Fisher, Masa Depan yang Gagal Hadir dan Debut Portishead

Posted on August 22, 2021

0


**Ditulis saat minggu-minggu pertama pandemi tahun 2020 lalu. Sekedar terapi depresi di tengah karantina. Saya berikan pada Elevation Books sebagai salah satu tulisan tambahan saat hendak mencetak ulang "Setelah Boombox Usai Menyalak" beberapa bulan kemudian. Saya arsipkan di sini mumpung bertepatan dengan ulang tahun ke-27 album "Dummy" ini.

Mark Fisher memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pada awal tahun 2017. Keputusan tragis yang membuat saya belakangan menghabiskan kembali waktu membaca beberapa karya-karyanya untuk sekedar melacak ulang wilayah depresi yang dulu pernah tersimpulkan dari tulisan-tulisannya. Pernah ada waktu ketika Mark menyimpulkan bahwa depresi bukan sekedar masalah individu belaka, tapi juga persoalan sosial, dan tatanan sosial dalam empat dekade terakhir telah cukup banyak memberi alasan bagi manusia untuk jatuh ke dalam depresi.

Fisher berupaya menjelaskan depresi kolektif ini dalam buku Capitalist Realism yang terbit pada tahun 2009. Depresi itu datang dari tatanan yang tak lagi menghasilkan imajinasi masa depan. Ketika kita ternyata tidak lagi mampu memimpikan dunia yang baru, dimana semua hanya hidup dalam pengulangan temporal dimana tak ada yang berubah dan tak ada yang dapat diubah. Dunia di bawah kapitalisme memang busuk, namun sulit membayangkan akhir kapitalisme tanpa bencana. Bukan hanya karena kapitalisme merupakan satu-satunya sistem ekonomi politik yang viable, tapi juga mustahil membayangkan alternatif lain darinya. Dalam kata lain, persis seperti kutipan Frederic Jameson yang dipungut Slavoj Žižek; “lebih mudah membayangkan akhir dunia dibanding membayangkan akhir dari kapitalisme.”

Pada bukunya yang diterbitkan lima tahun setelah Capitalist Realism, Ghosts of My Life, Mark Fisher melanjutkan dengan kekhawatiran serupa, bahwa dunia kita telah bertransformasi menjadi museum; musik yang kita dengarkan, buku yang kita baca dan film yang kita tonton hanyalah sekedar versi reboot dari masa lalu. Produksi kebudayaan berhenti dan berjalan di tempat dengan hanya melakukan remix. Ini yang ia maksud dengan “the slow cancellation of the future,” batalnya masa depan. Kita dihantui oleh masa depan yang gagal hadir.

Mark Fisher menggunakan media “musik” sebagai pengantar pemaparan. Yang menarik adalah bagaimana ia menjelaskan soal depresi dengan bantuan dari kisah Joy Division. Ia menganggap Joy Division sebagai grup musik pertama yang berhasil menggambarkan kegelisahan dan depresi yang akan terjadi di masa depan, sebuah masyarakat yang dirundung krisis kesehatan mental dan pesimisme yang sangat meluas. Jika masa depan Joy Division (yang eksis antara tahun 1979 dan 1980) adalah hari ini, maka musik dan lirik Joy Division berhasil menghasilkan melankolia yang tidak datang dari frustrasi atau rasa kehilangan akibat percintaan, namun dari depresi kolektif yang belum terdefinisikan.

Dalam konteks musik, Fisher berargumen bahwa nyaris tak ada lagi ruang untuk musik yang futuristik. Bukan karena hal-hal yang futuristik dalam musik sudah diborong, katakanlah oleh Kraftwerk, namun juga karena memang di era milenium ini kita tidak bisa lagi membayangkan masa depan baru seperti Kraftwerk membayangkannya di dekade 1970-an. Para remaja yang secara demografi biasanya bertanggung jawab atas terjadinya proses perkecambahan budaya kali ini (dengan hadirnya teknologi digital) lebih tertarik dengan hanya mengimitasi penanda kultural dari dekade lampau dibanding menghasilkan musik yang orisinil. Ini mirip dengan tesis yang dipaparkan oleh Simon Reynolds di bukunya Retromania: Pop Culture’s Addiction To Its Own Past.

