Fight The Power in 1990, Fight Them Today: 20 Tahun Album Public Enemy ‘Fear of a Black Planet’

Posted on July 10, 2010

1


 

 

 

 

 

 

 

‘Fear of a Black Planet’ dirilis di bulan April 1990, namun dikarenakan era itu masih berjarak satu lompatan dalam mesin waktu dengan era Internet, saya baru mendapatkannya 3 bulan kemudian dalam bentuk kaset tepatnya tanggal 10 Juli 1990 (kebetulan, dahulu saya memiliki kebiasaan menuliskan tanggal di setiap rekaman yang saya beli). Dalam dunia tanpa search engine dan YouTube, 3 bulan sudah termasuk yang paling kilat. Biasanya saya mendapatkan sebuah album setahun lebih setelah dirilis.

Saya masih ingat memburunya setelah seorang kawan SMA bercerita melihat album Public Enemy baru di jajaran rak di toko musik Aquarius Dago yang sekarang sudah tutup bangkrut tak bisa bertahan di era download gratisan. Diputar ribuan kali, membelit di cassette player dan walkman puluhan kali, dan membelinya entah berapa kali hingga kaset nya tak lagi dijual dan saya memiliki versi piringan hitam beserta CD-nya satu windu kemudian.

Sebelum dirilisnya album ini di penghujung dekade 1980-an, sebagai ABG yang mencari-cari musik aneh, saya sudah menjadi big fan dari Public Enemy. Di zaman pop-chart diisi Madonna, New Kids on the Block dan teman sebangku menyetel Metallica dan Iron Maiden, agak wajar untuk jatuh cinta pada musik se-enerjik dan se-‘bising’ rap, terlebih yang di usung Chuck D dan kawan-kawan.

Dua album pertama mereka ‘Yo Bum Rush the Show’ dan ‘It Takes A Nation of Millions to Hold Us Back’ sudah cukup fenomenal. Chuck D, Flavor Flav, DJ Terminator X, dan sekelompok beat-producer yang menamakan diri mereka The Bomb Squad plus segerombolan sekuriti absurd bernama S1W, memperlihatkan pada dunia sejauh apa hip hop dapat menjadi sangat politis dengan musik yang sangat revolusioner hasil metode sampling yang sama sekali baru dan luar biasa inspiratif.

Sebagai ilustrasi, kala itu hip hop masih berusaha keluar dari era primitif pasca The Message nya Melle Mel dan stereotipikal a la LL Cool J dan Run DMC. OK, memang Beastie Boys memberi warna sedikit, Rakim merevolusi art of emceeing, De La Soul membuka jalan bagi alt-hip hop, NWA datang dengan “Fuck The Police” menabur benih gangsta-rap. Namun tak ada album/grup hip hop lain yang memberi jalan terang ke arah penggunaan teknologi sampler dengan kekuatan lirik dan kontroversi melebihi Public Enemy.

Di masa para MC masih bicara soal selebrasi microphone dan menggoyang pesta, Chuck D datang dengan rima khas baritonnya menjelaskan bagaimana ia menolak panggilan wajib militer dari pemerintah dan masuk penjara sebagai konsekuensinya. Tentang konspirasi pemerintah yang memasok drugs ke lingkungan kulit hitam, perihal CIA yang menyadap telepon, pula soal pentingnya pengorganisiran komunitas dan seruan call-to-arms lainnya yang mungkin tidak terdengar aneh hari ini namun sangat tidak lazim jika kalian berada di era “Like A Prayer,” sex-drug-rock ‘n roll dan lirik setan/neraka a la metal. Terlebih ini datang dari genre party music seperti hip hop.

Jika ada album pasca generasi bunga dan cimeng a la  1960-an yang sedemikian rupa provokatif sehingga menginspirasi generasi apolitis zaman Suharto menjadi melek politik dan menstimulasi terlibat di perubahan bukan karena buku-buku ideologis dan lagu-lagu Iwan Fals, maka album ini bisa jadi salah satunya. (Saya mendapatkan album ini jauh hari sebelum berkenalan dengan buku-buku kiri).

