Resensi Buku
Kehausan di Ladang Air: Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan
Penulis: Zaky Yamani
Penerbit: independen, dengan kerja sama berbagai pihak
Tahun: 2012
“How can we trust the government who bow down to corporations and their nature of business” – Immortal Technique
“Lalu Bagaimana saya bisa menulis tiga bab tentang kesulitan air bersih yang dialami warga Kota Bandung jika pemerintah mengklaim seratus persen dari 2.374.198 jiwa penduduk kota ini telah mendapat akses air bersih? Hanya ada dua kemungkinan jawaban untuk pertanyaan itu apakah saya berbohong kepada Anda dengan mengarang cerita yang tidak pernah terjadi. Atau, Pemerintah Kota Bandung yang telah melakukan pembohongan publik dengan mengaburkan fakta sebenarnya.”
Satu dekade lalu ada sebuah majalah bernama Pantau. Ia agak berbeda dengan majalah lain pada zamannya, karena isinya merupakan tulisan investigatif ala jurnalisme pada umumnya namun dipaparkan dalam gaya tutur yang menarik seperti novel.
Majalah itu tidak berumur lama, namun cukup membuat saya berkeyakinan bahwa di zaman huru-hara informasi seperti sekarang, usaha mewartakan itu harus menarik. Sejak itu saya selalu berandai-andai jika saja metode penulisan seperti itu populer di kalangan anak muda dan dipakai untuk membongkar ketidakadilan di sekeliling kita, akan menjadi senjata cukup ampuh untuk melawan kebanalan teks ditengah puting beliung informasi yang berseliweran mengalihkan perhatian kita. Hingga tiba hari ini, sinyal menggembirakan datang seusai membaca buku “Kehausan di Ladang Air”. Sebuah buku yang mencoba membongkar praktek pencurian air dan politik privatisasi sumber-sumber air bersih di Bandung.
Membaca karya Zaky Yamani ini tidak terasa bahwa kita sedang membaca sebuah laporan investigasi penuh statistik dan peta yang rumit perihal politik sumber air bersih di kota yang notabene kaya akan sumber air. Berangkat dari pengamatan sekeliling dan keraguan terhadap klaim pemerintah kota Bandung yang menyatakan bahwa warga kota tidak memiliki masalah terhadap akses air bersih, Zaky memulai penelusurannya di tempat-tempat paling hardcore di Bandung. Di daerah beling di Jamika, di gang-gang sempit di belakang Braga hingga perkampungan miskin kota di daerah Rajawali.
Dua bab pertama Zaky habiskan untuk menjelaskan dengan detil bagaimana warga di Bandung berhadapan dengan lenyapnya hak asasi mereka atas air. Bagaimana sulitnya akses mereka terhadap air bersih membuat mereka terpaksa membelinya dengan harga mahal dan otomatis menambah beban hidup mereka yang sudah sangat berat sebagai warga miskin.
Lewat cara penulisannya yang mengalir bertutur, Zaky membongkar praktek pencurian air dan kejahatan privatisasi sumber air bersih di Bandung dengan lugas tanpa basa-basi tanpa harus membuat pembacanya tertidur bosan disuguhi angka-angka dan reportase dingin. Sebagai contohnya sedikit saya kutip bagaimana penulis melukiskan data betapa kayanya kita akan sumber air dan kenyataannya dilapangan;
“Bayangkan sebuah kolam air raksasa yang luasnya sama dengan lapangan sepakbola standar internasional yang paling luas, yaitu dengan panjang 110 meter dan lebar 75 meter. Bayangkan kedalaman kolam itu 20 meter atau setara dengan gedung setinggi delapan tingkat. Jika kita ukur, volume totalnya adalah 165.000 meter kubik. Kemudian bayangkan di seluruh Kota Bandung terdapat 181 kolam air raksasa seperti itu, yang jika ditotalkan, volumenya sebanyak 30 juta meter kubik. Dengan wilayah yang terdiri dari 30 kecamatan, maka setiap kecamatan bisa mendapat jatah enam kolam air raksasa itu. Atau, jika didistribusikan ke 151 kelurahan yang ada di Kota Bandung, maka setiap kelurahan bisa mendapat jatah antara satu sampai dua kolam air raksasa. Sungguh bayangan yang menakjubkan bukan?”
