Saya tak pernah punya alasan untuk menyukai Guns N’ Roses. Jadi jika memang saya terlambat mendengarkan lagu-lagu mereka di kemudian hari sangatlah harus dimaklumi.
Meski kadang masih mengganggapnya band yang sama dengan band bernama L.A Guns, tentu saya mengetahui mereka. Bagaimana tidak, GNR menghasilkan hits demi hits saat saya SMA dan semua teman sepenangkringan di sekolah mampu merapal lirik lagu-lagu itu dengan sempurna. Sebagai seorang fans hip hop yang militan, saat itu saya masih sangat disibukkan mendengar album-album hip hop dahsyat yang lahir di era awal 1990-an. GNR bagi saya tak lebih hanya sekedar bagian dari lelucon glam rock yang diolok-olok Beastie Boys di video klip mereka. Satu-satunya lagu mereka yang saya tahu judulnya hanyalah “You Could Be Mine”. Itu pun gara-gara Edward Furlong memakai T-shirt Public Enemy di sepanjang film ‘Terminator: Judgement Day’ dimana GNR mendapat tugas mengisi soundtrack–nya.
Ketika tiba waktu kuliah, saya baru menyimak lagu-lagu Axl/Slash dan kawan-kawan. Tepatnya beberapa hits dari ‘Appettite for Destruction’ dan album ganda ‘Use Your Illusion’. Sudah barang tentu latar belakangnya adalah wanita. Itu kurun waktu saya setengah mati berusaha mencuri perhatian seorang teman sekelas di Sastra Unpad.
Ia seorang diehard fan grup yang memakai pistol dan mawar sebagai simbol rock ‘n roll tersebut. Strategi pendekatan terbaik adalah menyukai musik yang ia sukai. Sebuah kiat yang dianggap manjur oleh kebanyakan laki-laki yang memiliki rekor payah dalam mencari pacar pada saat itu (dan nampaknya masih berlaku sampai sekarang).
Singkat cerita, dalam waktu singkat saya mendadak mendengarkan “Civil War” hingga “Patience”, “Paradise City” hingga “Welcome to the Jungle”. Sebuah usaha yang tak sia-sia. Kami mulai dekat dan sering menghabiskan waktu berdua mendengarkan musik dari walkman. Tempat favorit kami adalah belakang gedung Sastra di Jatinangor dan perpustakaan di Dipati Ukur. Saya sampai berkorban mengganti headphone yang biasa saya gunakan dengan earphone, dengan alasan agar kami bisa berbagi kabel saat mendengar musik dari pemutar kaset portable itu. Sesuatu yang sama sekali bukan masalah, karena sejak kecil saya memang hanya memiliki satu telinga saja yang berfungsi. Entah mengapa, dokter tak pernah beres menjelaskannya.
Tak membutuhkan waktu lama bagi lagu-lagu GNR itu untuk menjadi musik pengantar pacaran bagi saya, terutama epik mabuk cinta dan lagu termegah mereka “November Rain”. Baru beberapa bulan kemudian playlist GNR itu tergantikan oleh favorit kami lainnya yang datang di era itu seperti The Cranberries dan Sublime. Jadi bisa dibilang wanita itu adalah satu-satunya alasan mengapa saya mendengarkan GNR. Ini juga menjelaskan mengapa hanya lagu-lagu cinta GNR yang saya simak, karena memang hanya itu yang saya rasa layak didengar dari Guns N’ Roses.
Awal hingga pertengahan 1990-an adalah waktu di mana Rage Against the Machine sedang dalam performa puncaknya. Sehingga lirik band-band hard rock yang berisi komentar-komentar sosial saya anggap cemen dan komikal. Termasuk lirik Axl yang jauh dari progresif. Puncak gunung esnya bisa didengar di “One in A Million” yang kontroversinya tak bisa dianggap thought-provoking, lebih mirip komentar ngasal soal relasi antar ras yang buruk di Amerika lengkap dengan kacamata ormas ultra-kanan dalam melihat kasus imigran. Saya masih menganggap aksi Axl memakai topi N.W.A dahulu adalah upaya apologis setelah lagu itu ramai jadi perbincangan yang negatif, bukan karena ia tergila-gila ‘Straight Outta Compton.’
