Catatan Kecil di Hari Toko Rekaman

Posted on April 24, 2012

32


Harder Recs circa 1998, yang sekarang kami jadikan Remains Store di Cihampelas.

Harder Recs circa 1998, yang sekarang kami jadikan Remains Store di Cihampelas.

Ini mungkin salah satu suasana tipikal yang kerap hadir di bulan-bulan dua dekade lalu. Kabur di jam sekolah setelah mendengar kabar ‘Beneath The Remains’, album baru Sepultura, sudah ada di toko kaset langganan kalian di Dago. Tak satupun teman sekelas punya, namun tetangga kalian sudah memilikinya. Kalian ogah mendengarnya karena tak ada yang lebih mengasyikkan dibanding mendengarnya sendiri di kamar sendiri, di boombox sendiri dengan volume gaspol.

Setelah berganti angkot ke arah yang berlawanan dengan sekolah, kalian tiba disana dan rela menunggu, karena sampai disana toko belum buka. Segera setelah dua jam menunggu, pintu dibuka, kalian menyerbu masuk, melihat-lihat susunan rak ‘New Release‘ gak peduli sang penjaga sedang sibuk menyapu-nyapu membersihkan ruang. Tampak dengan segera album buruan terlihat, dengan tekad bulat kalian meraihnya, namun tunggu, apa itu disebelahnya? ‘Fear of A Black Planet’? Public Enemy baru? Celaka! Iman mulai goyah. Langsung berhitung mana yang harus dibeli karena uang tabungan yang kalian ambil dari ongkos angkot hasil jalan kaki ke sekolah berminggu-minggu itu hanya cukup membeli satu kaset saja.

Akhirnya setelah mempertimbangkan bahwa Sepultura bisa merekam dulu di tetangga dan belum tentu Public Enemy ada yang beli (di tahun 89-awal 90an menemukan sesama fans hiphop sama sulitnya dengan mencari rekaman hiphop itu sendiri) kalian membungkus ‘Fear of A Black Planet’ dan memburu angkot kembali masuk sekolah mengendap pas jam istirahat. Belajar, mencatat pelajaran baik-baik, menjadi anak baik-baik, menunaikan kewajiban lalu pulang ke rumah dengan rasa penasaran tingkat akut. Membuka segel plastiknya, memasukkan kaset ke dalam boombox yang sebelumnya sudah kalian patahkan dua kotak kecil di bagian atas kaset agar terhindar dari insiden bodoh: menekan tombol ‘record’ dan kaset yang baru kalian beli terekam begitu saja.

Kemudian kalian mengagumi sampul albumnya, membaca semua teks di sampul album itu dari depan sampai belakang, termasuk thanks list yang super panjang namun cukup informatif di era kegelapan pra-internet dimana info mengenai hiphop hanya bisa didapatkan di majalah hiphop luar yang kadang kalian beli atau curi di toko buku Q*ta atau di daftar thank you seperti tadi. Boom, track pertama sesudah intro meluncur, kalian memperhatikan amat seksama, dari lagu pertama saja kalian menyadari perubahan besar terjadi pada Public Enemy yang kontras secara musikal dan lirikal dengan album sebelumnya. Kalian membiarkan album berputar tanpa menekan tombol fastforward sampai lagu terakhir habis dan kembali memasangnya dari awal.

Tak sadar sesudah sebulan kemudian kalian telah memutar album itu ratusan kali, hingga kalian hafal hampir setiap kata dalam setiap bar dalam liriknya. Kaset mulai kusut, beberapa bagian mulai tidak enak didengar. Namun demi dewa marmot, kalian tidak pernah berfikir untuk menyimpannya sebagai artefak bersejarah, tak bisa hidup sehari pun tanpa album itu. Sebaliknya album tersebut kalian gas hingga tidak bisa kalian putar lagi dan membeli album yang sama beberapa bulan kemudian. Jika ada yang bertanya mengapa album-album tahun 80-90an begitu menyisakan jejak dan memori juga inspirasi yang sangat luar biasa bagi generasi zaman itu, mungkin karena proses mengkonsumsi seperti tadilah alasannya.

