If ever I would stop thinking about music and politics I would tell you that the personal revolution is far more difficult and is the first step in any revolution “Music and Politics”, Disposable Heroes of Hiphoprisy
Sekilas seperti tak ada yang istimewa di rentang 1992-1994. Tapi mungkin karena itu musim tenang sebelum badai. Pemilu ke 5 di era Suharto baru saja selesai, dan pemenangnya tentu saja Golongan Karya. Nama Nike Ardilla sedang melejit, Bucek Depp merajai halaman-halaman majalah remaja seperti Hai. Lulu Tobing dan Ersamayori memenangkan Gadis Sampul, Sepultura datang membakar Lebak Bulus dan Tambaksari lalu disusul Metallica setahun kemudian. “Smells Like Teen Spirit” mulai populer dan Bon Jovi baru potong rambut.
Jika kalian cukup beruntung, kalian bisa membeli pemutar portable seperti Walkman dan mendengarkan musik di ruang publik sendirian. Selain itu, musik yang personal mungkin hanya ada di kamar kalian, belum di komputer-komputer atau gadget-gadget. Umumnya, musik ada di udara kala itu, bisa didengar di sekeliling. Di dalam angkot ke sekolah, dari booombox tangkringan, di warung-warung kopi, pertokoan dan sebagian di televisi yang tentu saja didominasi musik pop. Dari “All That She Wants” Ace of Base, hits epik GNR “November Rain” hingga “Come Undone” Duran-Duran. Whitney Houston hingga Red Hot Chilli Papers, dan tentu saja Metallica.
Seperti halnya trend potongan rambut Demi Moore yang masih banyak ditemukan di 1992, siklus hidup trend musik pop pun masih sangat panjang. Di 1993 “More Than Words” milik Extreme yang dirilis 3 tahun sebelumnya masih menjadi ‘hits’ dan masih sering dinyanyikan orang di jalan, penyanyi pub, atau teman sekelas di SMA beramai-ramai saat guru membolos. Masih banyak yang berpikir jika “Kangen” dan “Tak ‘Kan Ada Cinta Yang Lain” ada di album Dewa 19 yang sama.
Saat itu Indonesia sedang memasuki fase terakhir REPELITA V, dan rezim mulai khawatir dengan melejitnya suara PDI di 1992 yang kelak mengerucut pada peristiwa 27 Juli beberapa tahun kemudian. Orde Baru sedang kuat-kuatnya mencengkram, bermodalkan kucuran dana hutang luar negeri dalam jumlah berlimpah. Embrio akumulasi kemarahan yang meruntuhkan Suharto di penghujung dekade, berawal di tahun-tahun ini. Yang paling mencolok mungkin tragedi Haur Koneng dan perlawanan petani dan mahasiswa yang berhadapan dengan tentara pada kasus perampasan lahan di Belangguan, Situbondo, Jawa Timur.
Genangan darah pasca pembantaian di Dili belum mengering. Rezim membeli paksa tanah warga di Cimacan dengan harga setara sebatang rokok untuk kemudian membangun lapangan golf di atasnya. Kasus pembunuhan Marsinah, buruh yang dibungkam karena mengorganisir protes dan pemogokan, mulai menyeruak meski mati-matian diredam rezim. Foto Haji Dodo yang dipenggal tangannya saat mempertahankan tanah dan ruang hidupnya di Tapos, merupakan simbol sublim laknatnya sebuah era.
Album Swami II yang dirilis di rentang waktu itu tetap menggigit meski liriknya tak sekuat album pertama. Radio tak banyak memutar lagu mereka, album Iwan Fals yang tak lama dirilis beriringan “Belum Ada Judul”, justru lebih sering diputar. Meski Swami merilis beberapa lagu ‘provokatif’ dan Slank menyanyi tentang pencekalan, hingga saat itu nyaris tak ada lagu protes lokal yang signifikan. Sebuah zaman yang tak mengizinkan hal demikian esksis, terlebih di kanal-kanal populer. Kestabilan dan kemananan nasional bagi pembangunan merupakan mantra sakti pembenarannya. Stabilitas politik dijalankan dengan represi. Beragam rekayasa dibuat untuk menciptakan ketakutan dan kepatuhan. Jangan harap ada anak muda dalam jumlah banyak yang resah dan kritis mempertanyakan keadaan saat itu. Ada sunyi konformitas yang mengerikan di tengah hingar bingar yang mengilusi.
