I
Malam itu tampak terlalu cepat sepi saat saya memarkirkan motor di pinggir Bale-bale. Biasanya beberapa warga sudah berkumpul di taman bunga sebelah parkiran untuk bersiap ke kelas pengorganisiran komunitas di Bale Warga seperti kemarin-kemarin. Namun hanya terlihat Pak Adeng dan Pak Dade yang hadir, merokok di kursi bambu dengan raut wajah menunggu.
Di kursi yang sama nyaris 2 minggu yang lalu dua orang asing mengamati dengan seksama keberlangsungan diskusi kami sebelum kemudian masuk dan bertanya perihal ini itu seputar materi diskusi, penyelenggara, penggagas dan pemateri malam itu. Tempat ini masih berada dalam radius area militer sehingga tidak lah perlu menjadi aktivis atau terlibat di pergerakan untuk menyadari siapa dan apa kepentingan dua orang berbadan tegap dan berpotongan rambut cepak ini.
Suasana menegang. Seorang warga, darah muda tentunya, terpancing emosi mempertanyakan balik kehadiran mereka di Bale. Kurang dari satu menit beradu pembenaran, salah satu ‘tamu’ kami malam itu mengeluarkan pistol dengan sangat tenang. Ia simpan di atas meja sambil berujar singkat “Oke, siapa yang mau banyak omong”. Mirip seperti di film-film. Saya terkaget, karena terus terang sangat tidak diperkirakan ia mengeluarkan senjata api. Keheningan ruangan dimanfaatkan oleh mereka untuk menggelontorkan beberapa kalimat ancaman sebelum akhirnya pergi sambil menendang bangku bambu di depan Bale.
“Kami sudah mengambil keputusan ‘Cok. Kemarin warga ngumpul”, sambil mengambil tumpukan kertas di sampingnya -nampak seperti risalah pertemuan- Pak Dade berusaha memulai pembicaraan tanpa basa basi. “Kita memutuskan untuk berhenti dulu, sementara waktu tiarap dulu lah. Warga stress kayaknya”.
Saya tak menduganya, tapi saya tidak kaget. Dengan animo dan semangat warga yang besar sebelum-sebelumnya, pula dengan catatan panjang aktivitas warga disana yang cukup intens untuk ukuran warga miskin kota, saya sempat memperkirakan militansi mereka tak akan kalah hanya dengan kedatangan dua orang dari Koramil lokal menggertak. “Untuk sementara kita juga berusaha gak bikin yang aneh-aneh dulu, gimana?” Pak Adeng menambahkan. Saya hanya mengangguk tersenyum dan menyalakan rokok yang tinggal tersisa sebatang. Ada sedikit keanehan pada kalimat tadi. ‘Yang aneh-aneh’ itu sebenarnya sudah tak lagi aneh alias telah menjadi tradisi di pojokan Ciwastra ini, dan malam ini mendadak Pak Adeng mendeklarasikan ‘kenormalan’nya dengan nada datar.
Selang beberapa belas menit, saya pamit, karena malam itu memang semakin cepat sepi. Biasanya di jam-jam seperti ini tawa dan sapa masih menghangatkan Bale hingga larut tengat. Namun tak ada yang patut disesali, terlebih langit malam itu terang dan hujan agak bersahabat tidak turun sejak sore. Petanda momen yang cocok menziarahi lagi jalanan Bandung. Saya menyalakan mesin motor beberapa meter dari mulut gang seperti biasa agar tak menggangu. Album the Left mungkin adalah album hiphop terbaik yang pernah saya dengarkan sejak 2 tahun lalu. Saya tancap gas dan memasang headphone dengan volume mentok tepat di track “Binoculars”; ‘Pray for the best, but trust me the worst is yet to come’. Aneh memang, apa bagusnya Kanye West?.
II
Asun menelpon ada yang urgent di Cipaganti, ada yang ingin disampaikan Pa Iman dengan segera. Saya pun mampir di posko. Pa Iman melambaikan tangannya di dekat berangkal selokan besar. Di Lokasi itu selusin PKL, sebagian besar warga RW saya, digusur. Sebuah perusahaan rental mobil dan bisnis shuttle akan memperluas wilayah dengan menyewa lahan di belakang kios-kios itu untuk lahan parkir. Mereka ingin semua yang merusak pemandangan dan sirkulasi armada mereka dipindahkan.
“Pa Ucok, udah ada respon dari beliau”. Saya tahu persis yang dimaksudnya ‘beliau’ adalah para anggota dewan dan koneksi-koneksi Pa Iman di sebuah parpol. “Kita sebaiknya mengalah, nanti dicarikan solusinya”, Lanjutnya. Saya sudah memperkirakan. Dari awal beberapa dari kami berngotot-ngotot menyarankan Pak RW dan beberapa lainnya untuk tidak melakukan advokasi dengan pendekatan ‘elit’.
“Kita pake kekuatan warga pak, sebarkan edaran untuk tidak memberi izin usaha dari warga dan kawan-kawan PKL tetap dagang di situ”, Saya memotong dan Pak Iman terdiam. “Kita kondisikan kawan-kawan Tarka untuk menjaga mereka yang bertahan di situ. Satpol datang? kita lawan. Toh mereka juga ilegal, ga punya izin dari warga”, lanjut saya. Pak Iman semakin terdiam. Aura pesimis menghias wajahnya yang tertutupi asap Dji Sam Soe. Ia duduk di bebatuan bekas bongkaran lapak, saya pulang. Esoknya, saya mendengar kabar beberapa sejawat Pak Iman menerima amplop dari para ‘beliau’ dan para PKL dipindahkan. Beberapa di taman, beberapa di depan bekas rumah makan, menunggu waktu untuk digusur kembali.
