I
Saya belum lama menyadari jika galeri foto di gawai ternyata sekarang ada notifikasinya. Semacam pengingat arsip-arsip foto beberapa tahun lalu yang aplikasi tersebut anggap sebagai momen penting untuk diingat oleh pemiliknya, entah bagaimana caranya. Satu hari bisa foto-foto kucing saya yang muncul, satu hari lain foto menonton Fariz RM bersama istri saya beberapa tahun lalu, misalnya. Pagi ini saya mengirim pesan pada Doyz hanya karena satu notifikasi muncul dan saya perlu mengkonfirmasi beberapa hal.
Notif tersebut adalah memori foto 5 tahun lalu. Momen Erik dan Doyz dari Blakumuh menginap di Grimloc untuk beberapa hari dalam rangkaian proses menyelesaikan album pertama mereka. Momen yang menyenangkan. Bagi saya, sebuah kehormatan diberi kesempatan memproduseri album debut salah satu unit hip hop pelopor di tanah air yang memiliki dampak dan pengaruh kuat di skena hip hop lokal pada eranya juga setelahnya.
Blakumuh eksis sejak tahun 1993. Malang melintang di kompetisi-kompetisi rap dan gig-gig di Jakarta di saat hip hop masih menjadi musik minoritas. Masuk kompilasi Pesta Rap, menjadi sidekick Iwa-K baik di studio dan panggung, hingga kemudian terbengkalai oleh proyek-proyek lain dan agenda personal baik Erik atau Doyz. Berujung pada fakta ironis; Blakumuh tak pernah punya album.
Tugas saya cukup sederhana meski saya anggap sebuah tantangan; membuat kanvas musik bagi rima mereka yang tak sempat mereka buat di 90-an. Tak hanya harus bersuara lengkap dengan sound klasik era itu, namun pula tetap relevan. Gagasan memulai produksi album di 2017 mengalami bejibun kendala, namun apapun itu saya bersikeras meyakinkan mereka bahwa Blakumuh harus punya album, bahkan jika memang terlambat 30 tahun sekalipun. Dekaden Lintas Dekade pun akhirnya rampung dan dirilis di bulan Juni 2022 lewat kerjasama Grimloc dan Dropbeats Records. Pagi ini saya perlu memastikan pada Doyz, kapan kira-kira kita memulai proses album itu.
Agak menyebalkan saat menyadari momen yang belum lama-lama amat justru berkabut dan nyaris tanpa jejak di memori jika tidak diingatkan notifikasi gawai. Sebaliknya, justru saya masih ingat dengan jelas warna ruangan kamar seorang teman, tempat kami memutar pertama kali album kompilasi Pesta Rap di tahun 1995 yang baru ia beli di sebuah toko kaset di Balubur, Bandung. Wangi ikan kembung goreng dan petai yang dibakar ibunya di dapur dan atmosfer sore itu di bilangan daerah Rajawali. Detail-detail kecil 30 tahun lalu lebih tersisa dibanding momen besar 5 tahun lalu.
II
Apa yang bisa ditulis perihal 10 tahun? Banyak tentu saja. Puppen mempopulerkan hardcore dan menjadi bagian penting dari gerakan independen musik di ranah lokal ‘hanya’ dalam waktu 10 tahun terhitung sejak mereka eksis di 1992 dan bubar di 2002 meninggalkan umat 2 album dan satu mini album. Dalam satu dekade Tetralogi Buru diselesaikan oleh Pram, empat buku klasik yang ia tulis di penjara pengasingan setelah peristiwa tragedi 1965.
Saat film Wild Style dirilis pada tahun 1984, hip hop masih berwajah “innocent“. Untuk pertama kalinya DJ, rap, breakdance, dan graffiti direpresentasikan sebagai sebuah kesatuan kultur berpayung hip hop, dan mulai menyebar secara global. Rima hip hop era itu masih masuk ke dalam kategori nursery rhymes. Namun dalam waktu 10 tahun, rap memiliki progress yang intensitasnya konon hanya bisa ditandingi oleh masa keemasan Jazz di 1920/1930-an. Satu dekade setelah Wild Style, hip hop menghasilkan album-album monumental dengan skala pencapaian artistik separipurna Illmatic. Bukan tanpa alasan jika kemudian era itu disebut sebagai masa keemasan hip hop, 10 tahun kemudian.
