Akhirnya Amenk Pameran

Posted on June 20, 2011

9


Pada suatu malam seminggu kemarin Amenk berkunjung ke rumah dengan membawa Martabak Asin dan sebuah proposal. Entah kerasukan apa, dia meminta saya membuka pameran tunggalnya tanggal 24 Juni nanti. Tentu membuka pameran seni rupa dapat dimasukkan ke daftar list absurd dalam hidup saya, namun sebagai fans berat karya-karya nya saya akan melakukan apapun agar bisa mendapatkan print-out poster hi-res karya Amenk favorit saya. Pameran tunggal Amenk a.k.a Mufti Priyanka bertajuk ‘SLEBORZ’ ini akan di gas pol selama 2 minggu dari tanggal 24 Juni hingga 8 Juli 2011. Bertempat di Padi Artground, jalan H. Ir Djuanda (Dago) 329 Bandung. Ia meminta pula sedikit tulisan pembuka untuk hand-out saat pameran, saya pasang disini semoga kawan-kawan yang belum tahu Amenk dan membacanya, tertarik berkunjung besok kesana (kalau malah sebaliknya, maafkan daku ‘Menk!).

PS: Untuk menengok sebagian dari karya-karya Amenk silahkan berkunjung halaman portonya

 

Akhirnya Amenk Pameran

Akhirnya Amenk Pameran. Entah berapa kali rasanya, saya meyakininya untuk pameran untuk beberapa alasan yang saya tak pernah persis tahu pula kenapa ia harus pameran. Pokoknya harus. Ada sesuatu yang datar-datar saja, dan garing tentunya, dari karya-karyanya yang luar biasa a.k.a di luar kebiasaan. Entah kebiasaan siapa pula. Bandung terlalu banyak memiliki kebiasaan-kebiasaan yang out-of-nowhere tiba-tiba hadir di tengah-tengah penghuninya.  Dari antah berantah lalu berada di mana-mana.

Sahabat kami, almarhum Andry Moch (Sosok inspiratif yang saya dan Amenk kagumi, dan saya rasa sama out-of-nowhere nya dengan Amenk) punya istilah tepat buat gejala ini ‘Anak Haram Kebudayaan pride’. Konon ia adaptasi dari slogan ‘Hardcore Pride’ saat kami pernah mentertawakan ini semua dengan obrolan-obrolan imajinatif (dalam bahasa lokal ‘ngacapruk’) tentang bagaimana kita semua tercerabut dari ‘akar’. Tiba-tiba suka The Clash, menikmati Iron Maiden, mengidolakan Ed Repka, baca stensilan, kecanduan Quentin Tarantino dan (pura-pura) lupa ‘budaya ketimuran’. Pokoknya kalo divisualkan seolah kami semua ini adalah korban penculikan alien yang barat-sentris, kemudian diturunkan dari pesawat induk di beragam titik, dari Sarijadi sampe Kiaracondong. Caheum hingga Caringin. Tak berbudaya. Satu-satunya produk budaya adalah apa yang para alien putar di pesawat secara acak. Bisa punk, kadang hip-hop, seringnya metal dan bokep. Kita sebagai korban penculikan hanya bisa pasrah menerima alam bawah sadar dipasok sedemikian rupa menahun sehingga menjadi memori kolektif yang sialnya, tak bisa menghilangkan kebrengsekan lokal a.k.a ‘kampring’ yang sudah dari sananya.

Tentu saja ketidakberbudayaan kita adalah anugrah. Mereka yang berhasil bertahan hidup melewati kurun waktu 90-an dan 2000-an tentu paham ini. Paham bahwa ada yang bergeliat di balik keabsurdan generasi kita dan paham mengapa Amenk harus pameran meski, sekali lagi, kita tak tahu persis apa alasannya. Mungkin karena sedikit banyaknya Amenk mengingatkan kita pada Pettibon dan kita terlanjur besar dengan rekaman-rekaman Black Flag dan Sonic Youth, mungkin juga tidak. Mungkin memang gambar Amenk artistik dari sudut pandang entah apa itu. Namun yang agak pasti, secara arkeologis gambar Amenk penting buat nyari tau di mana letak kesalahan artistik generasi Onky Alexander yang menggabungkan simbol ketakwaan (tasbeh di kaca spion) dan simbol kebrengsekan (bergumul dikasur dengan Meriam Belina) dengan begitu ga-bangetnya . Juga termasuk menginvestigasi kesalahan teologis generasi sejamannya yang dengan sungguh tega mengganti cover cetakan baru buku Soe Hok Gie dengan muka Nicholas Saputra. Wew.

