Bagaimana Seorang DJ Meresureksi Eksperimen Lou Reed

Posted on June 29, 2016

2


still_remains

Metal_machine_musicDi tahun 1975, Lou Reed menulis album yang paling dibenci oleh fans nya, ‘Metal Machine Music’. Album itu bersuara jauh dari apa yang selama ini ia pernah buat hingga saat itu, baik dalam diskografi solonya atau selama ia bersama The Velvet Underground. Ia membuat album kebisingan yang lebih dekat pada eksperimen menembus batasan-batasan sonik ataupun struktur bagi rock ‘n roll. Musik atonal.

Ia merekam semuanya sendirian. Memanipulasi kecepatan pita rekam, tinggi rendah nada yang ia hadirkan dari feedback gitar, yang telah melalui proses daur ulang lewat reverb, delay, distorsi dan beragam sound effect. Sebuah kolase kebisingan. Dampak album itu mungkin tidak hadir langsung pada saat itu. Namun kita semua tahu bahwa Thurston Moore dan Sonic Youth-nya beserta generasi noise scene yang datang di kemudian hari berhutang banyak inspirasi pada album itu.

Pada dekade yang sama, tepatnya pada tahun 1977, Grand Wizzard Theodore menemukan tehnik menggaruk-garuk piringan hitam yang sedang berjalan pada pemutarnya. Tehnik ini ia temukan secara tidak sengaja, sebagai akibat kebiasaannya jarang menggunakan tombol fade out pada mixer ketika hendak mengakhiri lagu saat ia menjadi disc jokey. Keisengannya itu menghasilkan suara unik pendamping musik pesta yang kerap diadakan di ghetto-ghetto New York. Dalam tradisinya, para DJ menyebutnya sebagai scratch, yang maknanya sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘garukan’.

Setelah Grandmaster Flash menyempurnakannya tak lama kemudian, tehnik tersebut merevolusi turntable menjadi sebuah alat musik bukan lagi sekedar pemutar media di kemudian hari. Teknik-teknik DJ semakin berkembang seiring dengan besarnya kultur hip hop dan para DJ bergenerasi membuat teknik ini menjadi sebuah subgenre musik tersendiri yang sering disebut orang sebagai turntablism.

Still (bernama asli Hsi-Chang Lin) adalah salah satu figur yang membuat turntablism memasuki fase artistik baru, tiga dekade setelah Theodore. Ia memulai debutnya sebagai DJ dari kelompok hip hop asal New Jersey, Dalek. Dalam kurun waktu lima tahun bergabung bersama grup tersebut, ia memberi kontribusi yang luar biasa progresif dan memberi pengaruh besar pada evolusi musik mereka.

Jejaknya bisa didengar pada album kedua “Filthy Tongue of Gods and Griots” pada tahun 2000, album fenomenal “Absence” pada tahun 2004 dan album “Derbe Respect, Alder” kolaborasi Dalek bersama salah satu dedengkot kebisingan avant-garde, Faust setahun kemudian.

Sumbangan Still sangat kentara. Terutama bila membandingkan tiga album tadi dengan debut Dalek Negro, Necro, Nekros. Sejak Still bergabung, Dalek mulai berpetualang dengan drone dan ambient, bereksperimen dengan tekstur dan kontras. Still pula melakukan scratch yang jauh dari lazim. Scratchnya memiliki melodi dan bebunyian disonan yang ritmik, bahkan ia mengambil sumber melodi dari rekaman yang jarang dipakai DJ hip hop pada tradisi turntablism. Semisal album ‘Loveless’ My Bloody Valentine atau ‘The Second Annual Report’ milik Throbbing Gristle.

Still pula memberikan performa gila-gilaan dalam setiap panggung. Ia seringkali melakukan improvisasi dengan aksi-aksi brutal nan aneh, salahsatunya memasukkan jarum turntable ke dalam mulutnya, berteriak seolah jarum itu mikropon, melakukan ketukan metronom dengan tehnik memukul gagang jarum dan bahkan menscratch rongga mulutnya.