Hal itulah yang di kemudian hari, tepatnya di tahun 2002, membuat saya mengerenyitkan dahi ketika seorang teman pena di Amerika, Kent McClard, merekomendasikan debut album penuh Against Me! yang berjudul ‘Reinventing Axl Rose’. Album politikal apa yang melibatkan nama rockstar yang saya pikir tak ada urusannya dengan radikalisme punk apalagi anarkisme?. Tapi karena yang merekomendasikannya adalah seorang Kent, sulit untuk tidak tertarik.
Kent McClard adalah seseorang yang konsistensinya saya kagumi dengan fanzine HeartattaCk-nya. Meski sekarang fanzine itu sudah berhenti terbit, HeartattaCk tetap menjadi salah satu fanzine yang saya selalu rekomendasikan bagi mereka yang tertarik dengan relasi punk hardcore dan aktivisme politik. Tak hanya berisi wawancara band-band yang luar biasa tapi juga berisi kolom-kolom yang mendiskusikan beragam topik keseharian dalam wilayah anarkisme.
Ada cerita menarik tentang dia dan Rage Against the Machine. Sebelum HeartattaCk, Kent menerbitkan zine bernama No Answers. Pada salah satu isunya ia menulis kolom dengan judul “Rage Against the Machine” yang berisi opininya terhadap etos DIY yang berhadapan dengan kooptasi industri musik yang saat itu menjadi isu besar. Zack de la Rocha tertarik dengan term tersebut, dan ia meminta izin Kent untuk menggunakannya sebagai judul album kedua Inside Out, band hardcore yang saat itu ia gawangi dan hendak dirilis oleh Ebullition Records, label milik Kent. Singkat cerita, album Inside Out itu urung terealisasi, namun nama itu kemudian dipakai Zack sebagai nama band barunya dan membuat kontrak rekaman di bawah Epic-Sony Music. Kent kontan merasa dikhianati. “They represent the theft of my culture and my ideology for the profit and gain of corporate America”, ujarnya emosi.
Kent kemudian menulisnya panjang lebar pada HeartattaCk, melibatkan banyak opini dan argumen dari beragam pelaku di skena HC/Punk di Amerika. Dari mulai pemilik label rekaman DIY, editor fanzine hingga pengelola infoshop dan aktivis pergerakan. Menjadi debat yang paling intens, multi-perspektif dan paling menarik yang pernah saya temukan dalam sejarah dialog isu DIY-major/resistansi-kooptasi di era itu, hingga sekarang.
Oke, kembali pada soal ‘Reinventing Axl Rose’ tadi. Dengan rekomendasi Kent saya kemudian memesan satu kopi CD Against Me! itu dan satu kopi zine HeartattaCk nomor 34, yang berisi wawancara mereka. Sesuai seperti deskripsinya, album itu adalah salah satu album punk terbaik di tahun 2002. Saya tak begitu menyimak musik folk-punk yang sering dirilis No Idea Records, tapi album itu sangat luar biasa.
Bersuara jauh dari semua folk-punk yang pernah saya dengarkan. Punk yang minimalistik, stripped-down, seolah siap manggung di manapun bahkan di tempat tanpa listrik sekalipun. Penuh energi, badung, dengan musik sederhana yang menangkap aura spontanitas, catchy, penuh chorus yang siap pakai di panggung saat ber-singalong . Sulit mencari padanan untuk lirik mereka yang dengan cerdas bercerita mulai dari soal represi walfare state hingga urgensi menjadi punk yang menaruh hidup di jalanan tur dari garasi ke garasi, kota ke kota.