Tapi 1993 dan 1994 adalah musim tenang sebelum badai. Saya seperti banyak para penggemar musik lainnya, sering berjudi kualitas kaset dengan menilai sampulnya di toko-toko yang tidak selalu menyediakan kaset tester. Dua-tiga dekade lampau, memantau, mendengarkan dan merekam acara radio bukan hanya jadi cara paling hemat bagi mereka yang ingin mendengarkan musik tanpa harus beli kaset, tapi juga menolong mereka yang berjudi tadi untuk mengurangi resiko tertipu oleh sampul, meski masih saja terjadi jika musik-musik yang kalian sukai jarang diputar di radio.
Pada satu malam minggu, sebuah radio di Bandung memutar sebuah lagu rock yang cukup unik dan menyita perhatian. Sang penyiar menyebut nama bandnya dengan cukup sulit; “Rage Against The Machine”. Suara gitarnya cukup metal meski dengan sentuhan funk yang cukup kental pula, di atas groove dalam BPM rendah, vokalnya yang nge-rap menjadi pusat perhatian saya. “Bombtrack” merupakan lagu alien pertama yang saya dengar. Dengan jumlah bait yang pendek namun cukup serius sehingga saya bisa membedakannya dengan eksperimen-eksperimen rap-rock yang hadir sebelumnya baik dari 24-7 Spyz, Anthrax, bahkan “Eyes of Tomorrow” milik Cro-Mags.
Saat itu saya sudah menjadi diehard fan Public Enemy, dan tidak sulit untuk bilang jika RATM sangat terpengaruh Public Enemy. Jika sulit melihatnya dari lirik, cukup mendengar bagaimana sang gitaris, Tom Morello meniru suara disonan/sirine yang identik dengan palet musik Public Enemy era 4 album pertama. Maka tidak sulit bagi saya untuk menyukai album bersampulkan seorang biksu yang membakar diri di persimpangan jalan Saigon sebagai bentuk protes itu.
“Bombtrack” bukanlah lagu rap konvensional, bukan pula lagu rock pada umumnya, sehingga nampaknya para music director di radio-radio kebingungan harus menaruh di mana lagu promo RATM tersebut. Terlalu berisik untuk acara rap, sangat mengganggu untuk tangga nada Top10, dan tentunya bukan untuk radio rock di mana acara rock/metal saat itu sangat memberi jarak dengan musik rap. GMR, satu-satunya radio rock di Bandung memutar Edane, Slank, Oppie, Gong 2000, Rotor, Rudal, Power Metal hingga hits Roxx paling kanonik, “Rock Bergema”. Namun karena kebingungan itulah, single debutan tersebut bisa didengar di radio-radio dengan frekuensi yang cukup sering.
Ketika “Bombtrack” mulai diputar di radio-radio lokal, rap memang sedang kembali populer. Trend hip hop mulai marak kembali, setelah popularitasnya menurun pasca trend breakdance memudar di akhir 80-an. Seiring dengan meledaknya lagu-lagu hits rap di tangga lagu mainstream (seperti “Jump Around” milik House of Pain atau “O.P.P” milik Naughty by Nature) album rap pertama di Indonesia “Aku Ingin Kembali” milik Iwa-K dirilis dan memberi inspirasi bagi banyak anak muda lainnya untuk mempelajari rap lebih serius.
Meski demikian komunitas/skena hip hop lokal belum lah lahir, bahkan dalam bentuk yang paling kecilnya sekalipun. Tidak seperti halnya metal dan punk. Di Bandung, yang kala itu masih diliputi euforia Persib memenangkan kompetisi Perserikatan terakhir, sudah dipenuhi anak-anak muda yang mendengarkan rock, metal, punk/hardcore dan membuat band-band cadas di pojokan-pojokan kota. Tapi masih agak asing dengan rock-rap RATM, meski kolaborasi Public Enemy dan Anthrax pada “Bring the Noise” yang cukup fenomenal dirilis dua tahun sebelumnya. Gelombang tsunami hip-metal yang membanalkannya baru datang 5-6 tahun kemudian.
