Yang Akan Kami Biarkan Terbakar Sebelum Meredup II

Posted on June 10, 2013

23


burnout2“……………..”

I

Saya tiba terlambat sampai di lokasi di sebuah forum konsolidasi dan solidaritas bagi petani Sumsel yang baru saja ditangkapi. Mengambil kursi di sebelah Linggo yang kopinya sudah habis, dan asbaknya penuh, artinya ia sudah dari tadi nangkring dan forum sudah berjalan cukup lama.

Sadar diri dengan keterlambatan, saya langsung mengambil kertas dan pena, duduk menyimak pemaparan kronologis dan peta konflik agraria dari seorang partisipan yang cukup tua untuk memimpin rapat. Pastinya ia seorang senior di pergerakan, pikirku.

Saya menyimak dengan seksama, begitu pula partisipan lain yang datang duduk mengelilingi meja persegi empat yang cukup besar. Meja keramat yang pernah menjadi saksi banyak sejarah dimana konsolidasi-konsolidasi dan forum penting diadakan, di ruang tengah sebuah lembaga bantuan hukum di tengah Dago, yang kemungkinan besar tempatnya tak akan lama lagi dipinjamkan oleh sang pemilik rumah untuk digunakan sebagai ruang kantor.

Ia bercerita soal bagaimana kasus petani Sumsel berawal dari konflik pengelolaan sumber daya alam lokal antara petani dan PTPN, penembakan warga, pembiaran kasus oleh negara sehingga berbuntut pada aksi besar kemarin yang berujung pada penangkapan sejumlah petani. Kasus yang hampir mirip dengan puluhan kasus agraria lainnya, paling tidak sejak lima tahun terakhir dimana para pengusaha, negara dan aparat hukum bahu membahu mengacak-ngacak setiap perlawanan lokal dan mengkriminalkan para warga, petani dan pejuang sosial yang terlibat.

Namun seperti pada umumnya forum konsolidasi lainnya, ujung pemaparan itu bermuara pada hal yang menyebalkan dan kesimpulan yang mendangkalkan. Ia memberi pernyataan bahwa gerakan lokal harus dengan cerdas memilih pemimpin dan wakil mereka di dewan-dewan perwakilan dan harus lebih memfokuskan lagi perhatian dan usaha mereka menyatukan suara untuk mendukung calon pemimpin daerah dan nasional yang pro pada pergerakan akar rumput. Terdengar sangat seperti jurkam, dan saya hapal kemana biasanya pernyataan ini berujung.

Tentu saja opininya tersebut memicu beberapa dari kami untuk mengangkat tangan meminta izin untuk menyanggah opininya dan memberi perspektif lain tentang kemandirian gerakan termasuk dengan contoh-contoh yang sudah ada di lapangan hari ini. Dari Tapanuli Selatan, Padarincang hingga Kulon Progo.

Si Bapak tadi menyimak dengan muka masam untuk kemudian menimpali “Dahulu saya seperti kalian, idealis dan maunya marah-marah terus. Tapi ini bukan soal gagah-gagahan, ini soal realitas politik!”. Kami sedikit syok mendengarnya. Tak peduli selogis apapun kami memaparkan, bahkan dengan nada bicara yang cenderung santai, bisa-bisanya ia berbicara bahwa motif kami adalah untuk marah-marah dan gagah-gagahan.

Ia melanjutkan dengan komentar yang tak kalah menyebalkan dengan muka yang masih juga masam; “Gerakan akar rumput otonom yang sukses tanpa beririsan dengan institusi politik formal hanya terjadi di daerah yang resistansi dari aparatnya rendah, saya yakin sekali itu!” Padahal Linggo sudah berpanjang-panjang bercerita tentang perlawanan rakyat di Kulon Progo melawan resistansi korporasi dan Sultan yang ditamengi aparat kepolisian. Sungguh ajaib kesimpulannya itu.

Seusai forum kami mengopi kembali di depan kantor lembaga bantuan hukum tersebut, ngobrol ngalor ngidul sebelum benar-benar bubar. Masih terngiang kata-kata si Bapak muka masam tadi; “Saya dulu seperti kalian!”.

Di ujung pintu keluar kami berdoa bersama, semoga Tuhan mencabut nyawa kami sebelum menjadi tua, masam dan menyebalkan seperti Bapak tadi, jika memang itu adalah sebuah fase yang suatu hari nanti menjadi keniscayaan.