Tanpa banyak cangcingcong, kita bisa liat langsung karya Amenk. Saya akan ambil yang bagi saya pribadi merupakan ‘magnum opus’-nya yaitu poster promo A Stone A maen live di Substereo, sebuah acara mingguan di radio Oz Bandung. Mungkin orang-orang normal paling banter hanya akan tersenyum melihat gambar anak punk mencium tangan polisi. Namun bagi kita, generasi yang diculik alien tadi, akan  terpingkal-pingkal melihat hal-hal yang begitu detil digambarkan Amenk. Tentu seorang Punk mencium tangan saja sudah paradox, bayangkan mencium tangan polisi, simbol otoritas paten. Total oxymoron. Terlebih dengan backpatch Anarki di punggungya.

Entah disengaja atau tidak, Amenk selalu memperhatikan detil-detil absurd yang hanya di mengerti oleh kita-kita para ex-penghuni kapal induk, yang dimana untuk menjelaskannya lebih sulit dari usaha menjelaskan kenapa tangan saya di tato kepada anak saya. Coba lihat tulisan nama band di belakang jaket jeans, di atas backpatch Anarki tadi. Emangnya siapa dari kita yang mau bikin band bernama ‘Hantu’ lalu dengan tipografi kayak begitu pula? Wakakakakakak. Saya yakin di luar kapal induk kalian tak akan paham apa lucunya atau sebelah mana absurdnya hal remeh seperti tadi. Termasuk logo kepolisian ber-tengkorak, simbol kesatuan yang diganti pake ‘ASTONEA’ dan, yang paling epik, nama sang polisi; Sunyoto. (Anjis, apa harus saya tulis nih  mitos kepanjangannya?, yang gak ngerti udah pura-pura ngerti aja).

Belum pula ia selalu melengkapinya dengan teks-teks maha tidak penting yang membuat karya-karyanya layak di print A0 dan dipasang di ruang tamu. Coba saja baca ini potongan teks dari karyanya yang dari judulnya saja sudah dramatis, ‘Hasrat Kebinatangan Itu’;

             “Bayanganku selalu tertuju pada pijatan romantis Mas Toni, tiap sentuhannya terasa gairah seks ini bergelora dengan tiba-tiba. Tiada tara, entah sampay kapan pun aku selalu mencintaimu mas Toni. Dia ganteng selain itu dia pejabat DPRD yang proyek-proyek fiktifnya selalu di ACC. Memang terdengar bejad ketika aku mendengarnya, aku kaget bukan kepalang. Apalagi aku merupakan wanita simpanan Mas Toni kedua karena hubungan gelap ini. Sampay-sampay aku positip hamil 1,5 bulan. Mas Toni selalu mengiming-imingi kelak bayi itu diberi nama Robertus Dodi Permana Gonzales, aku pun hanya tersenyum malu mendengar itu. Malahan ketika itu pun naluri kebinatanganku muncul ingin bercinta dengan Mas Toni sampay lecet”

Epik, ganas membual, mengalir seperti freestyle Eminem, sedikit retro eni erow, dua dikit sastra tembok WC, abrupt, berbahaya. Teks-teks Amenk sulit diprediksi meski terasa akrab sekali, serasa pernah baca di suatu tempat di suatu waktu. Gabungan antara, ‘Robertus Dodi Permana Gonzales’ dan tato swastika Nazi di bahu sang cewek cukup membuat kita menggeleng-geleng ketagihan sambil menyambat, “Naeuuun atuh anjeeeeeeng”.

Amenk bukan saja seseorang yang mudah akrab disudut tangkringan Bandung manapun, dengan potongan rambutnya yang mana tahan seperti itu siapapun dapat akrab dengannya. Namun dengan mengangkat hal-hal remeh yang akrab di sekitar kita sebagai bodoran lokal, guyonan botol oplosan, dan candaan pojokan Bandung lah, ia bisa lebih gampang di akses. Itu mungkin yang membuat karyanya akrab dengan kita selain tentunya karya-karya itu sudah terlanjur menjadi bagian dari aktivitas kultural kita sebagai mahluk-mahluk tidak berbudaya dihadapan ‘tradisi’, dari poster acara hingga sampul CD. Ilustrasi T-Shirt hingga sampul zine. Dari jaman iF Venue, Ultimus masih di Lengkong hingga jaman senjakala kejayaan distro klotingan seperti sekarang.

Hal-hal remeh yang menahun sedemikian rupa sehingga memang Amenk saya pikir harus pameran. Entah atas alasan logis dan artistik apa. Yang agak pasti mungkin agar kita bisa merayakan keabsurdan ini sebagai, dalam kalimat almarhum Andry Moch; “Anak Haram Kebudayaan Pride!”. Ada yang punya istilah yang agak keren? Asa teu ngeunaheun pisan.

Selamat berpameran ‘Menk. We love you beybeh!

Posted in: Uncategorized