Tentu saja favorit saya adalah “Baby, I’m Anarchist”. Memakai pengandaian sepasang kekasih yang berbeda pandangan ideologi untuk menjelaskan kontradiksi tidak hanya antara anarkis dan liberal, juga antara mereka dengan komunis yang totalitarian. Chorus-nya sangat singkat namun menjelaskan semua, kekasih yang liberal tidak sepakat dengan sang pasangan yang anti-otoritarian brengsek, meninggalkannya sendirian di demonstrasi Seattle saat menghancurkan jendela Starbucks.
Saya tak menyimak album-album Against Me! setelah album ini, terlebih sesudah album ketiga mereka. Bukan lantaran mereka menjalin kontrak dengan perusahaan rekaman major, tapi karena memang mereka bertransisi menjadi sesuatu yang jauh berbeda yang membuat saya tak seantusias mendengar ‘Reinventing Axl Rose.’ Tak lagi meledak-ledak, tak lagi ada dialog yang cukup provokatif (kecuali jika soal transgender masuk hitungan) dan seperti halnya pandangan politiknya, musik mereka dirancang untuk menjadi lebih mudah dikonsumsi massa. Mereka kemudian lebih disibukkan dengan usaha menjelaskan pembenaran-pembenaran mereka bergabung dengan major label dibanding memanfaatkan platform mainstream untuk meradikalisasi wacana politik. Bagi saya, Chumbawamba lebih sukses melakukannya di dekade 1990-an.
Ketika mereka bertanya di ‘New Wave’, album pertama mereka di bawah major label; “All the punks still singing the same song/ Is there anyone thinking what I am?/ Is there any other alternative?” nampak seperti memberikan pertanyaan pada diri mereka sendiri ketika pura-pura buta bahwa di luar sana punk dan aktivisme sudah banyak sekali berdiaspora dalam beragam rupa alternatif.
Untuk waktu yang cukup lama saya masih bertanya-tanya maksud sebenarnya dari judul album ‘Reinventing Axl Rose’ itu. Pembacaan paling masuk akal adalah seperti yang ditulis zine Slug and Lettuce; “refers to all-too-common phenomenon of a rock artist losing touch with what’s important in the music.” Mungkin mereka mencoba mencari pengandaian yang sempurna bagi polah dan kebrengsekan mereka sebagai anarkis pada diri Axl Rose yang terkenal dengan perangai manic-nya (ada alasan mengapa NME sempat menulis Why Axl Rose Is The Biggest Douchebag In Rock). Seperti Refused yang meminjam semangat petualangan Ornette Coleman, mungkin.
Sampai akhirnya pada tahun 2012, saya menemukan wawancara mereka di sebuah media yang merayakan 10 tahun usia album itu; “We made our own way, it was just doing it yourself and not taking ‘no’ for an answer”. OK, paham, not taking ‘no’ for an answer adalah sangat Axl. Hanya saja mereka mengarahkannya pada sebuah bangunan yang lebih besar, seperti yang cukup jelas mereka tulis pada “Politics of Starving”; “It’s the FBI; it’s the CIA; it’s the ATF, the IMF, NBC, CBS. Fuck you”.
Axl sendiri mengamuk ketika seseorang memberitahu dan memberikannya album Against Me! itu, melemparnya ke dinding dan, yang sangat menggelikan, konon membuat boneka voodoo personil Against Me! dan menusuk-nusuknya dengan jarum. Oh, well. Kebenarannya tentu sulit dikonfirmasi, namun yang pasti itu salah satu trivia punk paling lucu yang pernah saya dengar.
Sampai sekarang Guns N’ Roses masih relevan bagi saya tentunya. Karena wanita yang saya incar dulu akhirnya berhasil saya nikahi dan menjadi ibu dari anak-anak saya. Kami masih mendengarkan semua lagu cinta GNR bersama-sama, kadang di tengah-tengah anak-anak kami yang sedikit protes, terganggu ketika kami meniru suara Axl Rose di momen epik 20 detik terakhir lagu “Don’t Cry”.
Posted on November 7, 2017
0