Celakanya, stasis ini bukan cuma perkara musik. Yang terjadi adalah melenyapnya corak berimajinasi kolektif secara keseluruhan; kegagalan untuk menciptakan imaji dunia yang benar-benar berbeda dengan apa yang tersedia hari ini. Yang terjadi adalah kebudayaan akan terus berlangsung tanpa perubahan yang berarti dan politik hanya direduksi jadi sekedar urusan administrasi dalam sistem kapitalisme.

Bagi Fisher, ketidakmampuan mengimajinasikan sesuatu yang baru ini berhubungan erat dengan “state of mind” dimana kita hidup. Lebih mudah dan nyaman bagi kita untuk melanjutkan hidup seperti apa adanya dibandingkan dengan memikirkan sebuah dunia baru yang lebih baik. Semacam himbauan “jangan pernah bermimpi,” karena setiap harapan adalah ilusi yang berbahaya. Meski tak sempurna sekalipun, melakukan sedikit perbaikan pada sistem hari ini akan jauh lebih baik dibanding melakukan perubahan yang radikal, karena yang radikal itu memang tidak pernah terbayangkan sama sekali.

Kita harus “realistis,” kita hidup dengan “realisme” sesederhana uang sebagai satu-satunya motivator yang menggerakkan manusia untuk bekerja dengan yang lain. Jika tidak ada uang, manusia akan kehilangan motivasi, malas dan tidak akan berkontribusi apapun bagi masyarakat. Ini semua hadir tanpa disadari, bisa dibilang masuk ke dalam “alam bawah sadar.” Dalam bahasa Fisher;”Capitalism seamlessly occupies the horizons of the thinkable.” Mengapa pula harus dipikirkan? Kita semua bermimpi untuk hidup nyaman, punya pekerjaan berpenghasilan cakep, mobil, rumah dan banyak uang untuk jalan-jalan ke manca negara. Kapitalisme menghisap hasrat hidup dan menakarnya dengan nilai moneter. Sampai di sini, Mark Fisher terdengar seperti versi lain dari salah satu bab buku Crimethinc, “Days of War, Nights of Love.”

Tapi yang menarik bagi saya dari buku Ghosts of My Life tersebut adalah pemaparannya tentang apa yang ia sebut sebagai “hauntology.” Terminologi yang ia pinjam dari Jacques Derrida. Bagaimana jika masa depan memang tidak lagi dibayangkan dengan hal-hal yang benar-benar baru? Bagaimana jika imaji masa depan bisa didatangkan dari sisa-sisa potensinya pada serpihan masa lalu yang dipanggil ulang dan dimodifikasi sedemikian rupa?

Hauntology ini justru menarik karena saya bisa memahaminya justru lewat pengalaman pertama kali mendengar Portishead. Tepatnya di penghujung tahun 1994, diperkenalkan oleh sahabat saya Adi dan Udi. Saat itu kediaman mereka di bilangan Buah Batu sudah mirip rumah kedua bagi saya. Hampir setiap hari saya bermain dan tak jarang menginap di sana. Kamar mereka sudah hampir mirip laboratorium ide dan inspirasi bagi kami. Pada waktu tertentu, bahkan saya bisa menghabiskan waktu lebih banyak di kamar mereka dibanding di kamar sendiri.

Sejak lama, kamar mereka adalah tempat sakral bagi kami untuk menikmati dan berdiskusi soal musik. Namun di akhir 1994 saya merasa terasing di sana untuk pertama kalinya dalam hidup. Biasanya jika mereka memutar sesuatu, saya selalu bisa menikmati, tapi tidak selalu demikian sejak penghujung tahun itu. Bisa dibilang itu adalah saat yang sulit bagi saya untuk berada di kamar mereka.