Dengan cara yang sama Ia menjelaskan kondisi sulitnya akses air dengan sangat visual. Selain melakukan kewajibannya memaparkan berapa warga penerima raskin di setiap RW, berapa harga yang harus dibayar sebuah keluarga untuk air bersih dan proses yang luar biasa sulit untuk mendapatkannya, Zaky tak lupa memotret bagaimana suasana di tempat-tempat itu dengan detail; seorang warga terlelap di kursi karena begadang menunggu air yang hanya mengalir lewat tengah malam, dua anak kembarnya yang melompat-lompat di kursi, tata letak ruangan di sebuah rumah sempit, kamar mandi tanpa bak ataupun selang air. Bau keringat manusia dan aroma masakan yang bercampur aduk kala terik datang di sebuah daerah kumuh dan jamban yang terlalu dekat sumur sehingga mencemarinya, disadari warga namun tetap dibiarkan demikian karena memang tak ada pilihan lain.
Dengan deskripsi seperti itu pembaca dibawa ikut menelusuri gang-gang kumuh mewawancarai para penduduk di wilayah-wilayah minus itu dengan satu muara; memotret warga miskin yang beban ekonominya bertambah berat karena mereka tidak memiliki akses terhadap air bersih. Untuk membuktikan hubungan akses air bersih dengan pemiskinan struktural itu bukan mitos atau sekedar cerita ketidakberuntungan di alam neoliberalisme seperti sekarang.
Dengan memasang satu dua wawancara warga yang kualitatif Zaky tidak pernah lupa menyisipkan selalu data-data kuantitatif pada setiap narasinya untuk menjelaskan betapa penguasaan sumber daya alam yang hak atas aksesnya seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Dasar begitu menyengsarakan warga miskin kota. Pada bab kedua bahkan diceritakan bagaimana praktek-praktek privatisasi ini mengalienasi hubungan sosial, membuat warga saling curiga, saling menggunjingkan, bertengkar berebut air dan bahkan saling mengacungkan golok. Karena mereka buta peta politik air, konflik yang hadir bukan antara warga dengan segelintir orang yang menguasai akses tersebut, namun justru konflik horisontal antar warga lah yang terjadi.
Pada bab-bab selanjutnya investigasi memasuki wilayah krusial. Membongkar pelaku-pelaku perdagangan air, dilemanya dengan PDAM hingga menusuk ke pusat kekuasaan; pemerintah kota dan kebijakan-kebijakannya yang terkait dengan akses air. Termasuk didalamnya politik internal yang terjadi di tubuh PDAM Kota Bandung dimana terdapat jaringan mafia yang melestarikan ketidakadilan ini dengan terstruktur. Bagian kisah ini sungguh menarik karena Zaky tidak kompromis dalam hal mewartakannya. Ia tidak menulis inisial atau menyamarkan nama-nama para pejabat yang terlibat, termasuk nama ormas (Angkatan Muda Siliwangi) yang secara langsung/tidak langsung terkait pun dipasang terang-terangan. Bahkan posisi keterlibatan walikota Dada Rosada dan wakilnya Ayi Vivanda dalam melestarikan mafia air di Bandung dipetakan dengan jelas.
Zaky melakukan riset menahun intens menulis dan sempat terpentok dana dalam aktualisasinya. Tak patah arang, ia mengikuti kompetisi Mochtar Lubis Fellowship, dan memenangkannya. Uangnya ia pakai untuk terjun langsung ke lapangan meliput dan menulis buku ini secara simultan selama setahun. Pada saat mencetaknya, konon tak satupun penerbit yang berani menerbitkannya sehingga ia merilis buku ini sendiri dalam jumlah terbatas dengan bantuan beberapa kawan di jejaring aktivisme. Sekali lagi, usaha Zaky dalam menerbitkan buku ini sungguh tak mudah. Bukan hanya karena faktor teknis dalam proses penulisan buku, namun terlebih perhitungan resiko yang akan penulis hadapi mengingat fakta-fakta yang ia lampirkan. Jadi bisa dibayangkan, jika yang ada hanya kepasifan massal seperti yang sudah-sudah, akan sangat percuma usaha Zaky dalam mengambil resiko membongkar ketidakadilan seperti ini.
Buku ini dijual bebas di beberapa toko buku independen di Bandung, dan mungkin di beberapa kota lain juga. Namun untuk mencegah kasus pemborongan buku seperti yang terjadi pada majalah Tempo kapan hari lalu, sebagian besar buku ini dibagikan gratis di titik-titik simpul pergerakan akar rumput.
Buku seperti ini penting bagi kita hari ini, bukan hanya karena ditulis dengan bagus, namun juga untuk lebih menyadari apa jadinya jika hak asasi atas akses terhadap air diprivatisasi dan dikuasai segelintir orang, terlebih lagi juga untuk melihat langsung dampak neoliberalisme yang mempercayakan semua pilar kehidupan pada mekanisme pasar. Membiarkan mereka yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin papa. Bagaimana kemudian korporasi berlindung dibalik regulasi-regulasi pemerintah yang tunduk pada mereka. Untuk tahu lalu apa yang harus dirubah jika kita ingin perubahan. Tak cukup mereformasi pemerintahan yang notabene mereka sendiri yang merilis Undang-Undang No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, memberikan sektor swasta peluang untuk menguasai.
zaky yamani
April 16, 2012
jadi asa hade kieu buku urang mang….hehehe..nuhun review-na
gutterspit
April 16, 2012
Hahahaa. Emang hade mang. Aslining. Hampura mun review na ngan bisa kieu. Maju terus ah. Gas pol.