20 tahun lebih kemudian datanglah era digital. Kalian tak perlu lagi kabur dari sekolah untuk mendownload album buruan kalian. Bahkan kalian tak perlu lagi menyulitkan diri menghadapi resiko ditangkap satpam toko buku hanya kalian penasaran dengan info-info hiphop luar negeri sedemikian rupa sehingga kalian harus mencuri majalah import. Dalam sehari kalian dapat mengunduh puluhan album dan mixtape, mendengarnya pun tak perlu lama. Untuk 5-10 detik pertama kalian bisa skip langsung ke lagu selanjutnya untuk memastikan itu album bagus. Sebuah proses mengkonsumsi rekaman yang cukup aneh memang, namun dengan sebegitu banyak album yang kalian peroleh dalam sehari, memang sangat tidak mungkin mendengarkan semua album baru dalam waktu singkat.

Memang saya tak bisa menyangkal era digital seperti sekarang memudahkan kita sebagai nerds mengakses rekaman-rekaman dengan mudah. Banyak album yang dahulu hanya bisa dibayangkan lewat resensi di majalah-majalah luar sekarang bisa saya nikmati penuh. Memungkinkan bagi kita memilah-milah, menyomot asal sembarang album tanpa harus beresiko rugi berat ketika album itu mengecewakan. Mengizinkan kita membuat list terbaik sepanjang tahun, membantu kita memastikan rekaman fisik apa yang wajib dibeli versi wujud fisiknya.

Rilisan fisik bagaimanapun memang tidak bisa digantikan dengan rilisan digital yang tidak kalian pegang wujudnya, dicoreti ditandatangani sebagai klaim kepemilikan sebelum dipinjam tetangga sebelah, dipelototi sampulnya ribuan kali sambil kalian dengar rekamannya, disimpan dipinggir bantal dan kalian terbangun gara-gara ujung sampul kacanya menusuk leher kalian saat tertidur, dipajang berderet yang menyusunnya saja sudah merupakan ekstasi tersendiri.

Era digital memang terbukti mematikan bisnis album fisik. Di Bandung sendiri hanya tersisa satu toko rekaman yang itupun semakin mengecil ruangnya. Namun jika ditelisik lebih mendalam yang runtuh hari ini adalah bisnis rekaman ala industri, cerita bagaimana industri rekaman lebih mengandalkan RBT daripada penjualan album menjadi parameternya. Era digital tak berpengaruh banyak bagi mereka yang memang terbiasa dengan tradisi merilis dan mendistribusikan musik mereka sendiri. Dari metode gerilya lapak, mailorder hingga mendirikan warung kecil meski mereka lebih menggantungkan diri pada penjualan merchandise karena penjualan album tak bisa diandalkan untuk bertahan hidup. Sampai sekarang, komposisi merchandise dan album di toko kecil kami di Cihampelas, masih berbanding 5:1. Menjadi toko yang eksklusif menjual rekaman memang sulit, tapi menjadi tempat dimana kawan-kawan bisa menyimpan rekaman mereka sudah lebih dari cukup.

Saya tidak begitu percaya pada tradisi hari-hari-an. Namun jika ada satu hari untuk mengingatkan kita pada bagaimana peran toko rekaman dalam mata rantai memproduksi dan mengkonsumsi musik bagi generasi kita, saya ucapkan selamat ‘Hari Toko Rekaman.’

Album baru Rajasinga sangat mengagumkan, Komunal baru saja merilis album fenomenal yang saya yakin akan menjadi album lokal terbaik tahun ini. Milisi Kecoa juga baru saja merilis album split dengan band HC/Punk asal Swedia, Harda Tider yang sangat layak kalian dengarkan dan koleksi. Kami akan merilis kaset ‘Phundamental Phun’ milik Domestik Doktrin dalam bentuk kaset sebagai album pertama dalam seri ‘local archive‘ mendokumentasikan album-album keren dalam scene lokal yang nyaris dilupakan waktu. Debut Milisi Kecoa yang saya kehabisan stoknya, juga album pertama The Brutalist School.

Download musik sampai muntah. Dukung teman dan komunitas kalian dengan membeli rekaman fisik.

Posted in: Uncategorized