Grup musik mereka yang baru, Pure Saturday, baru saja memenangkan sebuah festival beberapa bulan sebelumnya, saya sudah tidak ingat kapan tepatnya, mungkin pertengahan tahun. Studio latihan dadakan mereka di ujung Jl. Moh. Ramdhan (gudang bekas pabrik gitar yang mereka namakan Gudang Coklat) telah menjadi tempat permanen berlatih seiring kebutuhan bagi ruang bermain baru dan bereksperimen untuk Pure Saturday. Maklum, nama PS mulai naik daun dan bersiap masuk dapur rekaman. Di saat itulah saya mulai kehilangan frekuensi jika bicara soal musik dengan mereka.

Adi (dan tentu saja termasuk Udi) mendadak jarang memutar punk/HC, metal atau musik-musik ekstrem teranyar. Mereka juga mulai berlangganan majalah Select. Mulai sangat serius mendengarkan musik britpop, shoegaze dan musik-musik lain yang saya tidak pernah bisa klop dengannya, kecuali sejumlah kecil yang bisa dihitung dengan jari. My Bloody Valentines dan Cocteau Twins misalnya.

Dari semua pengecualian itu, Portishead lah yang paling istimewa. Album debut mereka, Dummy baru saja dirilis di pertengahan tahun. Udi mendeskripsikannya sebagai musik trip-hop, konon menurutnya masih saudara dekat Britpop dari dataran Inggris. Saya sudah mendengar Massive Attack sebelumnya, dan saya tidak tertarik. Saat pertama kali Adi-Udi merekomendasikan Portishead, saya sudah bersiap dengan sikap pesimis dan menyiapkan beberapa kalimat sinis atau sejenis respon pelecehan lainnya. Karena terus terang saja, saya sudah tidak tahan dengan entah berapa lagi band sejenis Suede, Pulp, Stone Roses atau Oasis yang harus saya dengarkan.

Tepat ketika satu sore mereka memutarnya dan memaksa saya tetap di tempat, saya terkejut. Portishead sama sekali tidak sama dengan band-band yang sudah saya sebutkan tadi, mendekatipun tidak. Saat “Mysterons” dimulai saya takjub luar biasa karena lagu itu sangat ‘hip hop’ dalam arti yang paling harfiah untuk zaman itu. Saya sempat menunggu beberapa menit bersiap untuk kecewa, karena bisa saja lagu itu kemudian berakhir seperti parodi rap super buruk semodel “Loser” Beck yang saat itu sedang menjadi hit. Secara mengejutkan, ternyata tidak sama sekali.

Drum breaks yang mirip “Can’t Stop the Prophet” milik Jeru the Damaja, dengan sound sebusuk dua album pertama Cypress Hill, bass mendentum, suara semodel synth nada tinggi menghantui serupa “Bitches Aint Shit,” lagu penutup album The Chronic Dr. Dre, dan dilengkapi dengan scratch minimalis a la DJ Premier dari Gang Starr. “Mysterons” adalah track hip hop yang sangat prima. Saat itu saya baru saja membuat grup bernama Homicide beberapa bulan sebelumnya, dan sedang tergila-gila bahkan terobsesi dengan sound khas Soul Assassin, kolektif yang terdiri dari Cypress Hill, House of Pain dan Funkdoobiest. “Mysterons” bersuara persis seolah Portishead adalah bagian dari Soul Assassin.

“Mysterons” adalah gerbang yang sempurna bagi saya untuk menyimak keseluruhan album. Dari awal hingga akhir sejumlah 11 lagu, tak ada satupun yang mengecewakan. Dari yang mulai berlapis sample seperti “Sour Times,” hingga track minimalis seperti “It Could Be Sweet.” Ada jugayangmencampur aduk beragam loop jazz seperti Digable Planets, scratch petikan funk dan boombap seperti A Tribe Called Quest di “Wandering Star,” gedoran bass pada “Strangers” yang di-filter macam Black Moon. Dummy adalah album hip hop tanpa rap yang paling menakjubkan yang pernah saya dengar.