Dekade 80-an menyaksikan bagaimana perjalanan punk dari sejak debut 7″ Minor Threat menuju debut EP Fugazi. Dalam satu dekade wajah hardcore punk mengalami proses perubahan dramatis. Beberapa orang menyebutnya post-hardcore, namun semua tahu itu hanya sebutan untuk format, karena secara esensi mereka tetap sebuah band punk. 10 tahun di 80-an memberi kita contoh sempurna tentang dialog antara esensi dan bentuk. Daya ledak Crass hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 tahun untuk mengubah lanskap DIY punk dan penegasan keberpihakan politiknya sebagai kultur tandingan sebelum kemudian mereka benar-benar bubar. Berapa lama rentang waktu The Clash melahirkan 6 album klasiknya?
Dalam 10 tahun Slayer melahirkan 5 album yang merubah wajah metal selamanya. Kelimanya sulit ditandingi oleh album manapun dalam diskografi mereka. Rage Against the Machine merilis debut mereka di 1992, lalu bubar 3 album kemudian dan tak pernah merilis apapun meski beberapa kali reuni. 3 album penuh pertama mereka tersebut menjadi mahakarya yang menginspirasi bergenerasi lintas zaman dari musisi hingga pembangkang. Mereka menghasilkan itu semua kurang dari 10 tahun.
10 tahun sejak Death merilis Scream Bloody Gore, bumi dianugerahi album-album klasik death metal penanda zaman seperti Altars of Madness, Heartwork, Effigy of the Forgotten, Left Hand Path hingga Slaughter of the Soul. Kemajuan dan inovasinya begitu cepat dan brutal. 10 tahun pula terasa terlalu panjang bagi rentang waktu Public Enemy yang hadir sebagai grup pendobrak. Sebagai unit hip hop avantgardis yang merevolusi wajah genre ini sejak album debutnya di 1987. Saat album ke-5 mereka hadir di 1994, Public Enemy mulai bertransisi menjadi pengekor, stagnan sebelum menjadi grup rap yang benar-benar tak lagi relevan di dekade selanjutnya.
Butuh berapa lama Nu Metal berproses dari subgenre menyegarkan, super populer dan berujung dibenci sejuta umat?
III
Sebuah postingan medsos dari Mongabay lewat di lini masa, tertulis jelas sebagai tajuk “Proyek Deforestasi Terbesar di Dunia Sedang Berlangsung di Papua”, unggahan itu menampilkan foto Jokowi yang sedang melakukan seremoni simbolisasi pembukaan lahan baru bagi proyek strategis nasional, Food Estate tersebut. Ekspansi mesin keruk sudah sampai level menggasak dua juta hektar, atau kurang lebih setengah luas Jawa Barat.
Bagaimana kita bisa sampai di level ini hanya dalam waktu 10 tahun saja? Mas Bambang mengintrupsi kesunyian di ruangan baca LBH Bandung seraya mengingat satu momen. Bahwa apa yang kita saksikan hari ini persis seperti yang dijelaskan Swanvri pada diskusi di Toko Buku Ultimus. Momen yang ia maksud adalah sebuah acara ‘hajatan’ perilisan album saya, Fateh pada bulan Desember 2014. Diskusi dengan tema “Akumulasi Primitif & Ekspansi Kapital” itu mengundang Swanvri sebagai pembicara menggantikan Dede Mulyanto yang berhalangan hadir.
Swanvri tentu saja bukan cenayang, ia hanya menjelaskan dengan ringkas dan lugas tentang bagaimana kapital bekerja. Bagaimana logika mesin berjalan dan apa yang dimaksud dengan akumulasi primitif, pembukaan ruang-ruang baru dan implikasi-implikasinya. Ia dengan sangat yakin Jokowi akan meneruskan proyek MP3EI era SBY ke level yang lebih brutal.
Beberapa orang menyanggah dengan alasan bahwa Jokowi bukan figur yang demikian. Batas maklum saat itu memang harus dilonggarkan sedikit lebih ekstra. Di Desember 2014 Jokowi baru saja terpilih dan di Bandung, seperti halnya di banyak daerah lainnya, sedang memasuki masa ‘aftermath‘ debat melelahkan era copras-capres dengan mereka yang mempromosikan Jokowi sebagai ‘presiden rakyat’, harapan baru dalam hal melawan simbol kebangkitan orba dan militerisme, Prabowo. Melelahkan karena kali ini level perdebatan tentang pemilu menjadi sangat personal saat berhadapan dengan banyak sahabat-sahabat lama sendiri.