Dengan naiknya trend hip hop dan membesarnya metal di 90an awal, RATM merupakan anomali yang sulit diabaikan pada tahun 1993. Terlebih ketika single ke-dua mereka muncul tak lama kemudian. “Killing In The Name” merupakan magnet luar biasa meski strukturnya justru tidak berupa verse penuh dengan bait rapat. Hanya beberapa kalimat yang diulang-ulang. Jika ada alasan mengapa “Killing In The Name” menarik perhatian baik dari mereka yang mendengarkan metal, punk atau hip hop, barangkali kalimat “Fuck You” belasan kali yang diulang-ulang di akhir lagu itu lah jawabannya. Seolah ada kemarahan massal yang tak jelas yang tak tertampung, lalu disediakan oleh lagu itu untuk diekspresikan; “fuck you, i won’t do what you tell me”.
Bagi mereka yang belum paham betul apa yang sedang terjadi di Orde Baru dan masih berjarak dengan wacana ekonomi-politik, album debut RATM itu merupakan gerbang awal. Ia berbicara tentang pemberangusan kebebasan berbicara, berpendapat dan berkumpul. Tentang imprealisme, tentang konspirasi di belakang industri media, tentang bagaimana kalian memiliki ‘peluru di kepala’ karena termakan propaganda pemerintah, perihal seruan membangkang pada panggilan wamil dan memeriksa siapa musuhmu sebenarnya. Mereka terdengar seperti Public Enemy versi yang lebih radikalnya.
Namun irisan inspirasi dari mereka yang merubah hidup sebetulnya datang di album ke-dua yang dirilis tiga tahun kemudian, Evil Empire. Datang di waktu yang tepat ketika saya mulai berada di tengah-tengah aktivisme kampus, beberapa bulan menjelang krisis kapitalisme di Thailand dimulai. Menjadi sumber api krisis moneter di Asia Tenggara, merambat cepat bagai api di hutan musim kemarau yang dibakar untuk memberi ruang bagi industri sawit. Menghajar Indonesia sebelum kemudian berujung pada aksi protes besar-besaran dua tahun kemudian.
Uniknya, Evil Empire justru bersuara lebih Led Zeppelin dibanding album perdana mereka yang agak metal. Dibantu Tim dan Brad, Tom semakin merajalela. Tak hanya meniru suara sirine dan menghasilkan disonan, ia dan gitar Fender plus Pedal DigiTech Whammy-nya pula memanggil ruh musik Sly and the Family Stone, Geto Boys, NWA, MC5 dan The Clash di sekujur album. Lirik Zack semakin tajam dan telanjang di satu sisi, lebih puitik di sisi lain. Ia sampaikan dengan energi meletup-letup. Ia masih berbicara tentang imprealisme Amerika, bahkan dengan provokasi lanjutan yang lebih mengiring pendengarnya melihat motif ekonomi-politik dari relasi-relasi yang ada. Melihat sejarah gerakan rakyatnya (yang jelas sekali pengaruh Howard Zinn di situ), mempromosikan gerilyawan Zapatista, hingga menunjuk NAFTA dan neoliberalisme yang sedang menggurita sebagai biang kerok, juga perihal negara yang dibajak korporasi sembari menyerukan untuk bergabung dalam konsolidasi gerakan massa.
Yang paling menarik dan penting adalah fakta bagaimana mereka menaruh buku-buku radikal di balik sampul albumnya. Mulai dari buku Huey P. Newton, Noam Chosmky dan Frantz Fanon. Dari klasik semodel Capital Karl Marx dan The ABC of Communist Anarchism dari Alexander Berkman hingga manual lapangan seperti Rules for Radicals Saul D. Alinsky. Dari susunan buku itu pula saya pertama kali mengenal wajah Che Guevara yang di kemudian hari tak hanya saya temukan di tembok sekre PRD tapi juga di tabloid gosip saat Ahmad Dhani memakai kaosnya. Jelas ini merupakan jendela baru bagi seorang pemuda belasan tahun di Bandung yang sedang mempertanyakan banyak hal di sekelilingnya.