Ini semua sekaligus membuktikan dalam skala global efek lirik Chuck D yang notabene soal Black Power tidak hanya menginspirasi anak muda kulit hitam, dan nampaknya saya bukan satu-satunya orang yang menganggapnya demikian. Dalam “Slingshot Hiphop”, sebuah film dokumenter dahsyat tentang hip hop di Palestina, seorang MC menjelaskan bagaimana album ini memberikan inspirasi bagi generasi musisi hip hop lokal yang terlibat di gelombang kedua Intifada di awal 2000-an.

Hingga tahun 1990, album mahakarya hiphop terdahsyat yang pernah diproduksi oleh genre ini adalah album kedua mereka sendiri ‘It Takes A Nation of Millions to Hold Us Back. Album itu begitu luarbiasa sehingga tak seorangpun dapat membayangkan bagaimana mereka akan melampaui semua pencapaian itu. Maka, jika hip hop adalah rock ‘n roll, ‘Fear of A Black Planet’ adalah ‘Sgt.Pepper’s Lonely Hearts Club’ pasca ‘Revolver’ dalam diskografi The Beatles dan sejarah rock ‘n roll. OK, mungkin terdengar hiperbolis, namun intinya ‘Fear of A Black Planet’ merepresentasikan seluruh kehebatan yang dapat dihasilkan dari sebuah genre musik hingga pada saat album tersebut dibuat bahkan melampaui album terbaik mereka sendiri persis ketika ‘Revolver’ membuat takjub kemudian datanglah ‘Sgt.Pepper’s’. Semua elemen album ini membuat sebuah fenomena tak terpisahkan, mulai dari cover album, sound, karakter, fashion, lirik hingga kontroversi anti-semit yang mengiringi peluncuran album ini.

Dari penampakannya sekalipun, saya sudah jatuh cinta setengah mampus. Sama sekali tak ada foto personil di sampul depan, tergantikan oleh sebuah ilustrasi nan maut. Dengan menggambarkan sebuah dunia yang dibayangi oleh sebuah planet bertato logo mereka, album ini sudah keluar dari apa yang selalu dibayangkan saat saya membeli album hip hop. Untuk mendapatkan efek galaksi yang Star Wars-ish sedemikian rupa, konon Public Enemy menyewa ilustrator dari NASA. Begitu pula foto grup di sampul dalam yang memvisualisasikan mereka di tengah sebuah rapat, Chuck terlihat sedang menjelaskan sesuatu dengan globe di tangan dan strategic map di meja yang dikelilingi oleh sisa grup mengitarinya, mencoba berkata bahwa mereka sangat serius membuat rencana serangan tandingan pada rasisme dan ketidakadilan.

Di album ini Chuck D memasuki wilayah yang tak pernah disentuh siapapun di era itu. Ia melampaui standar topik dan diskursus para rapper era itu dengan menghadirkan propaganda, dialog dan argumen. Rimanya tetap kolosal dan tak pernah absen kontroversi. Meski Chuck berujar di liriknya “Who gives a fuck about a goddamn Grammy?” bukan artinya ia sedang bermanuver bawah tanah, justru sebaliknya ia mendobrak dan memaksa mainstream menerima mereka dengan segala kekacauan yang dihasilkannya.

Dari mulai menyebut Elvis dan John Wayne rasis (“Fight The Power’), mencaci kebijakan apartheid terselubung departemen kepolisian AS (“911 is A Joke”), hingga deklarasi perang melawan gembong narkoba yang memasok drugs ke lingkungan kulit hitam. Belum lagi kolaborasinya dengan Ice Cube (yang saat itu sedang panas-panasnya) menyerukan generasinya untuk membakar Hollywood (“Burn Hollywood Burn”) karena melestarikan representasi kulit hitam sebagai jongos dan lawakan di film-filmnya, kemudian yang paling kusut adalah celetukannya yang menyebut dunia kacau gara-gara zionis (“Welcome to the Terrordome”) jauh hari sebelum frase itu menjadi anekdot.

Yang paling dahsyat album ini catat dalam sejarah adalah bagaimana the Bomb Squad (Hank dan Keith Shocklee, Carl Ryder dan Eric “Vietnam” Sadler) membuat lirik Chuck D dan Flav semakin membakar. Dengan jumlah 20 pada tracklist, Public Enemy tidak menyia-nyiakan sedikitpun ruang untuk mediocrity, sesuatu yang biasa-bisa, bahkan intro dan skit sekalipun. Sejak intro “Contract On The World Love Jam” dimulai hingga album ditutup dengan lagu ikonik mereka “Fight The Power”.