10 tahun setelah Jokowi menjabat dua periode kepresidenan, kita menyaksikan sirkus akbar dimana ia memberi jalan bagi Prabowo untuk berkuasa, dengan anaknya sebagai wakil presiden tentu saja. Satu dekade yang didekorasi revisi kedua RUU ITE, RKUHP, dan tentu saja UU drakonian Omnibus Law. Konflik lahan merebak, kriminalisasi marak dan protes massa bergelombang hadir, jika boleh menyebut beberapa saja fuckery yang kita alami.
Saya terhenyak sebentar. Bukan karena Mas Bambang mengingatkan soal esensi pemaparan Swanvri yang memang sudah kami perkirakan, tapi lebih karena momen itu adalah momen satu dekade yang lalu. Artinya album Fateh sudah 10 tahun. Sedikit banyaknya album ini memiliki makna khusus bagi saya di babak baru selepas tak lagi berpetualang bersama Homicide. Cukup mengganggu jika sadar bahwa momen personal sepenting itu tak terawat dengan apik di memori, sedangkan memori hari-hari awal bersama Homicide 30 tahun lalu masih bisa saya runutkan dengan jelas.
IV
10 tahun bukan rentang waktu yang sebentar. Namun semakin hari saya mulai merasa semuanya berkelebat cepat seolah semuanya baru terjadi tak terlalu lama. Rasanya mungkin seperti baru 2, 3, 5 tahun yang lalu, yang pasti tidak seperti 10 tahun. Saya merasa hal ini bukan yang pertama kalinya. Tak ingat pasti sejak kapan tepatnya perkara 10 tahun ini mulai mengganggu isi kepala. Bisa jadi 10 tahun terakhir.
Bagaimana bisa saya mampu mengingat banyak hal di rentang 1990-2000, namun lebih sedikit lagi di era 2000-2010, dan lebih lebih lebih sedikit lagi seiring umur berjalan di rentang 2010-2020. Padahal hitungan 10 tahun itu tetap sama. 120 bulan. 521 minggu. 3650 hari. Tentu saja jumlah itu hanya serpihan debu bila dibandingkan umur Bumi, namun sekali lagi, bukan waktu yang sebentar dalam rentang umur seorang manusia modern. Apalagi bila kalian melihat apa yang dapat dilakukan sejumlah orang dalam 10 tahun pada waktu-waktu yang mempermak banyak hal.
30 tahun lalu di rentang 90-an, waktu terasa sangat panjang. Banyak yang bisa saya ingat, dari mulai hari-hari di era GOR Saparua, transisi dari bangku SMA ke perkuliahan, jaman pacaran, hingga hari-hari menegangkan circa 97-98 memblokade jalan Bandung-Sumedang, membakar pos polisi dan menyeka odol tak berguna di pelupuk mata pada satu malam gas air mata ditembakkan di Semanggi.
Saya masih ingat jam berapa saya datang ke toko kaset Aquarius di Dago pada satu sore di bulan Mei 1993 untuk membeli kaset Compton’s Most Wanted dan melihat Iwa K membeli kaset yang sama. Perkara mudah untuk mengingat jam siar acara sebuah stasiun radio lokal (baca: Bandung) yang memutar hip hop. Bertengger kemudian di sebelah boombox menunggu lagu favorit diputar untuk saya rekam pada sebuah kaset kosong. Jump Around, It Was A Good Day dan They Reminisce Over You sudah pasti masuk hitungan. Saya masih punya ingatan jernih dimana lokasi saya membeli tiket konser Run DMC saat mereka mengunjungi Bandung 30 tahun lalu, namun perlu usaha keras untuk mengingat bagaimana caranya saya memiliki vinyl reuni Cypress Hill, Elephant on Acid 6 tahun lalu.