Untuk sesaat saya tidak percaya jika ini adalah grup musik asal Bristol, Inggris. Karena dalam pemahaman saya saat itu, hip hop di Inggris lebih dekat pada musik rap ber-BPM tinggi dengan pengaruh “Rebel Without A Pause” Public Enemy atau “Warm It Up Kane” milik Big Daddy Kane yang sering disebut Britcore. Rasanya sulit membayangkan skena Bristol menghasilkan musik se-blunted Soul Assassins.

Portishead beranggotakan seorang hiphophead muda, biduan yang lebih banyak menyanyi di kamar mandi dibanding di panggung, dan seorang gitaris jazz paruh baya yang bosan dengan jazz. Geoff Barrow, Beth Gibbons dan Adrian Utley membuat sebuah eksperimentasi yang fondasinya dibangun dari sebuah musik yang “tidak orisinil.” Hip hop dikonstruksi dari ‘ketidak-baruan’; kepingan bagian dari rekaman-rekaman yang sudah pernah hadir. Hip hop adalah musik sampling, dan Portishead melakukannya dengan sangat luar biasa.

Namun beberapa padanan yang tadi saya sebutkan berhenti sampai di situ. Portishead memainkan hip hop yang memiliki struktur lagu yang lebih dinamis dari lagu rap pada umumnya. Kedinamisan ini cukup membingungkan juga memicu perdebatan antara saya dan Udi, apakah musik mereka umumnya sample-based atau memakai instrumen live.

Pada beberapa lagu sangat kentara kejeniusan mereka dalam menggabungkan beberapa sample, misalnya potongan lagu War, Lalo Schifrin dan Otis Turner pada “Sour Times.” Sebaliknya, pada beberapa lagu lain sangat jelas mereka menambahkan instrumen live, seperti string untuk lagu “Roads” atau gitar pada “Glory Box.”

Namun pada beberapa momen terdapat suara monoton yang saya pikir adalah sample tapi tiba-tiba berubah dinamis seperti suara theremin pada “Mysterons” dan bass pada lagu “It’s A Fire,” yang sangat tidak mungkin dilakukan memakai, katakanlah, MPC1000 atau SP1200. Dan saya yakin teknologi komputer di tahun 1994 belum sampai pada level itu untuk merekayasa suara. Jika benar itu instrumen live sekalipun, pertanyaannya adalah bagaimana mereka membuat “live sound” tersebut bertekstur layaknya suara sample? Begitu pula dengan scratch saxofon pada lagu “Pedestal,” di zaman sebelum ada Serato, sulit membayangkan bagaimana Geoff Barrow melakukan scratch sedemikian menyatu dengan musik di belakangnya.

Pertanyaan atas semua ini baru terjawab secara lebih mendetail beberapa tahun kemudian, setelah saya membaca interview mereka dengan beragam media. Ternyata dalam prosesnya, mereka membuat koleksi sample sendiri. Membuat loop, potongan suara saksofon, Hammond, gitar, bass, keyboard, dan breakbeat mereka sendiri. Geoff Barrow dan Adrian Utley melakukan jam session dengan alat-alat tua yang kemudian direkam, lalu mereka cetak ke dalam piringan hitam. Kemudian piringan hitam tersebut (terinspirasi cerita proses rekaman Public Enemy) mereka injak-injak dan dalam hiperbola Barrow “dijadikan papan skateboard” di dalam studio, agar mendapatkan tekstur suara dan crackle vinil yang mereka inginkan.

Musik sedemikian intens bertambah muram ketika dipadu dengan kontribusi vokal Beth Gibbons. Suaranya merupakan keistimewaan yang lain, yang dengan sangat indah menyanyikan lirik-lirik tentang kehilangan, kekecewaan konstan, ketiadaan peluang untuk berharap dan depresi-depresi sejenis. Adi menyebut musik Portishead sebagai chill-out music. Tapi saya meragukannya karena liriknya sangat tidak “chill-out.” Di puncak kejayaan grunge saat itu, saya sangat bisa menyamakan sentimen lirik Beth Gibbons dengan depresi Kurt Cobain.

