Mei dan Turbulensi

Posted on May 25, 2019

2


Ada kelebat memori seorang Wahyu Permana, yang lebih sering kami panggil Jojon, di setiap bulan Mei. Bulan di mana imaji-imaji dua dekade lampau lalu lalang. Kepulan asap, kerumunan orang-orang marah, aparat berbaris, saksi-saksi berbicara dan refleksi-refleksi yang sudah tak lagi dihiraukan orang banyak.

20 tahun lalu, Jojon menempel poster-poster ukuran A4 bertuliskan “Cabut Dwifungsi ABRI” di sepanjang jalan Aceh, Bandung. Di bawah terik yang tanggung, saya berjalan mengikutinya dari belakang dengan seember kecil adonan lem. Kawan-kawan lain berpencar arah. Adrenalin menempel poster demikian di daerah sekitar Kodam membuat malam sesudahnya menyaksikan Jojon menulis komposisi baru untuk album Balcony yang sedang mereka garap, yang kelak mereka beri judul Terkarbonasi. Dia bicara tentang Snapcase, Korn dan Quicksand, saya menimpalinya dengan cerita tentang nyali yang tinggal seperiuk untuk dibagi-bagi, dari yang tersisa di berlembar halaman catatan harian yang saling menempel rapat oleh entah air hujan atau air kopi yang mengering di hari-hari pasca pasukan Wiranto menghabiskan isi magasinnya di Semanggi beberapa bulan sebelumnya.

Album baru Dismember dan demoralisasi datang di satu musim yang sama tak lama setahun kemudian. Dua hal itu kerap Jojon sebut saat menumpahkan semua yang ia miliki kala itu untuk melahirkan album terakhir Balcony, Metafora Komposisi Imajinar. Dalam prosesnya ia menyempatkan berkisah soal bagaimana kehadirannya di tengah barisan massa yang menggeruduk polres di Cibabat (untuk membebaskan buruh PT. Gladiatex yang ditahan saat itu) tidak datang dari analisa perjuangan kelas, namun lebih menyerupai spesies protes yang lahir dari absurditas Camus di Sampar. Tentu saya tidak peduli, sudah pasti yang paling penting ia hadir di sana di momen tersebut. Saya hanya bersikeras jika “Ilustrasi Matahati” di album itu seharusnya memakai cello.

Demoralisasi berkali datang kembali di babakan lain pada satu lanskap yang terbuka oleh beliung. Tapi seringnya kali ini kita lebih menyambutnya sebagai teman seapi-unggunan saat gelap datang dengan dingin yang mulai bertaring. Dari rahim seperti itu “Ilustrasi Matahati” lahir, satu hal yang membuat saya selalu iri pada Jojon. Ketika paham bahwa ia sedang mengirim pesan bagi siapapun kawan yang terpuruk meski berjarak.

Di Mei ini, tepat 20 tahun Jojon menempel poster di sekitaran jalan Aceh itu, saya ingin mengingatnya kembali, lengkap dengan “Ilustrasi Matahati”-nya. Dengan ceritanya tentang metal dan Jeff Hanneman, The Cranberries dan Dolores, dunia tanpa tuan dan hamba, tentang lampu jalan Wastukencana yang menelan cahayanya sendiri, tentang demoralisasi yang membenamkan, juga perihal pesan bagi mereka yang bersetia di lintasan komet bahwa mereka tidak sendirian, terlebih ketika negara mulai kembali menunjukkan watak asli Orwellian-nya, dan “Police State” bukan hanya sekedar judul lagu Dead Prez. Di Mei ini imaji dua dekade lampau bukan hanya lalu lalang namun juga hadir kembali dalam bentuk pertarungan para elit yang paling sublimnya, ekses elektoralisme akut, politik identitas yang makin memuakkan lengkap dengan bumbu-bumbu fasisme di sana sini.

Elan pertarungan dua dekade lalu itu sendiri hari ini bertransisi menjadi perang-perang sunyi di tempat-tempat yang luput dari lampu sorot. Di antara mereka yang membangun gerakan otonom warga di titik-titik api, di antara para petani yang dirampas lahannya oleh tambang besi, tol dan bandara, di tengah-tengah perjuangan warga yang menolak korporasi dan negara bersekutu menghancurkan kampung halaman mereka dari Beutong Ateuh, Muara Siau, hingga Tumpang Pitu, di antara mereka yang menolak ruang hidupnya dirampas dari Baros, Indramayu hingga Kendeng, di antara kegelisahan, tawa dan geliat warga kampung-kampung kota yang berhadapan dengan penggusuran. Di ruang-ruang di mana para buruh yang saling menguatkan dan menumbuhkan satu sama lain di hadapan politik upah murah, represi preman bayaran pabrik, dan kooptasi elit-elit serikat brengsek. Di antara mereka yang berkali jatuh bangun dalam ikhtiarnya mentransformasikan sekelilingnya dengan membuat basis-basis ekonomi alternatif, mengaktivasi ruang-ruang yang terkomodifikasi menjadi medan bertarung melawan moncong-moncong kanon estetikanisasi kota, menjadikannya ruang bermain, belajar dan berdialektika. Tentunya, di antara mereka yang masih menari dalam beragam apapun pergulatan dan pergolakan yang mereka hadapi.

Mei pula adalah bulan lagu-lagu dinyanyikan dan sajak-sajak dibacakan untuk mengingat bahwa tirani tidak runtuh hanya oleh komentar-komentar dan kebebasan tidak hadir tanpa resiko memperjuangkannya. Meski kemudian tiran hanya akan digantikan oleh despot lain, Mei mengingatkan saya tentang bagaimana hidup yang layak dirayakan bersama turbulensi zaman. Di sana pula lah memori almarhum Jojon akan selalu lalu lalang.

* * * * *

Posted in: Uncategorized