The Bomb Squad di album ini memang mencapai peak-nya dengan tak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan teknologi setelah dua album sebelumnya dibuat dengan sampler low tech. Jika kalian tak suka liriknya sekalipun, kalian bisa pura-pura tidak paham bahasa Inggris dan nikmati saja musiknya. Karena memang album ini menawarkan keajaiban dunia sonik yang hampir tak ada padanannya sampai sekarang. Beramunisikan mesin sampling paling high-end di zamannya, Shocklee cs memproduksi lebih buas lagi jeep beats neraka khas mereka tanpa meninggalkan karakter musik dari dua album sebelumnya, suara sirine, saksofon blast, stabs, drones, lengkingan gitar dan suara tak lazim lainnya. Makna ‘Bring the Noise’ kali ini benar-benar mereka hadirkan secara harfiah.

The Bomb Squad tetap mempertahankan formula sample berlapis-lapis hingga loop individual-nya akan sulit diindentifikasi sumbernya oleh pendengar biasa. Jika ada album abad 21 yang bisa mengilustrasikan dengan sempurna estetika post-modern “mengambil dari berangkal dunia lama dan mengkolasenya menjadi sesuatu yang baru” maka album inilah wujudnya yang paling keren. Beruntunglah album ini dibuat sebelum undang-undang sample dirancang sehingga mengizinkan The Bomb Squad men-sample apapun yang mereka ingin sample. Dari gitar Prince hingga beat Issac Hayes, dari Funkadelic, The Meters, Diana Ross, Sly & the Family Stone, Hall and Oates, The Commodores hingga lick gitar Uriah Heep. Mereka men-sample hampir apapun, sehingga album ini bisa didengar ratusan kali dan mendengar suara berbeda setiap kali kalian mendengarnya. Silahkan dengar lagi jika tak percaya. Mereka tak hanya menunjukkan bagaimana memaksimalkan sebuah alat bernama sampler, namun pula membuat metode itu menjadi state of the art tersendiri.

The Bomb Squad membuat sebuah formula album tanpa terdengar formulaic. Hingga skit 1 menit sekalipun seperti “Reggie Jax” dan “Meet the G That Killed Me” terasa sebagai bagian dari album bukan hanya filler pelengkap belaka. Bahkan ketika Terminator-X mempertontonkan skill turntablenya pada “Leave This Off Your Fuckin Charts”, it’s still fresh as hell!. Di zaman para DJ masih menata rapih komposisi scratch-nya, ia dengan brutal mengkomposisi track iseng di satu menit terakhir lagu “Power to The People”, dan ini dieksekusi jauh hari sebelum The X-ecutioners datang. Tak hanya itu, mereka pula yang mempelopori perubahan besar dalam mengkomposisi struktur lagu hip hop di mana mereka melahirkan lagu-lagu yang sama sekali keluar dari pola pop verse-chorus-verse dan bereksperimen dengan komposisi-komposisi aneh namun tetap ‘goyang’ dan funky-cold.

Album ini bukan saja magnum opus Public Enemy namun pula sekaligus momen paling menakjubkan dalam sejarah hip hop pada saat itu, dan mungkin hingga hari ini. Sebegitu dahsyatnya sehingga jika harus disingkat seluruh karir Public Enemy dalam 3 album pertama dan berakhir di album ini lalu mereka bubar, sama sekali tidak masalah (paling yang akan disayangkan mungkin tidak akan ada kolaborasi revolusioner mereka dengan Anthrax di album ‘Apocalypse 91’). Hanya sedikit grup rap yang memproduksi album yang sempurna tanpa cacat seperti ini. Bahkan 20 tahun kemudian, Fear of A Black Planet remains remarkably timeless!.

Album ketiga Public Enemy ini membuat wajah dan perilaku hip hop tak pernah lagi sama, mungkin persis dengan analogi Flavor Flav yang membawa-bawa jam dinding sebagai kalungnya untuk mengglorifikasi shoutnya yang terkenal “Yo Chuck! You know what time it is?”, bahwa propaganda yang baik adalah propaganda yang membuat kalian berdansa, dan dengan sebuah album klasik pula lah pesan mereka akan selalu relevan, 20 tahun bahkan hingga 100 tahun ke depan; Fight the power in 1990, fight them today.

 

Tagged:
Posted in: Uncategorized