Yang Akan Kami Biarkan Terbakar Sebelum Meredup I

Posted on February 3, 2013

36


burnout

Sore itu saya urung pergi cepat meninggalkan percetakan. Hujan mulai mengunjungi akhir tahun. Membawa tumpukan dua rim poster, sangat tak mungkin menerobos hujan tanpa membuat poster-poster itu menjadi bubur kertas. Saya turunkan lagi dari motor, digotong ke warung kopi terdekat dan saya simpan tepat di sebelah kiri di mana dua orang asik bercakap. Duduk dan memesan secangkir kopi merupakan pilihan paling tepat di hadapan hujan yang baru saja mengguyur deras.

Hujaman air pada atap kios memaksa dua orang sebelah saya tadi meninggikan suara mereka bercakap. Secara tidak langsung mereka memberi saya izin ikut mendengarkan. Meski hanya potongan kalimat, saya cukup paham apa yang mereka bicarakan. Jason Bourne, konspirasi pemerintah dan George Orwell. Riddley Scott dan pencarian DNA alien. Collin Farrel, Phillip K Dick, dan Total Recall. Film-film terbaik di 2012 dan zeitgeist. Semangat zaman, ujar mereka.

Bane dan serangan terhadap Stock Exchange. Pengambilalihan kota berubah menjadi tirani. Pengadilan ‘rakyat’ yang mengingatkan pada revolusi Perancis lengkap dengan pemberontakan penjara yang mirip Bastille. The Dark Knight Rises lah yang paling representatif menurut mereka.

Perihal bagaimana Christopher Nolan memakai Batman untuk membuat gerakan Occupy nampak bodoh dan buruk. Menjadi gerbang menarik pada topik yang lebih serius, ketika mulai melibatkan teori-teori politik di dalamnya, dari Gramsci hingga Zizek, Marx, Lacan hingga Alan Badiou. Begitu menggebu seolah revolusi sedang terjadi, gerakan Occupy hadir disini dan lapangan Gasibu Bandung berubah menjadi Tahrir Square.

Saya sudah lama berdamai dengan kenyataan. Meski perjanjian perdamaian yang saya buat tak selalu mulus seperti ikrar damai Hamas-Israel. Namun paling tidak, cukup bekerja aktif untuk terhindar dari sindrom uring-uringan sendiri ketika berhadapan dengan obrolan kopi sore yang jauh bertetangga dengan realitas. Seperti saat sore itu, di tengah hujan.

Terlatih mengingatkan diri bahwa akan ada waktu dimana diskusi politik tak lebih dari percakapan yang menarik. Persis seperti menonton The Dark Knight sebagai hiburan. Maka ketika percakapan berlanjut mengungkit soal Arab Spring tanpa mengikutsertakan analisa mengapa gerakan otonomus dan demokrasi langsung di tataran lokal terasa dekaden, rasanya tak perlu diinterupsi untuk didebat.

Terlebih kemudian, mereka mencoba membuat analisa politik dalam kerangka ‘semangat zaman’, membandingkan gerakan Occupy dan Jokowi dalam ranah pencitraan. Mengkritik gerakan politik lokal yang kurang memoles pencitraan mereka, jauh dibandingkan apa yang dilakukan Adbusters dalam Occupy Wall Streets dengan visual-visual avant-garde-nya, seolah perubahan sosial hanya perihal kosmetik.

Sebuah kesimpulan ‘analisa akhir tahun’ yang aneh, cukup kontras dengan forum murung pada beberapa malam sesudahnya saat beberapa kawan hadir dalam momen refleksi tahunan. Di dalam ruangan berkepul asap, mengutarakan opini demi opini yang bernada sama, hampir putus asa mencari harapan. Gerakan akar rumput yang tertatih-tatih nyaris hancur, penindasan bercorak akumulasi primitif menyeruak di seantero nusantara dan politik populis lebih menyita perhatian diluar sana.

Tapi seisi ruangan itu harus mengiyakan perdamaian dengan kenyataan, toh diluar sana memang KPK diganyang lebih menarik dibanding para petani yang ditembaki. Jika kemudian melakukan kekonyolan kolosal klasik seperti membuat manifesto instan dan berteriak-teriak di tempat ramai –nyata atau virtual– akan nampak semakin bodoh.

Sebrutal apapun masturbasi intelektual yang dilakukan dua orang di warung kopi sore itu, paling tidak mengingatkan saya pada satu hal. Gerakan Occupy meski hanya sebagai tontonan dari seberang sini kita melihat, sedikit banyaknya sempat menawarkan ulang wacana lama tentang gerakan ekstra-parlemen di tahun 2012, dengan menginjeksi perspektif dan kenyataan baru. Memprovokasi diskusi tentang gerakan massa yang otonom, organik, radikal, multi-perspektif dan sama sekali keluar dari perdebatan memuakkan tentang ‘perwakilan rakyat’ di parlemen, politik elit atau ocehan gadang-menggadang tampuk kekuasaan seperti gubernur atau walikota. Meski itu hanya sementara saja.

Pasca Jokowi terpilih, wacana politik lokal kembali pada wacana lama; berharap ratu adil datang membereskan hiruk pikuk. Yang pro menyoraki, yang kontra mengutuk. Tapi pada dasarnya mereka nyaris seragam. Mereka yang berharap pada ratu adil, berharap segelintir elit akan merubah nasib mereka. Beruntunglah mereka yang menyadari bahwa hidup terlalu pendek untuk mengimani sebuah dunia yang dapat diselamatkan oleh seorang kapitalis yang baik seperti Bruce Wayne.

Saya menadahkan tangan ke luar bilik kios, memastikan tetesan hujan cukup kecil dan tidak akan merusak poster yang akan saya bawa. Besok lusa seorang sahabat akan membawanya ke pengadilan. Dua orang petani dikriminalkan dan mereka akan menghadiri proses pengadilan dengan poster-poster itu.

Dua orang anggota klub filsafat tadi belum juga selesai berdebat, namun topik sudah tidak menarik bahkan keterlaluan menyebalkan ketika sampai pada riset gegabah seputar keogahan mereka berurusan dengan aktivis buruh yang mereka pikir terlalu low-blow sebagai pilihan aktivitas.  Nampaknya perubahan bagi kelas menengah seperti mereka hanya persoalan obrolan politik mana yang mainstream dan mana yang tidak. Ini pula tanda bagi saya untuk segera pergi karena besar potensinya merusak perdamaian saya dengan kenyataan. Semakin besar kemungkinan saya terpancing dan mendebat, sesuatu yang tentu saja tak penting.

“Itu poster apa Bang boleh minta?” seorang mereka menyela ketika saya mengikat dua tumpuk poster di jok belakang. Saya keluarkan tiga lembar untuk mereka, sembari pamit.

“Saya koleksi poster politik begini Bang, saya rasa yang beginian harus ditempel di dinding gedung dewan” Ia memotong.

Dewan yang ia maksud pasti DPRD. Saya agak termenung sejenak dan menaikkan alis sebelah. Setelah menyimak perbincangan mereka soal subjek radikal dan Alan Badiou agak mengherankan mereka masih percaya politik perwakilan, demokrasi liberal dan masih ambil pusing mencari perhatian para ‘wakil rakyat’.

Saya hanya tersenyum, menyalakan motor dan memasang headphone di telinga. Kebiasaan yang sering dicerca istri saya, karena beresiko tak mendengarkan sekeliling ketika berkendara.

Magrib yang merapat. Saya bergegas dan sepanjang perjalanan terheran-heran, hampir tak percaya jika Apollo Brown merilis dua album gila di tahun yang sama.

Posted in: Uncategorized