Mendengarkan album baru sebuah band favorit kalian adalah perkara menyenangkan dan mudah, tak perlu diganggu dengan hal-hal tetek bengek seperti politik misalnya. Namun pada kenyataannya tidak demikian kasusnya untuk sebuah band yang pernah melampaui banyak hal, membuat politik menjadi sangat menyenangkan, membuat musik menjadi instrumen perubahan dan filsafat menjadi mainan dan godam.
Tak lama setelah mereka merilis album profetik super brutal dan perfeksionis mereka ‘The Shape of Punk to Come’ tahun 1998, Refused bubar. 14 tahun kemudian, mereka reuni di sebuah mega-festival musik, Coachella. Secara mengejutkan, reuni tersebut 3 tahun kemudian dilanjutkan dengan merilis album baru bertitel ‘Freedom’. Sudah barang tentu album baru ini bersuara berbeda, eksperimental, keluar dari ekspektasi orang. Dennis dkk menulis album yang tak ingin seolah seperti ‘The Shape of Punk to Come Part II’. Repetisi tidak ada dalam kamus mereka.
Untuk band seperti Refused, banyak orang beranggapan bahwa masalah yang sebenarnya terletak pada para pendengarnya, tidak pada album baru atau Refused itu sendiri. Karena bagaimanapun mereka adalah band yang memiliki komitmen kuat terhadap eksperimen dan nyaris tak akan mungkin melakukan pengulangan atas nama apapun. Jika memang terjadi, akan sangat melecehkan pernyataan kolektif Refused yang paling terkenal; “How can we expect anyone to listen / if we are using the same old voice?”. Mereka adalah para petualang yang selalu siap dengan konsekuensi mantra mereka; “So sick of not trying, scared we might fail, we accomplish nothing”.
Lagipula nampaknya, setelah melahirkan sebuah mahakarya yang nyaris tak bisa dilampaui oleh siapapun (termasuk mereka sendiri) hal yang paling ‘punk’ untuk dilakukan adalah membuat album baru. Terlebih ketika semua orang menganggap reuni dengan album baru itu adalah ide buruk. Oh, lihatlah komentar Dennis Lyxzén pada wawancaranya di Rolling Stones sesaat sebelum ‘Freedom’ dirilis; “Fuck What People Expect of Us”.
Mereka nampaknya lupa, bahwa satu hal penting yang pernah mereka deklarasikan perihal musik, bahwa musik bukan sekedar musik, terlebih punk. Mereka sendiri pernah menulisnya dengan begitu kuat. Saya masih memegang kopian kompilasi CD “Straight Edge as Fuck Vol.3” dimana mereka terlibat di dalamnya. Pada liner notes-nya mereka menulis; “The art produced by Refused is a weapon in the service of the struggle and an inseparable part of it. Their rightful place is in the centers of conflict, that is to say, in the streets and on the stereos, in the factories”.
Di sinilah awal bagaimana mengapresiasi album baru mereka tidak menjadi mudah. Jika ekspektasi banyak orang hanya diterjemahkan pada harapan bagaimana mereka bisa membuat petualangan baru dalam perkara musik belaka, tentu kita sudah selesai dengan mendengarkan Candiria, At The Drive In atau sebut selusin grup musik lainnya yang pula bereksperimen dengan suara, format dan komposisi.
Mereka agaknya lupa, atau pura-pura lupa, bahwa yang membuat Refused menyala 17 tahun lalu tidak terletak hanya pada perkara bagaimana mereka bereksperimen namun pula bagaimana eksperimen media itu mereka gunakan untuk mengkomunikasikan ide besar tentang alienasi, penghisapan, penindasan dan pembangkangan yang belakangan terdengar membosankan dan menjenuhkan.
Yang membuat ‘The Shape of Punk to Come’ begitu brillian adalah bagaimana mereka meminjam dan menginkorporasi elemen-elemen sejarah (musik dan politik) di belakang mereka yang sengaja dipilih sebagai representasi pembangkangan. Judul album provokatif yang dipinjam dari Ornette Coleman dan Nation of Ulysses, judul lagu yang mengadopsi Born Against, sampul album Rye Coalition, puisi Henry Miller, monolog Apocalypse Now dan sekian banyak serpihan-serpihan dari budaya populer yang mereka konstruksi dan dibungkus ulang dengan politik radikal. Pada musiknya, mereka meminjam seporsi jazz di sini, sedikit elektronik musik ala Ink and Dagger di sana, sedikit Fugazi di sini dan sedikit folk di sana.
