Sore itu saya urung pergi cepat meninggalkan percetakan. Hujan mulai mengunjungi akhir tahun. Membawa tumpukan dua rim poster, sangat tak mungkin menerobos hujan tanpa membuat poster-poster itu menjadi bubur kertas. Saya turunkan lagi dari motor, digotong ke warung kopi terdekat dan saya simpan tepat di sebelah kiri di mana dua orang asik bercakap. Duduk dan memesan secangkir kopi merupakan pilihan paling tepat di hadapan hujan yang baru saja mengguyur deras.
Hujaman air pada atap kios memaksa dua orang sebelah saya tadi meninggikan suara mereka bercakap. Secara tidak langsung mereka memberi saya izin ikut mendengarkan. Meski hanya potongan kalimat, saya cukup paham apa yang mereka bicarakan. Jason Bourne, konspirasi pemerintah dan George Orwell. Riddley Scott dan pencarian DNA alien. Collin Farrel, Phillip K Dick, dan Total Recall. Film-film terbaik di 2012 dan zeitgeist. Semangat zaman, ujar mereka.
Bane dan serangan terhadap Stock Exchange. Pengambilalihan kota berubah menjadi tirani. Pengadilan ‘rakyat’ yang mengingatkan pada revolusi Perancis lengkap dengan pemberontakan penjara yang mirip Bastille. The Dark Knight Rises lah yang paling representatif menurut mereka.
Perihal bagaimana Christopher Nolan memakai Batman untuk membuat gerakan Occupy nampak bodoh dan buruk. Menjadi gerbang menarik pada topik yang lebih serius, ketika mulai melibatkan teori-teori politik di dalamnya, dari Gramsci hingga Zizek, Marx, Lacan hingga Alan Badiou. Begitu menggebu seolah revolusi sedang terjadi, gerakan Occupy hadir disini dan lapangan Gasibu Bandung berubah menjadi Tahrir Square.
Saya sudah lama berdamai dengan kenyataan. Meski perjanjian perdamaian yang saya buat tak selalu mulus seperti ikrar damai Hamas-Israel. Namun paling tidak, cukup bekerja aktif untuk terhindar dari sindrom uring-uringan sendiri ketika berhadapan dengan obrolan kopi sore yang jauh bertetangga dengan realitas. Seperti saat sore itu, di tengah hujan.
Terlatih mengingatkan diri bahwa akan ada waktu dimana diskusi politik tak lebih dari percakapan yang menarik. Persis seperti menonton The Dark Knight sebagai hiburan. Maka ketika percakapan berlanjut mengungkit soal Arab Spring tanpa mengikutsertakan analisa mengapa gerakan otonomus dan demokrasi langsung di tataran lokal terasa dekaden, rasanya tak perlu diinterupsi untuk didebat.
Terlebih kemudian, mereka mencoba membuat analisa politik dalam kerangka ‘semangat zaman’, membandingkan gerakan Occupy dan Jokowi dalam ranah pencitraan. Mengkritik gerakan politik lokal yang kurang memoles pencitraan mereka, jauh dibandingkan apa yang dilakukan Adbusters dalam Occupy Wall Streets dengan visual-visual avant-garde-nya, seolah perubahan sosial hanya perihal kosmetik.
Sebuah kesimpulan ‘analisa akhir tahun’ yang aneh, cukup kontras dengan forum murung pada beberapa malam sesudahnya saat beberapa kawan hadir dalam momen refleksi tahunan. Di dalam ruangan berkepul asap, mengutarakan opini demi opini yang bernada sama, hampir putus asa mencari harapan. Gerakan akar rumput yang tertatih-tatih nyaris hancur, penindasan bercorak akumulasi primitif menyeruak di seantero nusantara dan politik populis lebih menyita perhatian diluar sana.
Tapi seisi ruangan itu harus mengiyakan perdamaian dengan kenyataan, toh diluar sana memang KPK diganyang lebih menarik dibanding para petani yang ditembaki. Jika kemudian melakukan kekonyolan kolosal klasik seperti membuat manifesto instan dan berteriak-teriak di tempat ramai –nyata atau virtual– akan nampak semakin bodoh.
Sebrutal apapun masturbasi intelektual yang dilakukan dua orang di warung kopi sore itu, paling tidak mengingatkan saya pada satu hal. Gerakan Occupy meski hanya sebagai tontonan dari seberang sini kita melihat, sedikit banyaknya sempat menawarkan ulang wacana lama tentang gerakan ekstra-parlemen di tahun 2012, dengan menginjeksi perspektif dan kenyataan baru. Memprovokasi diskusi tentang gerakan massa yang otonom, organik, radikal, multi-perspektif dan sama sekali keluar dari perdebatan memuakkan tentang ‘perwakilan rakyat’ di parlemen, politik elit atau ocehan gadang-menggadang tampuk kekuasaan seperti gubernur atau walikota. Meski itu hanya sementara saja.