Di benak saya jarak antara peristiwa 27 Juli 1996 hingga kejatuhan Soeharto di Mei 1998 lumayan jauh. Banyak hal yang yang terjadi dan bisa diingat di antara dua marka waktu tersebut. Sementara itu, tanpa bantuan foto kemungkinan besar saya tak ingat betul detail bagaimana hari-hari terakhir pertahanan warga di Sukamulya, Kertajati dikalahkan pada saat aksi menghadang proses pengukuran untuk pembebasan lahan di tahun 2016, lalu kami pulang ke Bandung dengan sejenis kemuraman yang sulit dijelaskan.
Pada kasus lainnya, saya masih sering menganggap anggota A Tribe Called Quest dan Depeche Mode masih lengkap, De La Soul masih bisa tour, dan berharap Leeway merekam album baru bersama Eddie Sutton. Dalam bentuk yang paling parah atas banyak alasan, tak jarang saya merasa Ginan dan Amenk masih ada di antara kami. Pada beberapa kesempatan saya masih reflek berniat mengirim pesan ke nomor Eben seolah ia masih ada. “Ben, Godflesh ada album baru”.
Saya paham dampak proses menua. Dengan kesadaran penuh saya paham sudah sering lupa dimana meletakkan kacamata. Tiba di halaman 120 sebuah buku hanya untuk balik membaca halaman 100 karena lupa apa esensi yang baru saja saya baca. Mengingat 16 bar lirik yang baru ditulis dengan upaya lebih dari yang biasanya saya lakukan di umur 20-an. Lupa adalah satu hal, namun perkara waktu bergeser dengan cepat itu adalah hal yang lain.
Mencari tahu perihal ini di google adalah jalan ninja terdekat. Namun saya tak pernah merasa harus mencari tahu hal seremeh temeh ini sampai akhirnya benar-benar penasaran. Jawabannya ternyata lebih dari satu. Dari mulai perkara pengulangan sampai kapasitas otak menerima visual.
Yang paling standar dan ketebak adalah kemampuan otak bekerja. Saat muda otak diprogram untuk mengingat pengalaman baru, dan kemampuan ini melambat seiring bertambahnya usia. Otak kita konon menerima lebih sedikit hal baru karena sebagian besar sudah dikenali. Konon pula faktor rutinitas. Semakin tua rutinitas dan pengalaman yang sering diulang membuat waktu terasa lebih cepat karena otak tidak lagi menerima banyak hal baru.
Persepsi kita terhadap waktu juga dipengaruhi oleh bagaimana otak memproses informasi, mengantisipasi kejadian, serta kadar dopamin yang dilepaskan. Seiring dengan ritme tubuh yang melambat dan kadar dopamin dalam otak berkurang karena menua, maka semakin berkurang pula rasa penasaran dan antusiasme terhadap pengalaman baru. Yang satu ini agak saya ragukan sebetulnya, karena saya masih banyak penasaran tapi tetap skip dalam banyak hal. Saya masih gemar melacak progress artistik di album-album hip hop baru seperti 30 tahun lalu, namun mengingat nama-nama album bagus yang saya dengarkan dalam satu tahun adalah pekerjaan rumah yang besar di tahun depannya.
Jawaban paling memuaskan adalah hasil penelitian psikolog Robert Ornstein setelah melakukan serangkaian pengujian pada 1960-an yang diuraikan dalam bukunya yang berjudul On the Experience of Time. Jadi menurutnya hari-hari terasa lebih panjang di masa muda itu diakibatkan karena pikiran muda menerima lebih banyak gambar dalam satu hari daripada pikiran yang sama di usia tua. Urusan visual ini cukup untuk bisa membuat saya bisa tidur siang.
Sekonyong-konyong saya teringat dialog Professor Brand di sepertiga akhir film Interstellar yang ajaib itu. “I’m not afraid of death. I’m an old physicist. I’m afraid of time.” Saya mengiyakan, meski saya bukan fisikawan. Apapun itu, waktu memang berjalan cepat. Itu lah mengapa kemudian kutipan di pamflet Situationist, “De la misère en milieu universitaire” soal waktu yang membangkai malah menjadi semakin relevan ketika kalian makin menua.
Mungkin kita tak pernah benar-benar mengukur waktu dengan kalender. Kita mengukurnya dengan album yang kita dengarkan, jalan yang kita blokade, dan wajah-wajah yang masih kita rindukan.

Leave a reply to Iwenk Cancel reply