‘The Shape of Punk to Come’ terdengar begitu ajaib justru karena reklaimnya atas ‘punk’. Sebrutal dan sejauh apapun eksperimentasi musik mereka, saat itu Dennis dkk tak menjadikan musik sebagai tujuan utama. Justru petualangan sonik mereka adalah bagian dari pergulatan ide dan aksi sosial politik yang simultan mereka lakukan. Refused beranggapan ide-aksi radikal dan revolusioner harus pula memerlukan musik yang radikal dan revolusioner. Dari ide tersebut klaim punk masa depan itu berangkat, ketika punk yang mereka anggap radikal dan revolusioner begitu membosankan dan terkooptasi oleh ide-ide borjuis dan menjadi tontonan belaka.
Saat album itu keluar, musik mereka tidak berdiri sendirian, ia berdampingan dengan manifesto-manifesto di dalam sampul album, yang dibuat dengan obsesi meletup-letup tentang membongkar alienasi dan mengorganisir perlawanan. Kalian bisa menemukan selusin teologi pembebasan didalamnya. Hegel, Marx, Proudhon, Bakunin, Luxemburg, Malatesta, Deborg, Vaneigem mengalir tanpa kalian harus merasa sedang berada dalam kelas ekonomi politik. Album ini menginspirasi generasi aktivis anti-globalisasi korporasi yang menyeruak beberapa tahun setelah album ini dirilis. Paling tidak dalam bentuk representasinya; foto seorang aktivis mengenakan t-shirt Refused melempar molotov pada aksi menolak pertemuan G8 di Genoa, Italia tahun 2001.
17-18 tahun lalu kita tidak mendengar Refused hanya sebagai musik yang eksperimennya liar dan bersuara begitu luar biasa. Album itu mungkin hanya akan terdengar setengah ajaib jika saja Lyxzén hanya menulis lirik standar tentang penindasan dan perlawanan. Ia tahu persis justru itu harus dihindarkan; ia menaikkan derajatnya sekian level, meminjam metode para Situationist International dan para pemberontak Paris’68 dalam menulis propaganda; puitik sekaligus berbahaya. Di sebelah kalimat “Can no longer pay the price. We’ll get organized!”, ia menyandingkan “We can all be realistic. Demand the impossible”.
Album itu mengingatkan kita tentang satu hal penting. Pencapaian utama album-album punk tidak hanya terletak pada apa yang mereka capai hari ini, namun atas bagaimana mereka menggambarkan masa depan. Album punk linear dengan utopia dan album punk yang hebat adalah album yang dapat membuat utopia itu sedikit lebih dekat dengan hari ini sehingga kita dapat tergerak menjemputnya sedikit; mengorganisir perlawanan dan komunitas itu memungkinkan, melawan kekuatan korporasi dan kesewenangan negara itu memungkinkan, hidup bermasyarakat tanpa pemimpin dan elit-elit politik brengsek itu bisa terjadi. Utopia sedikit tidak berjarak. Seperti halnya ‘London Calling’ atau ‘Reinventing Axl Rose’, ‘The Shape of Punk to Come’ adalah album yang memiliki aura itu dan sedemikian rupa menggerakkan.
‘Freedom’ bukan album yang buruk, sebaliknya ia cukup mengesankan meski ‘tak melampuai zamannya’ seperti album sebelumnya. Terlepas dari beberapa lagu yang sangat generik untuk ukuran mereka, seperti “Old Friends/New War” yang terdengar seperti Maroon 5 dengan ‘big beat’ Rick Rubin era Def Jam atau “Françafrique” yang mirip lagu dansa funk-rock Red Hot Chili Pepper dengan bumbu lirik kekirian tentang kolonialisme. Saya cukup menikmati “Elektra” yang dibidani oleh Shellback sang produser Taylor Swift, “Dawkins’s Christ” yang cukup metal dan meletup-letup, dan “366” yang mirip Tool hingga yang paling diluar dugaan “Servants of Death”, track disco dengan vibe Stevie Wonder.