Di beberapa tahun kemudian setelah berkelindan di skena punk dan memperoleh zine dan rekaman-rekaman provokatif lain, saya pula mempelajari banyak paradoks dan ironi dari mereka. Bagaimana Kent McClard marah karena menganggap Zack mengkooptasi idenya (nama RATM berasal dari Kent), lalu merubahnya menjadi komoditas yang bertentangan dengan etos dan idealismenya. Downset yang menuduh mereka mencuri konsep dan palsu lalu merekam lagu diss bagi mereka. Dari mulai argumen tentang bagaimana mereka menjual ‘revolusi’ sampai isu-isu komodifikasi lain yang paling ekstrem sedemikian rupa sehingga RATM menjadi salah satu subjek khusus perdebatan di skena DIY HC/Punk pertengahan hingga akhir 90an. Namun nampaknya, justru itu yang mereka kehendaki; memprovokasi dialog. Zack dkk tak hanya ingin bermain musik, mereka menghendaki musik pula sebagai kendaraan aktivisme politik mereka. Zack dan Tom meyakini bahwa musik dapat menyebarkan gagasan, menembus batas-batas ruang dan ideologi.
Ketika Infectious Grooves menuduh mereka sebagai munafik pasal menyebarkan gagasan sosialisme dan anti-korporasi namun menjadi jutawan menjalin kontrak dengan Epic Records/Sony, Tom berujar, “Di tengah masyarakat kapitalistik hari ini, diseminasi informasi yang efektif adalah melalui kanal-kanal kapitalis. Apakah Noam Chomsky keberatan bukunya dijual di Barnes & Noble? Saya kira tidak, karena di sana lah orang-orang kebanyakan membeli buku. We’re not interested in preaching to just the converted. Bermain di squat yang dijalankan oleh para anarkis itu penting, namun penting pula menjangkau orang-orang awam dengan pesan-pesan revolusioner.”
Begitu pula dengan Zack ketika buletin revolusioner Propaganda mewawancarainya, ia berargumen “Memangnya apa alasan orang yang memanjat atap kedutaan Amerika dan memasang banner “Bebaskan Mumia Abu-Jamal”? Karena itu efektif untuk mendapatkan perhatian press internasional. Seperti itulah bagi saya jaringan yang dimiliki oleh Sony, …to me it’s the perfect tool, it can get even more people to join a revolutionary awareness and fight”
Sedikit banyaknya, debat-debat ini berkontribusi bagi dialektika internal, terutama ketika berhadapan dengan perkara musik dan politik, soal gagasan dan penyebarannya, tentang bagaimana teori dan praktek bersengkarut. Yang tidak saya sadari adalah betapa besar peran Zack dalam hal ini. Bagaimana ia berorasi di setiap panggung, menceburkan diri ke pengorganisiran politik di kotanya, mengunjungi Chiapas untuk mempromosikan EZLN, dan lain sebagainya. Zack melampaui sebutan media pada dirinya sebagai ‘frontman’. Ketika Zack menyatakan diri keluar dari RATM pada tahun 2000, saya sudah mengira bahwa RATM sudah kelar.
***
Malam kemarin Tom, Tim Commerford dan Brad Wilk datang ke Jakarta, membawa pahlawan saya Chuck D dan frontman Cypress Hill, B-Real yang menggantikan Zack di departemen vokal. Ditambah DJ Public Enemy sekarang, DJ Lord, mereka mendeklarasikan diri sebagai proyek permanen di bawah bendera Prophets of Rage, grup baru mereka yang dibentuk sejak Trump menduduki Gedung Putih. Di atas kertas tentu saja ini menarik. Namun EP dan album mereka berbicara lain.
Terdengar seperti fusi rock-rap yang ketinggalan zaman jika berkeberatan saya sebut kehilangan relevansi. Chuck memang menulis lagu tentang banyak hal yang salah di Amerika yang sedang hamil tua. Namun entah mengapa lirik mereka jauh lebih generik dari apa yang Chuck D tulis saat di empat album pertama Public Enemy. Yang saya bayangkan adalah padanan “Welcome to the Terrordome” dengan groove dan agresi “Down Rodeo”. Namun yang saya dapatkan adalah provokasi politik a la Green Day dengan sisa-sisa materi sekelas komposisi yang tak masuk hitungan seleksi album Audioslave. Ironi yang sama saat mendengar lagu baru Ice Cube dengan ekspektasi sekelas “AmeriKKKa’s Most Wanted”.
