Metafora Mempertanyakan Keyakinan

Posted on April 29, 2022

0


**Merupakan catatan pinggir bagi edisi perilisan ulang album ke-3 Balcony “Metafora Komposisi Imajinar” dalam format vinyl yang baru saja dirilis Grimloc dan Disaster Records. Dengan edisi terbatas (hanya 300 keping), tulisan ini sengaja saya bagikan ini bagi banyak kawan lain. Tak lebih karena memang album ini layak diketahui dan diapresiasi oleh banyak kawan lain dari generasi berbeda. Nuhun.

Jika ada album lokal (hardcore atau apapun) yang paling personal bagi saya maka Metafora Komposisi Imajinar adalah jawabannya. Sudah pasti alasannya adalah bukan hanya semata mendengarkan album itu tanpa jeda dari awal hingga akhir berulang-ulang, memutar kasetnya dalam moda auto-reverse pada boombox, namun pula karena pengalaman mengalami banyak hal yang melatarbelakangi album itu, menyaksikan proses pembuatannya dan menyelami urgensi yang sama pada era yang merubah hidup saya selamanya, dengan segala euforia dan getirnya.

Membicarakan album ini tak bisa dilepaskan dari rentang waktu beberapa tahun sebelumnya, karena eksistensi rahim yang melahirkan album ini datang dari sana. Skena hardcore Bandung sendiri mulai membuncah di pertengahan hingga akhir 90-an. Saya menarik marka pada tahun 1995, saat EP Puppen yang legendaris itu dirilis. Sudah dianggap keumuman bahwa EP itu adalah salah satu stimulan utama yang mempopulerkan hardcore di bawah tanah, jika tidak bisa berlaku di luar kota paling tidak di Bandung. Pada rentang marka tahun itu pula saya berkenalan Baruz dan Jojon di kediaman Adi & Udi Pure Saturday di jalan Nilem. Kebetulan mereka satu kampus dengan Udi dan sering bermain di markas PS tersebut. Itu adalah era dimana Saparua masih menjadi episentrum musik bawah tanah Bandung.

Rahim itu bernama skena hardcore punk, yang melahirkan gagasan bahwa kita tak memerlukan bantuan industri musik besar untuk melakukan apa yang kita senangi. Yang kita butuhkan adalah sesama. Sebuah rumah imajiner yang melahirkan banyak band, label rekaman DIY, gairah zine yang mendiskusikan banyak hal melampaui musik, dan komunitas yang memiliki irisan intim yang sama.

Popularisasi dan diaspora musik hardcore punk itu beriringan pula dengan proses turbulensi sosial politik berskala nasional. Sejarah mencatat Indonesia hamil tua saat itu. Penindasan berdekade menemukan tandingannya dalam skala besar. Kalian bisa menemukan banyak cerita tentang serepresif apa orde saat itu pada banyak literatur atau bahkan hanya sekedar mengetik beberapa kata kunci di Google hari ini. Pendek cerita, ketika Suharto benar-benar turun tahta, semua berpikir ini akhir dari era yang menghegemoni. Demokrasi akan dilahirkan ulang.

Dengan demikian harapan-harapan baru lahir, imajinasi-imajinasi tentang era yang lebih baik diproses di laboratorium-laboratorium utopia. Di benak anak-anak muda, tak terkecuali di pojokan-pojokan subkultur Bandung yang mayoritas dari mereka tak hanya merasakan tahun-tahun pembungkaman dan pembatasan sebelumnya, namun pula hadir di tengah demonstrasi-demonstrasi. Sebagian anak-anak muda tersebut adalah mereka yang sering datang ke Saparua, nangkring di depan Hotel Santika Jalan Riau, di Ujungberung, di warung ujung jalan Teuku Umar, dan di banyak tempat lain di Bandung. Penghuni skena hardcore punk lokal sudah otomatis menjadi bagian dari itu. Sebagian dengan keterlibatan biasa-biasa, sebagian lain dengan militansi yang berbeda seiring waktu berjalan.

Irisan kawan-kawan dengan hardcore pun semakin intens di penghujung abad itu. Seperti pendahulu mereka di barat, mereka usai melewati era hardcore “youth crew” atau NYHC. Mulai mengeksplorasi musik dengan inspirasi di luar apa yang dianggap “hardcore” secara musikal. Harus diakui bahwa pengaruh album-album hardcore dengan spektrum musik lebih luas di pertengahan menuju akhir 90-an sangat lah berpengaruh. Dari mulai yang introspektif serupa Quicksand, Fugazi dan Snapcase, yang super-metal seperti Earth Crisis, Arkangel, Morning Again dan Racetraitor, hingga (terutama) yang super kompleks nan eklektik; “Shape of Punk to Come” milik Refused. Tak terkecuali mereka yang ada di Harder Records, dan terutama Balcony.