“Pa Ucok, kita sepakat untuk berhenti dulu sampe sini. Nanti kita kabarkan kalo memang para PKL memang mau tetap maju”, Pa Iman berusaha menerangkan alasan paling logis soal tadi di obrolan warga mingguan. Saya sudah tahu ujungnya, kali ini lebih mirip pengulangan iklan Sosis So Nice 3 detik. Para PKL itu tak akan pernah lagi ‘maju’, dengan distribusi uang ganti rugi sekedarnya dan sedikit pemaksaan dari mereka sudah cukup membuat para warga PKL menerima keadaan. Saya pulang dan mandi, menemani Lyssa dan Lala mengerjakan PR hingga malam larut tiba untuk kemudian memenuhi janji datang berkunjung ke kawan-kawan di Babakan Asih. Memasang kembali The Left dengan volume parat di headphone, tancap gas menembus malam Bandung.
III
“Lu ga akan pernah menang cok, lu tau siapa yang lu lawan?”. Bertemu kawan lama memang kadang seperti pengulangan. Persis pertanyaannya yang terdengar seperti deja vu. Seperti kalian pernah mendengar itu sebelumnya meski tak persis ingat siapa yang bilang. Entah berapa kali pula saya rasanya pernah menjawabnya bahwa kemenangan bukan lagi yang kami cari. Dulu, mungkin. Lebih dari satu dekade lalu. Namun rasanya ada perspektif yang harus dirubah jika tidak ingin demoralisasi berulang kali karena memang kemenangan seperti apa yang bisa diraih melawan dunia seperti ini kala ‘revolusi’ tak kunjung datang dan orang-orang menunggunya seperti menunggu bis lewat? Dengan segilintir orang pula. Pa Adeng, Pa Dade dan Pa Iman mungkin pula tak harus minta maaf pada saya, karena memang keterlibatan saya selama ini sukarela. Bahkan bisa dianggap hobi seperti main bola. Saya sudah agak lupa bagaimana rasanya punya sebuah beban bernama ‘bertanggung jawab’ pada rakyat. Atau ‘setia’ pada ‘garis massa’. Atau ‘konsisten’ pada ‘perjuangan kelas’. Atau istilah-istilah lain yang tak akan mungkin saya jelaskan kontradiksinya pada Pa Adeng, Pa Iman dan Pa Dade untuk menjelaskan bahwa saya baik-baik saja. Pun tidak terpuruk kecewa. Saya melakukan ini untuk saya sendiri, bukan untuk mereka. Oleh karena nya, saya tak perlu harus kecewa jika pada kenyataannya, warga, rakyat atau massa tadi tak selalu harus sejalan dengan harapan saya. Saya bahkan cukup berterimakasih pada mereka sudah melibatkan saya pada pergulatan eksistensi dan pergolakan komunitas, yang punya kontribusi besar menghajar kebosanan personal saya, menjalani hidup sehidup mungkin. Its been a good fight anyway. Persis potongan verses dari album The Left.
Kawan lama tadi memberikan kartu pos Public Enemy. Oleh-oleh melancong keliling dunia dibiayai negara, katanya. Profesinya sebagai staf peneliti lembaga riset yang disewa militer itu memang agak ironis jika mengingat betapa brutalnya dia dahulu di lapangan. Kami berpisah di gerbang Ganesha tepat angkringan Magelang di situ tutup. Tempat dimana 12 tahun lalu ia dipopor senjata tentara sampe bocor. “Eh, Cok denger-denger konon katanya lu antek LSM?”, telinga saya yang tertutup headphone dan helm masih sempat mendengar ia setengah berteriak. Seringainya menandakan pertanyaannya tadi tak memerlukan jawaban dari saya. Dan kami terbahak-bahak sambil tancap gas. Album The Left tahun lalu ini memang menakjubkan diluar prediksi, track berjudul ‘Statistic’ ini luar biasa; “So now my attitude is like, fuck it, why bother”. Aneh, apa bagusnya itu sequel Blueprint-nya Jay-Z?
Okcrust
June 1, 2011
Saya melakukan ini untuk saya sendiri, bukan untuk mereka. Oleh karena nya, saya tak perlu harus kecewa jika pada kenyataannya, warga, rakyat atau massa tadi tak selalu harus sejalan dengan harapan saya -> menginspirasi saya, thanks 🙂
Acil
June 19, 2011
“Namun rasanya ada perspektif yang harus dirubah jika tidak ingin demoralisasi berulang kali karena memang kemenangan seperti apa yang bisa diraih melawan dunia seperti ini kala ‘revolusi’ tak kunjung datang dan orang-orang menunggunya seperti menunggu bis lewat? Dengan segilintir orang pula” keren nih.
harijogja
October 5, 2011
dari tulisan diatas, aku lihat ini sebuah budaya indonesia bung… dengan alasan lihat siapa lawan dalam bahasa jawa kalah sakdurung tanding (kalah sebelum tanding) mereka lebih suka cari aman, terus jika diteruskan lagi akan sampai apa… rubahlah dirimu sendiri sebab kau tak bisa merubah dunia sekitarmu…
gusbarlian
December 30, 2011
sekedar gumaman, cok :
kemenangan tak akan pernah tersentuh saat kita masih hidup,dinding tebal gak akan runtuh dengan satu pukulan saja. saat ini gua cuma percaya satu cara, tetap hidup dan siapkan generasi berikut untuk memberi pukulan lanjutan, karena kemenangan mungkin akan jadi hak mereka. bukan kita. Kita gak perlu martir yang membawa mati keyakinannya. Kita perlu ribuan pemberontak yang tetap hidup untuk mengajarkan keyakinannya.
hehe..gumaman gak jelas…
kala
January 12, 2013
terimakasih sudah terus menulis!!