Pasca Jokowi terpilih, wacana politik lokal kembali pada wacana lama; berharap ratu adil datang membereskan hiruk pikuk. Yang pro menyoraki, yang kontra mengutuk. Tapi pada dasarnya mereka nyaris seragam. Mereka yang berharap pada ratu adil, berharap segelintir elit akan merubah nasib mereka. Beruntunglah mereka yang menyadari bahwa hidup terlalu pendek untuk mengimani sebuah dunia yang dapat diselamatkan oleh seorang kapitalis yang baik seperti Bruce Wayne.
Saya menadahkan tangan ke luar bilik kios, memastikan tetesan hujan cukup kecil dan tidak akan merusak poster yang akan saya bawa. Besok lusa seorang sahabat akan membawanya ke pengadilan. Dua orang petani dikriminalkan dan mereka akan menghadiri proses pengadilan dengan poster-poster itu.
Dua orang anggota klub filsafat tadi belum juga selesai berdebat, namun topik sudah tidak menarik bahkan keterlaluan menyebalkan ketika sampai pada riset gegabah seputar keogahan mereka berurusan dengan aktivis buruh yang mereka pikir terlalu low-blow sebagai pilihan aktivitas. Nampaknya perubahan bagi kelas menengah seperti mereka hanya persoalan obrolan politik mana yang mainstream dan mana yang tidak. Ini pula tanda bagi saya untuk segera pergi karena besar potensinya merusak perdamaian saya dengan kenyataan. Semakin besar kemungkinan saya terpancing dan mendebat, sesuatu yang tentu saja tak penting.
“Itu poster apa Bang boleh minta?” seorang mereka menyela ketika saya mengikat dua tumpuk poster di jok belakang. Saya keluarkan tiga lembar untuk mereka, sembari pamit.
“Saya koleksi poster politik begini Bang, saya rasa yang beginian harus ditempel di dinding gedung dewan” Ia memotong.
Dewan yang ia maksud pasti DPRD. Saya agak termenung sejenak dan menaikkan alis sebelah. Setelah menyimak perbincangan mereka soal subjek radikal dan Alan Badiou agak mengherankan mereka masih percaya politik perwakilan, demokrasi liberal dan masih ambil pusing mencari perhatian para ‘wakil rakyat’.
Saya hanya tersenyum, menyalakan motor dan memasang headphone di telinga. Kebiasaan yang sering dicerca istri saya, karena beresiko tak mendengarkan sekeliling ketika berkendara.
Magrib yang merapat. Saya bergegas dan sepanjang perjalanan terheran-heran, hampir tak percaya jika Apollo Brown merilis dua album gila di tahun yang sama.
udniw
February 3, 2013
Hihihihi
Heran 😀
Purgatory Martir
February 4, 2013
“Saya koleksi poster politik begini Bang, saya rasa yang beginian harus ditempel di dinding gedung dewan” Ia memotong. Dewan yang maksud pasti DPRD.
menggelikan, ,
Acil
February 4, 2013
Aya nu leuwih mengherankan mun jang urang, eta Apollo Brown jago pisan nyieun beatna. :’D
gutterspit
February 4, 2013
Horeee, acil jadi beuki hiphoooop 😛
Acil
February 5, 2013
‘Dice Game’ na Apollo Brown madep, hehehe. 😀
arfian
February 5, 2013
jd kmha cenah eta Rock The Vote teh rame?hehe 😛
Acil
February 5, 2013
Hariwang. Salam Hop Hip 😀
Asepcashball.com
February 5, 2013
berasa pisan dua orang dalam dunia spectacle, ngoceh ampe ngebul, tanpa aksi. pasifis. Appolo Brown release album deui? anjing keren kang featuring OC wae gs jadi playlist harian. okeh nice info.
Lingga Agung
February 6, 2013
padahal mah ‘hajar’ kang. 🙂 tapi jang naon ketangnya. hahaha.
otse
February 9, 2013
bang ini fiksi ya kan bang, terlalu satire 🙂
gutterspit
February 10, 2013
Saya selalu pengen bikin fiksi, tapi gak pernah bisa, meskipun bisa hasilnya sungguh garing dan kering imajinasi. Jadi kalau curhatan model begini ternyata bisa dianggap fiksi (karena terlalu satire), saya senang :).
fderayma
February 12, 2013
Jl.Suniarajaaww…..:)
quigonjean
February 20, 2013
“koleksi poster politik” .. aya geuning nya. termasuk poster kampanye oge teu nya..