Sedikit banyaknya trend peleburan dan pelebaran musikal tersebut mempengaruhi Jojon dalam menulis Metafora Komposisi Imajinar. Ia menggandeng Ramdan yang pasca album Terkarbonasi mulai bergabung dengan Balcony. Dengan bekal itu Jojon memasukkan lebih banyak lagi inpirasi dibanding sebelumnya. Tak hanya deru thrash, melodi riff black metal ala Immortal, juga sejenis death metal yang datang dari Swedia, seperti Hypocrisy dan Dismember. Saya haqqul yakin peran Ramdan sangat besar dalam hal menambahkan elemen melodi dari pengaruh anak cucu Iron Maiden ini di sekujur album. Kalian bisa mendengarkan tak hanya melodi namun pula turunan riff dan ritme/groove bernuansa “Massive Killing Capacity” di beberapa komposisi lagu. Dengan obsesi terukur Jojon pula memasukkan pengaruh gothic metal yang saat itu sedang ia dengarkan, terutama Katatonia dan Paradise Lost era awal.

Semua ini nyaris tak menyisakan hardcore era album “Instant Justice” mereka kecuali pada seperbagian akhir lagu “Ini Sudah Cukup” dan di tengah lagu “Sama Rata” yang -dengan keanehan tersendiri- Jojon langsung rajut dengan komposisi gothic metal ala Nightwish. Dengan kekacauan referensi seperti ini saya tidak bisa membayangkan bagaimana proses kreatif mereka dengan Badik yang mengolah bass atau dengan penjaga ritme mereka Febby di lantai atas nan sempit rumah Febby yang dijadikan markas Harder di Cihampelas, atau di studio latihan dan Yess Studio tempat mereka merekam album ini. Jika kalian memerlukan contoh sempurna dari ‘melting pot’ ide-ide tersebut bisa langsung mendengarkan lagu pembuka babak ke-2 album ini, “Monodramatik”.

Album ini dirilis di era kaset, sedikit banyaknya berpengaruh pada bagaimana Jojon saat itu mengkonstruksi album dengan membaginya dalam dua babak sesuai sisi kaset. Sisi pertama memiliki kecenderungan gelap dan marah, dan sisi kedua memiliki nuansa penuh dengan melankolia yang menggiring suasana pada kecenderungan pada kesedihan terpuruk dan kenihilan total.

Dengan pembuka “Batas Tanpa Akhir” yang memiliki kemegahan sederhana dari riff catchy di atas deru mid-tempo seolah memberi tanda sejak awal bahwa album ini akan sangat berbeda dengan album mereka sebelumnya. Namun kemegahan itu segera sirna ketika lirik klaustrofobik Baruz hadir. Pembuka album ini ternyata satu-satunya yang secara musikal menyisakan cahaya, lirik Baruz menutupnya dan memberi gerbang bagi kedepresian album. Sejak lagu itu berturut-turut kemuraman demi kemuraman dihadirkan dari lagu ke lagu. Sejak itu pula saya disadarkan bahwa album ini mewakili apa yang sedang terjadi pasca keyakinan akan perubahan berangsur menjadi distopia.

Proses pendewasaan bersama musik hardcore mereka berbanding terbalik dengan proses mengimajinasikan masa depan. Ketika Balcony mulai menulis dan merekam album ini, kesuraman itu mulai hadir licik mengendap. Janji-janji zaman akan berubah dengan cepat tak terlihat demikian adanya, sebaliknya runtutan turbulensi dan kekacauan lanjutan hadir menggantikannya. Ketika menyaksikan bagaimana hantu-hantu kekuatan lama rezim mengkonsolidasikan diri dan gerakan oposan mengalami pembusukan diri 5 tahun setelah 1998 melengkapi kemuraman lanskap emosi kawan-kawan di Harder Records yang sudah pula penuh dengan drama personal dan politik. Drama pengkhianatan, kecurigaan, kemuakan, dendam, kekecewaan tak berujung, kelelahan dan kehilangan menjadi keseharian anak-anak muda yang tak lama lagi meninggalkan banyak kenaifan dan menjumpai kenyataan bahwa hidup tak seheroik anthem-anthem NYHC dan semilitan provokasi album-album anarcho punk.

Demoralisasi menggunung kian hari, menemukan puncaknya ketika konflik besar terjadi antara kami dengan orang-orang yang selama ini bersama-sama berhadapan dengan panser, popor senapan, dan menyambit pos polisi dan Kodam. Bagi saya pribadi, adalah saat sahabat kami Sony Behom ditemukan meninggal dunia secara tragis karena overdosis. Ditemukan tak bernyawa di tempat yang dahulu banyak kawan bersenda gurau di era awal kelahiran skena, di Taman Lalu Lintas. Behom mengalami keterpurukan dan kekecewaan yang sama pada banyak hal, sama seperti banyak kawan lain. Hanya saja ia mengambil rute pelarian yang berbeda. Hingga hari ini saya sulit untuk bisa memaafkan diri sendiri karena membiarkan diri kami sibuk mencari jalan keluar masing-masing dan tak sempat saling merangkul dan memperhatikan. Sedepresif itu lah rentang tersebut hingga satu hari kami menamakan perpustakaan kolektif di Harder dengan nama Pelipur Lara.