Mendengarkan Prophets of Rage di era politik progresif sudah mencapai titik didih, ini sungguh ironis mengingat Zack pernah menulis sesuatu yang jauh lebih baik, puitik dan konfrontatif dua dekade lalu. Saya sempat berpikir, mengapa Tom tidak memilih Boots Riley (dari The Coup), yang hingga hari ini sangat konsisten dengan narasi dan rima radikalnya, fasih menerjemahkan politik hari ini dalam konteks praktek-praktek perlawanan, tetap relevan (misalnya dengan mengandaikan komune yang terjadi di Rojava terjadi pula di kotanya, Oakland) dan pernah pula membuat grup Street Sweeper Social Club bersama Tom.
Secara langsung atau tidak, saya bisa bilang tanpa RATM mungkin inspirasi menuju petualangan selanjutnya pada hidup saya akan berbeda cerita. RATM (dan Public Enemy) kadung menjadi bagian dari revolusi personal saya. Maka saya putuskan untuk tetap hadir malam itu. Paling tidak demi nostalgia. Ada waktu ketika Rage Against The Machine, Public Enemy dan Cypress Hill diputar pada boombox setiap hari secara simultan dua setengah dekade lalu dan tak pernah terbayangkan satu hari mereka datang dalam satu paket. Setelah mencuri-curi nonton panggung mereka di Youtube, ternyata setengah setlist mereka merupakan materi RATM. Saya pikir lumayan lah, kapan lagi melihat Tom Morello dkk memainkan materi-materi itu di panggung secara langsung?.
Dengan ekspektasi yang saya turunkan level setengahnya, malam itu cukup menyenangkan. Saya sudah bisa mengabaikan bila ternyata Chuck dan B-Real tak bisa membawakan materi-materi RATM dengan ruh dan gemuruh yang sama. Bersama beberapa kawan lain saya mendaras rima demi rima kanon Zack dengan khusyuk. Sebagai bonus, pula beberapa lagu Public Enemy dan Cypress Hill. Hey, kapan pernah bermimpi ngerap “Hand on the Pump” di depan B-Real sampai suara serak? Nostalgia tentunya lengkap ketika DJ Lord memutar setetes “Jump Around” sebagai pemanis.

From that, and then this.
Tom di sela-sela aksinya, seperti biasa membalikkan gitarnya yang selalu ditempeli kertas berisikan pesan. Namun saya sedikit terkaget dan mengerenyitkan dahi ketika membaca “Bhinneka Tunggal Ika” di sana. Dont get me wrong, saya sama sekali tidak punya masalah dengan pesan soal keberagaman yang ada di frasa itu. Namun situasi terkini pasca kasus pengepungan di Surabaya dan rusuh Papua (atau entah sejak berapa lama), kalimat itu bersanding dengan ‘NKRI Harga Mati’ dipakai para ultra-nasionalis dan ormas patriot fasis yang tentunya tak akan pernah sekubu dalam peta politik keberpihakan Tom.
Agak mengejutkan pula karena sehari sebelumnya dalam satu forum bincang, Tom menjelaskan posisi politik dia perihal Papua, dan berujar bahwa ia berpihak pada self-determination. Jika memang tak bermasalah sekalipun, frasa tersebut sama sekali tak selevel provokasinya dengan pesan yang biasa ia tulis pada gitar yang sama di panggung-panggung lain, misalnya “Fuck Trump” atau “Fuck Farrage” ketika bermain di Inggris. Di momen panggungnya di Santiago, Brasil, Tom menulis “Justicia Victor Jarra” di balik gitarnya saat mendengar para tentara pembunuh sang seniman revolusioner itu dijatuhi hukuman setelah bertahun-tahun kasusnya gelap, ia bisa melakukan yang setara di sini dengan menulis “Keadilan Bagi Munir”. Atau mungkin ia bisa menulis “Referendum Untuk Papua”, mengingat ia juga sempat menulis “Catalunya Lliure” (“Free Catalonia”) saat bermain di Spanyol sembari memakai kaos Barca dan menyatakan dukungannya bagi referendum di Catalonia dua tahun lalu.
