluh tahun kemudian.
Weingarten lewat buku ini seolah ingin memberikan pernyataan secara langsung maupun tidak bahwa rekaman sebagai produk budaya populer merupakan produk cerminan emosi dari kondisi sosial, politik dan personal dari masyarakat di era tertentu. Dan sebagai produk yang melalui proses produksi sedemikian spiritual, rekaman hip hop bisa membawa serta nyawa dari musik yang DNAnya ia pakai di dalam proses pembuatannya.
Weingarten lebih dari sekedar memaparkan bagaimana Terminator X menemukan teknik scratch yang bising atau Shocklee membiarkan meteran peak menyala merah pada saat mastering. Ia memperlakukan sample yang dipergunakan Public Enemy dalam “It Takes A Nation…” sebagai gerbang untuk masuk ke wilayah yang lebih luas. Wilayah yang dapat menguak sejarah dan tradisi-tradisi folk tersembunyi (yang luput dari perhatian pembacaan sejarah mainstream).
Buku kecil 33 1/3 Weingerten ini membuat nyata keyakinannya akan fungsi kritisi musik yang konon dapat memiliki tempat di perubahan sosial meski sekecil apapun tempatnya. It is easily one of the most essential-reads in hip hop books, dan mungkin di kategori buku tentang musik manapun.
Saya nampaknya akan ketagihan seri buku ini. Tak bisa membayangkan bagaimana isi 33 1/3: Reign In Blood atau 33 1/3: Master of Reality. Saya sarankan Anda berkunjung ke http://www.33third.blogspot.com untuk melihat apakah album favorit Anda sudah mereka terbitkan.
*di-share di Jakarta Beat edisi Mei 2011
asep "aduh" cash ball
July 25, 2011
sigana,
rada di Scan
trus
d edit sa emet ku sotoshop.
setelah menjadi layout yang baik di jadi’in pdf.
upload di mediafire.
share linkna.
Asli iyeu mah nitah (ahahahahahay jiwa gratisan keluar, sharing gretong).
hayang maca tapi teu bisa bahasa inggris. gs weh pasrah saya, membaca blog ini. thx om, infona jadi semakin cinta setara ulang tahun emas pernikahan 50 th, ka ci om cak di.
hatur nuhun juragan.
Qui-Gon Jean
August 12, 2011
9 dollar gak masalah cok. ongkir nya ya bikin nasteung