Trio ini menghadirkan nuansa dari beragam lintasan waktu lalu membungkusnya secara elegan. Satu kata kunci yang sering dikatakan orang tentang album ini adalah aura. Aura yang bisa diartikan juga “hantu” dalam diksi Fisher. Hantu dari landmark musik atau budaya populer di belakang mereka. Lagu-lagu sentimental Julee Cruise dan Billie Holiday, vibe enigmatik lanskap narkoba Cocteau Twins, soundtrack James Bond, boombap Eric B & Rakim dan Brand Nubian, film sci-fi dekade 1970-an dan Ennio Morricone, Miles Davis serta Sonny Rollins. Nuansa yang sebetulnya cukup akrab dalam budaya populer sebelum tahun 1994. Misalkan gospel pada sekujur “It’s A Fire,” nuansa sinematik di “Roads,” atau sederhananya bisa dengarkan “Glory Box” yang memaksimalkan sepotong loop Isaac Hayes, dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah lagu yang benar-benar menjauhi impresi awal lagu asalnya.

Portishead adalah hauntology sebelum hauntology eksis sebagai istilah. Jauh hari sebelum The Caretaker dan Burial jadi objek bahasan Mark Fisher satu dekade kemudian. Sebelum Mark Fisher menekankan fungsi hauntology ketika inovasi budaya gagal dan bahkan mundur ke belakang; agar tetap bersikeras berharap ada masa depan melampaui terminal waktu post-modern.

Hauntology sama sekali bukan nostalgia. Seperti halnya Portishead memakai vokal Johnnie Ray sebagai bahan scratch, suara sejenis balalaika Lalo Schifrin atau musik film noir klasik sebagai fondasi lagu. Ketika “hari ini” tak dapat lagi membayangkan masa depan, maka yang harus kita lakukan adalah mendengarkan sisa-sisa potensi masa depan yang bertaburan di masa lalu.

Dalam bentuknya yang lain dua tahun kemudian saya menemukan album Stereolab Emperor Tomato Ketchup dengan ekstasi yang sama, begitu pula sebetulnya album ikonik Refused The Shape of Punk to Come empat tahun kemudian. Tentu saja jejak pengaruh Dummy hari ini nampaknya berserakan dimana-mana. Dari mulai sederet musik rap gelap di Soundcloud, playlist lo-fi hip hop di YouTube hingga Lana Del Rey.

Metode dobrakan Portishead merekam suara nan vintage untuk kemudian dijadikan sumber sample sudah sering pula direplikasi oleh musisi hari ini. Mungkin Adrian Younge yang paling menonjol, melakukan metode ini secara lebih masif pada album-albumnya. Meski dalam format yang lebih mendekati soul era blaxploitation, kita dengan mudah dapat mengatakan bahwa Adrian Younge terinspirasi oleh Portishead. Uniknya, di kemudian hari katalog Adrian Younge dijadikan satu-satunya sumber sampling oleh DJ Premier untuk proyeknya bersama Royce 59. It’s a meta twist; sebuah album yang mereplikasi suara masa lampau menjadi bahan bangunan bagi sebuah album hip hop yang bersuara melampaui album-album hip hop lain di belakangnya.

Mark Fisher sendiri memutuskan untuk bunuh diri dua tahun lalu pada usia dua kali umur frontman Joy Divison, Ian Curtis, yang juga bunuh diri 39 tahun lalu. Pada artikel tribute-nya bagi Fisher, Majalah Jacobin menulis tentang peranan penting Mark dalam membantu kita untuk memahami depresi kolektif yang kita derita, dan mengandaikan jika saja Mark Fisher mau bertahan sedikit lebih lama untuk bisa menyaksikan kemungkinan dimulainya akhir dari ‘Capitalist Realism’ yang telah memberinya mimpi buruk. Jika saja dia mau bertahan sedikit lebih lama, kemungkinan ia bisa menyaksikan depresi kolektif akhirnya tersingkir dari dunia, dan mungkin dapat menyingkirkan depresi personal Mark Fisher itu sendiri.