 

 

Still beberapa waktu lalu menyatakan mengundurkan diri setelah dengan gagah berani menggawangi Dalek selama lima tahun. Sesuatu yang sangat saya sayangkan. Namun, minggu ini sebuah kejutan hadir dan sungguh tak pernah saya antisipasi. Sebuah kiriman CD datang dari rekan saya J.R dari Public Guilt Records; album solo Still bertitel ‘Remains.’

a0805978559_10Saya berkespektasi bahwa Still pada album solo ini memaksimalkan tehnik dan estetika yang telah ia capai selama di Dalek. Namun ternyata album ini bersuara jauh dari asumsi tersebut, dan sudah barang tentu jauh berbeda dengan apa yang biasa kalian dengar dari album seorang DJ dari sebuah grup hip hop. Selintas kalian akan mendengarkan Aphex Twin, Brian Eno atau Christoph Hess. Ia berada di teritori Philip Glass dalam Glasswork, menghasilkan musik yang minimalis yang dimulai dengan struktur yang repetitif dan tumbuh kompleks hingga melenyapkan strukturnya secara utuh. Atau jika membutuhkan pengandaian yang paling mendekati secara nuansa dan pendekatan teknis, album ini mirip album eksperimen sang gitaris legendaris Velvet Underground tadi empat dekade lalu.

Beberapa momen mengingatkan saya pada beberapa menit bagian noise-landscape/ambient dalam lagu-lagu Neurosis, beberapa lainnya seperti mendengarkan Merzbow dari pemutar piringan hitam murahan dari dalam sumur. Yang pasti di album ini para DJ hip hop akan kecewa setengah mampus jika mengharapkan akrobat scratch gila-gilaan a la Q-Bert atau tebar pesona juggling a la Mix Master Mike atau eksebisi skill apapun dari sebut salah satu DJ favorit kalian dari camp turntablist manapun.

Namun disitu justru letak keistimewaan ‘Remains’ ini. Still dari lagu ke lagu menghasilkan drone, improvisasi noise dan suara-suara ambient lain yang unik. Kadang emosional, kadang menghantui, kadang seperti memanggil fragmen memori masa lalu dari efek backspin (memutar piringan hitam ke arah rotasi kebalikan) dan tiba-tiba memotongnya dengan gemuruh seperti bukit runtuh. Ia menulis komposisi dengan metode yang mirip dilakukan oleh Lou Reed dengan gitar. Hanya bedanya, Still melakukannya dengan Technics 1200 dan setumpuk pedal-pedal efek analog.

Dari track pertama, “Once Confronted” yang Merzbow-esque, penuh feedback berbalas-balasan, “Athrophy” yang berisi berlapis-lapis suara tape loops, suara dengungan ambient yang dihasilkan dari memutar terbalik sample pada “Need”, hingga “Futility” yang dreamy mirip seperti cek sound sebuah band shoegaze di garasi tetangga dengan suara crackling dari piringan hitam berjamur. Pada komposisi penutup, “Blindness” Still melakukan live performance yang luar biasa indahnya, merespon suara demi suara yang ia putar dari beberapa piringan hitam yang ia seleksi dengan tekun, lalu memainkan tombol-tombol pada efek pedal dan direkam langsung dengan 4 track seadanya.

Still di sini sebetulnya tetap meneruskan tradisi yang dulu dilakukan Grand Wizzard Theodore; melawan stagnansi dan kebosanan musikal dan mendobrak asumsi bahwa hanya ada satu cara memperlakukan turntable. Hanya satu cara membangun style dengan seperangkat jarum, poros berputar, mixer dan setumpuk piringan hitam. Still mendobrak semua anggapan itu. Dalam hal ini pendekatan yang ia lakukan adalah dengan metode yang diklaim Lou Reed ketika menghampiri karya Beethoven dengan distorsi gitar.

Beberapa orang akan menganggap improvisasi dengan turntable ini omong kosong persis nasib album Lou Reed pada buku ‘The Worst Rock ‘n Roll Records of All’. Namun ‘Remains sejauh ini merupakan album terbaik yang dapat memperlihatkan sejauh mana seorang DJ memperlakukan turntable sebagai instrumen musik.

Jika kalian mencari beat hip hop funky dan tehnik-tehnik canggih dalam menggaruk piringan hitam maka kalian tidak akan menemukan satupun di album ini. Namun bagi kalian yang nyaris mati bosan mendengar suara-suara sirkus dari para DJ ber-skill tinggi seperti para punk yang muak mendengar solo-solo gitar Yngwie Malmsteen, album ini akan sangat mencerahkan. Sangat menarik ketika hari ini usaha menghidupkan lagi eksperimentasi almarhum Lou Reed tiga dasawarsa lalu, datang dari seorang ‘Disc Jockey’.

 

 

Posted in: Uncategorized