Album ini album bagus, hanya jangan bertanya perihal eskalasi lirikal dan hubungannya dengan nyawa album. ‘Freedom’ (segenerik judul albumnya) nyaris tak menyisakan apa-apa dari legacy pembangkangan band asal Swedia ini. Bahkan dibandingkan dengan album ‘Songs to Fan the Flame of Discontent’ sekalipun, album ini seolah Mario Teguh dihadapan Noam Chomsky. Lengkingan Lyxzén masih seperti banshee seperti dahulu, hanya saja yang ia teriakan tak lagi “I got a bone to pick with capitalism and a few to break’, namun kalimat-kalimat klise geli-geli basah seperti “that’s someone’s sister! That’s someone’s son!”, lebih mirip teriakan seorang liberal pada aksi-aksi kemanusiaan dan gala dinner penggalangan dana.
Tak ada yang lebih menyedihkan ketika mendengar band yang pernah menulis statement “To live a life in fear of changing is to not live at all” atau “Sabotage will set us free, throw a rock in the machine” di kemudian hari menulis lagu tentang busuknya dunia hari ini dan hanya berujar “Nothing has changed”. Cukup pula berduka mendengar alumnus hardcore punk mengeluh tentang betapa tak bergunanya orang Eropa sebagai penutup album di zaman dimana kita menyaksikan serial aksi besar-besaran melawan globalisasi korporasi, Arab Spring, gerakan Occupy, Chiapas pasca-Marcos, insureksi di Yunani dan belahan dunia lain bergolak.
Ya, tulisan ini mungkin hampir sama dengan tulisan-tulisan lain perihal album baru mereka yang coba disandingkan dengan ‘The Shape of Punk to Come’, karena memang nyaris mustahil untuk tidak dilakukan kecuali mereka membuat album tidak atas nama Refused. Toh tak ada yang membandingkan album mereka tahun 1998 itu dengan album-album INVSN, The [International] Noise Conspiracy atau bahkan AC4 dimana Dennis atau sebagian dari mereka terlibat. Dan sekali lagi, ini sebetulnya akan biasa-biasa saja jika ini bukan Refused. Katakanlah, Faith No More yang album reuninya pula baru saja terbit. Bukan Mike Patton yang dahulu berujar bahwa niat ia membentuk band adalah “to combat music’s function as spectacle”.
“Freedom” adalah album yang enjoyable. Ada sisa-sisa DNA Refused lama di sana bagi kalian untuk beromantisme. Hanya saja ia tak lagi album yang menggairahkan (jika tak bisa disebut tak lagi relevan), karena mungkin memang Dennis dkk sudah tak lagi tertarik membuat album ‘punk’, terlebih lagi untuk mereklaimnya. Statemen Lyxzén di Rolling Stones kemarin nampaknya cukup self-explanatory, bagaimana mereka berubah dari punk anti-otoritarian, melawan gurita korporasi, militerisme dan bagian dari klandestin menjadi rocker yang sekedar memberontak melawan ekspektasi khalayak atas diri mereka. Refused sendiri tidak sell-out, (saya pun tak lagi paham apa itu sell-out hari ini), sangat mungkin mereka masih anti-otoritarian dalam banyak level. Namun jika kalian benar-benar ingin mendengar musik punk brutal dan eskperimental yang memiliki semangat Refused di tahun 1998, terdapat lusinan di luar sana, mungkin bisa dimulai dari album debut From the Depths.
taufanpelani
June 29, 2015
we don’t have the patience
dion ramone
July 6, 2015
Rolling Stone – 3,5 stars
Q – 4 Stars
kusuma
July 16, 2015
syudah ku duga, padahal urang lewih nungguan Review gy!be .
vendetta
July 19, 2015
Ijin saya muat ulang di konterkultur.com boleh?
gutterspit
February 18, 2016
Silakan
quigonjean
July 23, 2015
nggak ada yang last long cok. welcome back, kamana wae ateuh.. giliran Refused weh daek ngetik hahaha