II

Seperti yang sering kami pastikan, angin kooptasi bertiup kencang di tahun pesta demokrasi liberal bergempita. Setiap tahunnya kami berkali mengikhlaskan banyak kawan satu persatu bergabung merapat pada politik parlementarisme dan kotak suara.

Ada yang mencari peluang di partai baru, mencari uang di partai lama, atau mencari petualangan di tim kampanye para calon walikota. Sebagian dari mereka berlindung dibalik adagium “Transformasi dari Atas dan Radikalisasi dari Bawah”, sebagian bertamengkan “Ini hak politik kami”, sebagian lagi lebih jujur “Kami hanya bisnis, tak ada yang personal”. Saya lebih suka yang terakhir, lebih masuk akal.

Semua pembenaran lainnya terdengar seperti omong kosong klasik. Meski demikian, saya cukup tahu diri untuk tidak membuat ini semua menjadi wacana ‘pengkhianatan’. Toh jika berkhianat sekalipun, punggung siapa pula yang mereka tusuk? Kami tak pernah membuat ikrar tertentu sehingga kami perlu melunasi hutang janji pada seseorang, kecuali pada diri kami sendiri tentunya.

Hal yang sama berlaku ketika menemukan usaha yang saya lakukan selama ini mirip sesuatu yang sia-sia. Menemui kenyataan bahwa gerakan akar rumput berkali-kali ditinggalkan harapan dan kawan itu sudah lazim, meski memang selalu sulit menerima fakta bahwa gerakan yang dibangun bersama tersebut berkali-kali pula dikooptasi oleh politisi, figur, tokoh masyarakat, gegedug atau apapun istilah yang dipakai untuk menyebut elit tertentu yang punya hobi mengklaim gerakan komunitas menjadi portofolio mereka. Baik portofolio untuk karir politik (kampanye) atau untuk mengemis funding dari lembaga-lembaga donor.

Yang agak menyedihkan mungkin, kini sahabat-sahabat kalian terlibat di dalam prosesnya. Tapi itu pun tak terlalu menjadi masalah. Cukup pergi ke atas jembatan di atas rel St.Hall di sore hari, memesan secangkir kopi, melihat kereta merapat dan matahari terbenam, memutar “f#a#Infinity”,  memasang headphone dan menyalakan rokok.

Saya tak pernah berharap semua tetap sama, hanya saja akan ada waktu satu hari nanti semuanya akan meredup. Namun semua memiliki kesempatan untuk bernyala seterang mungkin dan membara sampai terbakar habis sebelum harinya datang. Saya hanya berharap saya masih memiliki waktu itu cukup panjang.

 III

Lanskap di Dayang Sumbi-Taman Sari siang itu lebih terang dari biasanya. Kemarin di belakang ITB itu masih berdiri deretan kios rokok, warung tegal hingga kedai jasa pengetikan dan isi-ulang pulsa yang keberadaannya sudah puluhan tahun. Entah kapan tepatnya, yang pasti mereka sudah ada sebelum saya kuliah di situ dahulu.

Kemarin siang, pasukan tibum merangsek. Saya mengirim kabar pada seorang sahabat, pertengahan tahun kemarin kami sempat membantu kasus serupa di Jalan Hasanudin, tak jauh dari situ. Ia tak bisa datang, sebaliknya, ia berkirim kabar soal keberadaanya di kaki Ciremai. Chevron menanam benih petaka sosial dan lingkungan di sana.

Saya mengirim pesan teks ke seorang kawan lain sambil menyusuri tepian trotoar yang penuh dengan berangkal dan barang-barang para pedagang. Berbeda dengan kasus serupa di jalan Hasanudin, tidak nampak tanda-tanda perlawanan dari para pedagang, terlebih yang terorganisir. Kabarnya mereka sudah melakukan advokasi bersama mahasiswa ITB di bawah bendera Keluarga Mahasiswa, juga sebuah institusi ‘penyelamat Jawa Barat’ yang sudah tentu isinya para oportunis, pedagang politik dan beragam jenis pembual.

Di dekat saya, seorang Mahasiswa sedang berbicara dengan seorang ibu pedagang yang sedang membereskan sisa barang-barang miliknya yang masih tersisa. Saya duduk disebuah tumpukan papan, menunggu seorang kawan yang memang berjualan disitu dan tentunya ikut tergerus.