Proses pembuatan album ini pun akhirnya seolah menghisap semua energi setiap individu di Balcony. Saya menyaksikan bagaimana sesi rekaman mereka diwarnai tak hanya oleh perdebatan kreatifitas namun juga oleh konflik dan perjuangan berhadapan dengan keputusasaan. Keutamaan ego yang diperlukan dalam menghadirkan mahakarya pula mendatangkan monster yang mengkonsumsi jiwa individu-individu di dalamnya. Perseteruan meruncing dan retak tak terlelakkan.

Tak lama pasca album ini dirilis, konflik Jojon dan Baruz berujung pada keluarnya Baruz dari Balcony. Itu pula alasan utama mengapa kita tak pernah banyak menyaksikan album ini dimainkan di panggung-pangggung. Selain di panggung terakhir Puppen (dimana mereka menjadi salah satu band pembuka) hanya sekali mereka memainkan setlist Metafora Komposisi Imajinar, yaitu saat mereka bermain di Bandung Berisik IV tahun 2003 dimana Baruz mendeklarasikan dengan suara gemetar bahwa itu adalah panggung terakhirnya bersama Balcony, band yang selama ini membesarkannya.

Tentunya hal tersebut menambah daftar kesedihan saya pada saat itu. Menyaksikan dari dekat salah satu band lokal favorit saya luluh lantak adalah sesuatu yang sulit dilupakan. Tak banyak yang bisa menghibur saya, bahkan kesempatan Homicide melakukan rekaman album pertama kami sekalipun. Yang bisa saya ingat perihal menghibur hanya dua hal; kelahiran anak kedua saya di Desember 2003 dan album berisi 9 lagu ini, terutama dua lagu terakhir di penghujung album; “Nothingness” dan “Keengdom”, sebuah komposisi ambient elektronik yang Jojon buat fondasinya dengan Fruityloop.

Sejak itu Balcony tak pernah sama lagi. Sebelum membubarkan diri posisi Baruz sempat digantikan oleh Vicky yang di kemudian hari bersama Ramdan bergabung di Burgerkill. Waktu menyembuhkan luka-luka pasca konflik. 8 tahun berselang mereka melakukan reuni pada tahun 2011 dengan formasi terbaik mereka, formasi yang sama saat merekam album ini; Jojon, Febby, Baruz, Ramdan dan Badik.

Mereka sempat melahirkan EP sederhana yang rencananya digunakan sebagai media pemanasan bagi album baru yang sedang Jojon tulis. Namun cerita berakhir berbeda saat Jojon mendadak berpulang di tahun 2014. Album itu urung diteruskan, mencegah konflik kembali hadir, Balcony membubarkan diri tak lama kemudian. Kali ini untuk selamanya.

Proses perilisan ulang ini cukup panjang dan berliku. Berawal dari upaya merealisasikan niat Jojon untuk mencetaknya dalam format vinyl sebelum ia wafat. Kami ingin album ini mendapatkan perlakuan yang sudah seharusnya dari dahulu; di-mix dengan layak. Maklum saat itu album ini diproduksi dengan kendala minimnya dana dan keterbatasan teknologi yang ada. Kami berusaha keras untuk mencari dan mengumpulkan materi stems yang tercerai berai. Namun nampaknya hanya almarhum Jojon yang mengetahui dimana arsip-arsip tersebut disimpan. Alhasil, kami memutuskan memakai file master final yang dahulu dipakai. Dibantu oleh Hamzah Kusbiyanto, kami mengusahakan yang terbaik dari semua pilihan yang terbatas, dan ini lah hasilnya.

Album ini bersama dengan album sophomore Burgerkill, “Berkarat” yang dirilis di rentang waktu yang sama, tak hanya menjadi yang terbaik di tahun 2003 namun juga seiring waktu menjadi salah satu yang terbaik yang pernah lahir dari skena hardcore/punk Bandung sepanjang masa. Menginspirasi tak hanya sejawat sezamannya (Eben almarhum pernah bertestimoni pada suatu hari bagaimana album ini memicunya untuk mencari jalan kreatif lain dalam menulis “Beyond Coma and Despair”) juga generasi hardcore punk selanjutnya seperti yang diakui oleh rekan-rekan di Taruk dan Daniel eks-Deadsquad saat bercerita tentang pengalamannya bersama album ini saat SMA.

Hingga hari ini saya masih memutar album ini dari waktu ke waktu. Mengunjunginya seperti ziarah. Mengingat bahwa pernah ada waktu di mana ada banyak hal yang merubah hidup namun kita enggan membicarakannya. Pernah ada belokan tidak sempurna dimana sebagian besar dari kami tumbuh dengan mempertanyakan keyakinan dan menguji ketidakyakinan dengan keringat, darah dan air mata.

Bandung, hari ke-4 Ramadhan, 2022.

Posted in: Uncategorized