Tapi saya meragukan hal itu. Amerika hamil tua dan melahirkan Trump, Bernie Sanders yang Jacobin harapkan akhirnya mundur teratur. Arab Spring berakhir dengan tragis, pembasmian komune Oakland menandakan berakhirnya gerakan Occupy dan hanya menyisakan slogannya saja; “Another world is possible.” Pergolakan di Yunani berujung pada Syriza yang menyerah kepada neoliberalisme, gerakan progresif dibabat di hampir setiap penjuru, mulai dari gerakan Rompi Kuning di Paris hingga pemberontakan sipil di Lebanon. Populisme kanan semakin menyebar dari Argentina sampai Australia. Dalam versi lokal; presiden “pilihan rakyat” hari ini memiliki agenda percepatan pembangunan yang merupakan versi lain dari agenda Soeharto dahulu. Di luar persoalan apakah masih layak diperjuangkan atau tidak, saya tak melihat masa depan yang ‘alternatif’ tersebut kecuali di pojokan Rojava dan Chiapas. Artinya, depresi kolektif tadi masih akan mendominasi entah hingga kapan.

Meski demikian, tawaran Mark lewat hauntology bukan saja memungkinkan, tapi juga sudah pernah berhasil dilakukan secara gemilang, paling tidak melalui Dummy. Jika memang salah satu caranya adalah mengkoleksi ulang fragmen masa lalu yang pernah sukses bermimpi, album itu menunjukkan praktek tersebut dengan sangat indah.

Pasca 1994, Dummy akhirnya menjadi album yang sangat sering kami bicarakan. Tiga tahun kemudian mereka menghasilkan album self-titled yang lebih hebat lagi dari Dummy. Sejak itu mereka vakum dan baru tahun 2008 mereka kembali dengan album ke-3 yang bersuara jauh dari apa yang mereka hasilkan di 90-an, namun tetap aduhai. Entah seberapa besar pengaruh Portishead dalam proses kreatif Pure Saturday, yang pasti bagi saya sendiri porsi itu cukup besar, terutama saat membuat album kedua Homicide, Barisan Nisan. Saya ingat, bagimana dalam satu momen, saya dan Udi mengimajinasikan masa depan; jika kita menua nanti, album ini mungkin akan masih kita putar di sore hari sambil minum teh manis hangat.

Namun nampaknya cerita masa depan itu batal terjadi. Adi dan Udi memutuskan memilih jalan terbaik bagi mereka lima tahun lalu. Dalam istilah beberapa orang; hijrah. Mereka tak ingin lagi terlibat dengan apapun yang beririsan dengan musik, termasuk mendengarkan lagu, menulis album, dan tentu saja keluar dari Pure Saturday. Sebelum itu terjadi, mereka bersama PS sempat merilis album terakhir yang luar biasa, Grey, yang dalam prosesnya membuat Adi dan Udi mengunjungi lagi musik-musik masa kecil mereka, dari Marillion, Genesis hingga Rush.

Ketika Mark Fisher bercerita tentang masa depan yang gagal hadir, karena tak lagi terimajinasikan, hal sepele seperti ini tak pernah datang di benak saya. Ada baiknya saya membayangkan ulang masa depan meski kali ini sangat personal. Jika sempat menjalani masa tua sekalipun, kemungkinan saya hanya akan memutar Dummy sendirian, untuk sekedar mengingat betapa luar biasa dan berpengaruhnya album ini dalam lintasan waktu yang saya jalani. Dengan teh pahit dingin pun tak masalah.

Posted in: Uncategorized