Dengan latar belakang demikian, saya hanya bisa menduga ini pasti ide cringy yang datang dari seseorang di belakang panggung yang meyakininya bahwa itu hal keren, dan menjelaskan kepada Tom bahwa frasa itu merupakan padanan dari semangat dan ide di balik “E pluribus unum” yang hari ini diinjak-injak oleh Trump dengan politik white supremacy-nya. Jika yang Tom maksud itu memprovokasi dialog, menggunakan simbol seperti tulisan dan stiker pada gitar-gitarnya di malam itu (Arm the Homeless, logo serikat buruh IWW, Antifa dsb), maka di Ancol kemarin ia tak banyak memprovokasi. Bicara provokasi pula, Chuck D pun tak banyak berorasi, jika ada pun mungkin tak penting-penting amat.
Di akhir set saat mereka memainkan “Bombtrack” sebagai encore, saya baru merasakan betapa kosongnya performa mereka kemarin. Bukan karena kualitas panggung mereka yang sebetulnya cukup untuk sekedar jadi momen penting bernostalgia, namun karena ada yang tak hadir malam itu jika merujuk pada legacy mereka. Di akhir acara mereka memasang tulisan besar “Make Jakarta Rage Again” pada backdrop LED panggung dan saya tak merasa terprovokasi sedikitpun, bahkan kemungkinan besar tak ada seorangpun yang gelisah pasca acara. Terhibur mungkin, marah tidak. Persis seperti kondisi pikiran anak muda di era Nike Ardilla melejit, Bucek Depp merajai majalah remaja, Ersamayori memenangkan Gadis Sampul, Sepultura datang mengunjungi Lebak Bulus dan Bon Jovi baru potong rambut.
Saya mendadak teringat pada satu show RATM yang dihentikan di tengah demonstrasi memprotes Republican National Convention di Minnesota, dan panggung diambil alih polisi. Mereka menyerukan “F*ck the police, we’ll go acapella!”. Zack kemudian masuk ke tengah-tengah massa, lalu berorasi tentang busuknya kebijakan partai Republik juga tentang kebrutalan polisi sebelum kemudian ia mengambil megaphone, menggelontorkan rap “Bulls on Parade” dan “Killing in the Name” dengan bantuan Tom memainkan suara wah-wah dengan mulutnya, sedangkan Tim dan Brad bertepuktangan menggantikan bass dan drum, lalu massa aksi ikut serta nge-rap. Saya yakin ini bukan soal kualitas pertunjukkan.
Di tengah hiruk pikuk politik hari ini, gejolak di Hongkong, Paris, Rojava, Yunani nampak di horizon, naiknya fasisme di mana-mana, krisis lingkungan yang di ambang tengat menuju kiamat, pemberangusan gerakan dan kriminalisasi di seantero nusantara, eskalasi di Papua, show kemarin merupakan catatan kaki tambahan bagi pengingat bahwa musik memang tidak bisa mengubah dunia, tapi memiliki potensi untuk mengubah persepsi orang, memprovokasi gagasan, memulai dialog dan debat. Sesuatu yang gagal dihadirkan Prophets of Rage malam itu. Sesuatu yang ironis mengingat hari ini monopoli media sebagai kanal-kanal penyampai pesan sudah bukan lagi permasalahan.
But yeah, at least we spit hard every words on “Hand on the Pump”. That’s great enough. Ekspektasi sudah saya turunkan lebih dari setengahnya, saya pulang dengan tenang. Tak perlu khawatir soal “kemarahan”, saya bisa mendapatkannya di band lain atau di sumber-sumber lain.
Muhamad Rizkia Ramdhani
September 14, 2019
Sabar kang ucok, terkadang musisi hari ini banyak yang di luar ekspektasi (padahal dulunya keren, sekarang mah ampuh deh.. puyeng lihatnya trus ngga jelas). Btw, sama kaya kata kang ucok dulu.. “Bahwa kita harus menyisakan sebuah ruang untuk mengiklaskan banyak hal” dalam hal ini tentang makin sulitnya mengkonsumsi musik berkualitas. Duh.. Salam ti Cirebon kang, cheers. Haturnuhun.