Lingga Agung
February 22, 2013
Dan saya mengalami hal yang serupa walau tidak sama. Beberapa hari yang lalu, ketika saya sedang asik menyortir buku di salah satu toko buku di Jl. Merdeka, saya mendengar percakapan dua orang ABG tanggung–dengan kaos Seringai dan Komunal–perihal Ucok dan Pam. Saya langsung melirik, dan berusaha mendengarkan apa yang tengah mereka perbincangkan. Sialnya, lagu John Mayer sedikit mendistorsi telinga saya. samar terdengar, “Oh, nya berarti si Pam (kemungkinan Pam Runtah, karena tidak ada lagi Pam kan?) atuh!” Dengan semangat. Lalu dia berkata lagi, “Mun si Ucok mah geus populis uy.”… saya tidak tau apa sebetulnya yang mereka bicarakan, tapi ketika melihat buku yang mereka bawa, dan saya hapal betul itu buku apa karena saya punya satu di rumah (Membongkar Mitos Neolib) buku yang sebetulnya acak2an dalam segi cetakkannya, halaman terbalik dll. mungkin saja mereka tengah memerbincangkan gerakan anti neolib. mungkin. Tapi saya penasaran apa maksud mereka mengatakan bahwa Ucok itu populis. Ketika saya hendak bertanya sosok lain mengalihkan perhatian saya. Itu Tisna Sanjaya dan Teten Masduki. What the hell!
quigonjean
March 1, 2013
si Pam kamana nya… terakhir SMSan janji rek panggih tepi terus di cancel ku si manehna
thoughtcrime
March 2, 2013
Aya didieu. Enya atuh urang teh gawena jamna sok teu puguh jeung loba dadakan. Jadi emang rada hese janji-janji teh euy. Punten pisan… Hayuk atuh lah panggih, tapi ulah rarameana lah nya’, urang ayeuna teuing, sok rada malas mun rame-rame teuing. Leuwih resep nu saeutikan, ngobrol santai, leuwih alus deui mun bari aya bir. Punten Cok, nebeng blog maneh jang ngobrol jeung si Jean. Hohoo
gutterspit
March 2, 2013
Tahhh siahhh Jean, jadi we dipalak bir!
Santay pam, ngke urang ge rek ngobrol jeung si Jean di blog maneh..
thoughtcrime
March 3, 2013
Anjir, ulah. Bisi di blog urang jadi aya komentar populis. Hkhkhhk… 😀
gutterspit
March 3, 2013
Bwahahahha. Bener oge…, bisi ngke maneh pipilueun dituduh rek nyalonkeun jadi walikota atau milu Indonesian Idol :))
quigonjean
March 16, 2013
Ahahaha.. geus teu nginum ayeuna mah euy, nginum kopi wae jejeretean…
urang maklum lah Pam, cowok pop tea pan padat jadwalna. Terus ieu naha star wars kabeh kieu euy populis teuing
thoughtcrime
March 16, 2013
Anjir menua maneh siah. Parah…
Ih duka atuh, abdi mah da saukur starwars fanboy malu-malu.
gutterspit
March 16, 2013
Si jean teu nginum bir, teu ngudud jeung dahar sayur ayeuna pam…
Nya kumaha nya? Tibaheula pan urg mah emang Star Wars poseur…,
thoughtcrime
March 17, 2013
Enya eta teh beberapa tanda-tanda penuaan, Cok. Prihatin urang ka si Jean euy… Hirup rek dieusi naon deui si eta… Ck ck ck
simplejokes
March 4, 2013
jigana lamun album mv versi populis,kompromi dengan kenyataan dan untuk promo walikota, pasti lebih edan ti apollo brown! hahaha
thoughtcrime
March 4, 2013
Eh emang maneh dituduh nyalonkeun rek jadi walikota? Bae lah. Urang mah malah berharap bener, jadi kan wawuh, jadi urang bisa nitip ieu: pang benerkeun jalan di hareup imah urang euy, anjir eta ni kawas susukan saat.
gutterspit
March 4, 2013
Teuing eta gogon na epik kitu…, maklum… “populis” hkhkhkhk..
AndiAslam
March 7, 2013
“hidup terlalu pendek untuk mengimani sebuah dunia yang dapat diselamatkan oleh seorang kapitalis yang baik seperti Bruce Wayne”
ladodeng
March 13, 2013
dugcess
menolak berkarat
March 19, 2013
halloo … saya pengen main ke bandung.. pengen main ke tempat mas.ucok..
mungkin bisa kasih alamatnya mas di xstrugglex@rocketmail.com ..trimakasihh 🙂
eswan center
April 8, 2013
hidup eswan….(edi siswadi dan erwan setiawan)
Otot Leho
May 14, 2013
Masia weh edi.. Riweuh
siumed
June 10, 2013
hahahahahah…. anjiiiing, teu ngeunaheun pisan aing macaan komentar ieu di akhirna. aya eswan center sagala.
teu jadi komentar, ah. maaf ya mas ucok.
Teramadhi Kirliana Putra
June 10, 2013
saya baru baca artikel dengan begitu banyak istilah yang hampir 80% saya tidak mengerti maknanya. tapi saya suka ini! lanjut ke part ii…
embrio
June 13, 2013
Lieur mbacana euy, teu ngertoss…. 🙂
tapi mantaffffff…….
Lee
October 28, 2013
Keren kang tulisannya. Mantap!
fygar292
April 2, 2014
bang….ucok!!