“Memang ini sudah peringatan ke-3 Bang, jadi memang sulit untuk dipertahankan” Mahasiswa tadi menjawab pertanyaan saya.

“Kami sudah merekomendasikan dan memfasilitasi dialog, tapi kedua belah pihak sulit dipertemukan, ini semakin mempersulit posisi kami. Terjepit antara PKL dan pemerintah. Karena kami sebagai mahasiswa wajib mengingatkan bahwa kedua belah pihak sama-sama benar dan salah sehingga konflik antara sesama anak bangsa bisa dihindarkan”

Sama-sama benar dan sama-sama salah? Dengan penjelasan super-naif seperti itu, mahasiswa tersebut terdengar seperti guru BP saya di SMA dulu, atau mirip kotbah persatuan nasional di acara Sumpah Pemuda. Saya tak lama menanyakan posisi keberpihakan politik mahasiswa dalam kasus-kasus seperti ini. Jawabannya epik, mahasiswa itu netral dan hanya berpihak pada kesatuan nusa dan bangsa dan berusaha mengedepankan usaha-usaha perdamaian.

Saya agak bingung, umurnya mungkin terpaut 15 tahun lebih muda dari saya, namun cara pandang dan bicaranya sudah seperti orang yang 20 tahun lebih tua. Kesatuan? Persatuan? Perdamaian? Netral? Dihadapan sistem yang dari awal sudah tidak mengizinkan seseorang untuk bersikap netral, bersatu dan berdamai, jelas ini menggelikan. Saya curiga, jangan-jangan seperti inilah prototype mahasiswa hari ini. Jelmaan siluman burung garuda dengan bulu ketiak 17 lembar dan 8 lembar jembut di pantat.

Saya mundur teratur, karena didebat sekalipun tak ada gunanya. Saya berpindah duduk di bawah pohon di dekat gardu listrik. Saya tiba-tiba ingat kawan saya, Useng almarhum. Kami bertemu di sekitar Dayang Sumbi situ sebulan sebelum kepergiannya. Kami memanfaatkan pertemuan tidak sengaja itu untuk duduk di bawah pohon tersebut, menghabiskan segelas kopi dan beberapa batang rokok sambil berbincang bertukar kabar soal ini-itu. Maklum cukup lama kami tidak bertemu.

Melihatnya hari itu sungguh jauh dari kesan depresi. Oleh karenanya, sesuatu yang sulit diterima ketika saya mendapat kabar ia bunuh diri nun jauh di atas bukit sana beberapa minggu kemudian. Useng bukan seseorang yang saya kenal dua hari atau dua minggu kemarin. Kami berkenalan jauh sejak ia merangsek bersama Dempak dan Jeruji di era Saparua dahulu.

Setiap orang berhak menafsirkan kausa dan makna kematian seseorang menurut opininya masing-masing, karena memang kesimpulan itu toh berguna bagi dirinya sendiri untuk meyakini apa yang ia yakini agar bisa menjalani miliknya sampai selesai. Bagi kami sendiri, memaknakan Useng sama dengan memaknakan Sondang di hari ia membakar diri setahun lebih yang lalu di depan Istana Negara. Sama halnya dengan Useng, Tak ada yang bisa memastikan apa yang ada dibenaknya hari itu. Bagi saya kepergian mereka adalah sebuah pernyataan untuk menolak untuk melanjutkan hidup dengan kompromi-kompromi fatal di depan mereka, sebelum nyala itu pelan-pelan pergi.

IV

Seminggu lalu, saya masih melihat album “Construction Time Again” milik Depeche Mode di toko kaset bekas favorit saya di Setiabudhi bawah. Hari ini saya sungguh kecewa, kaset tersebut sudah dibeli orang beberapa hari lalu. Saya tak pernah benar-benar menyukai Neil Young, namun sebagai pengobat kekecewaan, kaset “Rust Never Sleep” yang ada ini lebih dari cukup. Saya beri tandatangan seperti biasa dan titimangsa tidak seperti biasanya; 10 Desember, meski hari ini hari terakhir di bulan Mei, sekedar sebagai marka pengingat hari Sondang pergi ketika setiap kali lagu pertama album ini diputar, It’s Better to burn out, than to fade away…/ It’s better to burn out than it is to rust…”

Posted in: Uncategorized