Haluci
April 16, 2012
Kayaknya, ga pantes komen soal Air jika blm memilah-milah halaman dari buku ini. Udah majang di Omu/Ultimus blm bro? Eh, itu cover mirip bintang daud. Ini pasti konstipasi yahudi! yu.
bnugroho
April 16, 2012
Reblogged this on bnugroho.
siuajakliu
April 17, 2012
Wah, menarik. Bisa dapat dimana bukunya? Saya domisili di Bali. Terima kasih.
domusworks
April 24, 2012
kebetulan saya punya 3 copy dari buku ini, dan berdomisili di denpasar, kalo tertarik bisa kontak saya di 0856 221 9930. Sip.
Aldaf Pasukan Tuhan
April 17, 2012
beu,.bet ku kitu nya nepi ka cai-cai ge di paling.. teu di sangka ku teu gableg eta si dada jadi walikota kalahkah nyengsarakeun rakyatna sorangan
teu baleg ah..
nuhun info na cok,. gas pol,. kade tikungan bisi ti kusruk 😀
sahauing
April 19, 2012
saat ini serangan dari pencuri air dan kroconya sudah mulai gerilya,..
dan Buku sejenis ini harus lebih banyak lagi biar masyarakat lebih tahu betapa busuk nya pemkot bdg?Pemprov Jabar/Pempus rezim SBY
dkmgn
April 30, 2012
atas nama air yang ditakdirkan gratis, kunaon loba diduitkeun nya,,?
grage
May 4, 2012
sprtiny tdk saja bandung, kota juga kabupaten cirebon krisis air d jam2 tertentu, lebih sering mah pagi sampai sore kembali ngalir malam hari.
D cirebon bisa d dapat dmn cok?
rheza ardiansyah
May 10, 2012
solusinya gimana ya kang?
adi jadil
May 10, 2012
mnta almt web penulisnya Kang Ucox….bsa g?
bay
June 4, 2012
andaikata bang ucok membuat tulisannya dalam sebuah buku
maka inspirasi untuk publik akan lebih mudah dicerna
tanpa harus memungut dari keping-keping digital yang berseliweran didunia maya
lebih pakem
lebih mudah dijangkau otak yg haus informasi sebelum tertidur
firman
August 29, 2012
punten…kalau di Bandung, buku ini bisa didapat di mana ya? hatur nuhun…
kurupuk anjing
September 27, 2012
logo na ngeri uy
Anugrah
November 1, 2012
kami (perpustakaan jalanan yang sering ngelapak di CFD dago-bandung) dapet buku ini gratis dari orang walhi 🙂
tboihoio
December 3, 2012
Blue Gold: World Water Wars (480p) (cc)
FLOW – For Love Of Water – Full Length
A World Without Water
Bagus Raditya
January 8, 2013
mang ucok di gramedia aya teu bukuna ? hoyong maca unk 🙂
gutterspit
February 3, 2013
Teu aya kasep, cobian ka Walhi sugan aya keneh
Teramadhi
February 4, 2013
menarik, baru sempat mampir lagi ke blog bang ucok. yang jadi pertanyaan apakah buku ini memang diperjual belikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari si penulis atau hanya sebatas mendapatkan modal si penulis kembali? yang jelas untuk sebuah buku, sepertinya buku ini manusiawi sekali dan jelas inspiratif bagi saya.
Saya suka dengan review dari buku ini yang mengarahkan saya pada “bersikap frontal” dan saya seperti melihat sebuah trailer mystery/crime/drama/action hanya dengan membaca review ini. Action? memang tidak ada ulasan kalau si penulis disandera atau berbaku tembak dengan lawannya, namun aksinya yang turun ke lapangan merupakan tantangan dan sepertinya pengalaman yang sangat berharga dalam penyelidikannya ditambah lagi kalau datanya yang akurat. saya bilang ini sangat superb!
pembangkang sipil
September 17, 2013
kang kalo mau dapetin buku itu dimana ?
mata mendengar
April 21, 2014
indung aing leumpang mayar cai sigana , duit di pilah pilah , di jero hate indung teu sapira , goverment nyapirakeun , sungguh epic otak balarea di brainwash ku si eta ,, paehan hiji2 ku aing geura , anjing !!!
Word Porn
May 10, 2018
Semoga sehat selalu zak…