Eulogi Untuk Sang Bebal dan CD-CDnya

Eulogi Untuk Sang Bebal dan CD-CDnya

“Memang masih ada yang memutar CD?.”

Acara belum 15 menit dimulai, beberapa lapak bahkan belum siap berjualan, dan seorang bapak bertanya. Jaraknya kurang dari semeter di depan saya. Tepatnya di atas, posisi saya berada di bawah meja lapak, menggulung setumpukan poster bonus yang akan dibagikan bagi setiap pembeli rilisan fisik yang kami jual di acara Record Store Day keroyokan di Keepkeep Musik Ciumbuleuit, Bandung yang kini sudah melenyap. Ia mengantar anaknya yang terlihat mulai mengantri di lapak sebelah, saya agak lupa lapak siapa. Kemungkinan besar Disaster Records, karena Grimloc sering bertetangga lapak bila ada event.

Saya berdiri untuk menjawab. Namun sebelum saya melakukannya, Erwin sudah menjawabnya dengan sopan, plus penjelasan panjang lebar soal CD dan rilisan fisik pada umumnya. Sepagi itu, saya pikir bapak itu sudah berbicara dengan orang yang tepat.

Erwin bukan sekedar kolektor CD. Ia punya peran penting di skena musik lokal, paling tidak di Bandung. Setelah absen dari Asia Minor, unit hardcore Bandung era 2000-an, ia mulai merintis usaha vendor produksi rekaman fisik, CD dan kaset, bernama Elora. Kliennya beragam, dari mulai anak SMA nekat (atau banyak uang) yang ingin memproduksi demo band mereka, band-band terkenal, hingga label-label rekaman lokal.

Dalam perkara duplikasi rilisan fisik, baik kaset atau CD, Erwin adalah orang yang berdedikasi penuh pada pekerjaannya. Dahulu sekali, ia sempat mengunggah sebuah foto dengan takarir singkat; “Jika kerja adalah ibadah, maka ini adalah ibadah yang sangat menyenangkan”. Kalimat itu tercermin pada bagaimana ia memperlakukan setiap proyek yang masuk. Ia tak melulu menerima master rekaman lalu memperbanyaknya, namun pula membantu agar proyek tersebut berhasil sesuai yang diinginkan. Tak hanya sekedar menghubungkan lini-lini produksi yang tercerai-berai namun pula memudahkan kawan-kawan untuk menyelesaikan proses akhir album mereka dengan cepat.

Ia selalu memeriksa master yang masuk satu persatu. Jika ada kekurangan atau kecurigaan akan hadirnya kesalahan serius, ia akan memberi tahu dengan segera. Apakah master kalian terlalu panjang durasinya? tulisan apa yang akan tertera di pinggir CD? Kode rilis/nomor katalog kah? Susunan lagu kalian tertukar? (kebodohan yang sering saya lakukan), grafis pada cakram terlalu gelap? atau salah satu lagu pada master kalian cacat? Erwin akan selalu mengingatkan itu jika ada. Artinya, ia mendengarkan master album tersebut lagu per lagu sebelum ia kirim ke tempat stamper untuk dibuat master cetak. Bayangkan, lagu per lagu, setiap album.

Jika ada orang pertama di luar kelompok musik/tim kalian yang mendengar album penuhmu tanpa skip, bisa jadi Erwin lah orangnya. Ia mendengarkan dengan penuh seksama. Album punk, hardcore beragam jenis, metal dengan segala cabang dan rantingnya, shoegaze, pop, hip hop, alternatif rock, folk kopi senja beragam varian, bahkan qasidahan dan murottal. Tak jarang kemudian ia komentari dengan berbunga-bunga jika ada album yang benar-benar ia sukai. Favoritnya selalu HC punk dan metal, namun ia mengapresiasi dengan gempita bila ada album hip hop yang ia tiba-tiba jatuh cinta. Terakhir ia sempat memberikan komentar singkat perihal album Ken Amok yang dirilis bulan lalu di story Instagramnya.

Ini belum termasuk hal-hal krusial lain bagi kawan-kawan yang memproduksi sampul albumnya pula lewat Erwin. Jika kalian buta akan desain grafis, proses cetak-mencetak/pre-press, atau tak punya pengetahuan apapun soal jenis-jenis kertas, rupa-rupa teknik finishing, Erwin akan hadir sebagai penyelamat kalian, menjadi konsultan tanpa bayaran. Ia sudah sangat terbiasa dengan dokumen mode RGB yang jelas berubah saat dibuat prototip cetak, atau perkara layout berantakan gara-gara lupa mengubah font menjadi bentuk vektor. Atau yang paling sering; ukuran dokumen tidak sesuai, lebih satu-dua milimeter pun bisa berbahaya. Erwin paham itu semua karena kami sama-sama pernah menjadi buruh percetakan di satu masa lalu.

Erwin mencintai musik dengan kesehariannya. Ia menafkahi keluarganya yang ia cintai dari sesuatu yang ia cintai. Berpanjang lebar dengan Erwin soal musik merupakan momen tersendiri yang sulit diabaikan. Jika ia mampir untuk sekedar mengantarkan CD ke markas Grimloc, saya bisa menghabiskan segelas kopi berbincang dengannya tentang betapa ajaibnya racikan beragam metal lawas di tangan Spiritworld, atau kecenderungan new wave dan punk pada musik band-band baru, semacam Home Front atau versi lokalnya; mmmarkos!, band asal Surabaya.

Event lapakan musik serupa Record Store Day adalah event favoritnya selain konser musik dan laga Persib. Sepagi itu, di depan lapak Grimloc, ia ikhlas menghabiskan waktu lama berbincang dengan bapak-bapak tadi. Erwin meminjam CD dari lapak kami untuk membantunya menjelaskan jenis-jenis jewel case, wadah plastik bening yang biasa dipakai sebagai tempat bersarang sampul album. “Ada yang bisa menyimpan dua CD sekaligus ‘Pak, tapi plastiknya lebih ringkih”. Tak lupa ia paparkan detail ongkos produksi dan tetek bengek kalkulasi royalti, keuntungan dan lain sebagainya. Yang terakhir ini mengingatkan saya pada hal lain soal Erwin.

Banyak kisah tentang upayanya berbagi ilmu dan pengalaman mengelola produksi rekaman fisik dengan banyak kawan-kawan lain di banyak daerah agar mereka dapat mandiri. Saya selama ini berpikir klien Erwin hanya kami-kami saja di Bandung. Sampai satu hari beberapa bulan lalu, Erwin untuk pertama kalinya masuk ICU dan perlu rawat inap dalam waktu cukup lama. Saat ia dirawat, banyak sekali kawan dari luar kota bahkan luar pulau mengontak saya, menanyakan apakah ada alternatif tempat produksi CD lainnya. Nyaris semua kota yang memiliki jaringan saling terhubung pasti pernah memproduksi CD di Elora. Semua kelimpungan saat Erwin mulai sakit-sakitan.

CD memang semakin jarang diproduksi seiring dengan semakin menurunnya minat orang terhadap format tersebut. Duapuluh tahun lalu mencetak 3000-5000 bahkan 10.000 keping adalah kewajaran bagi grup-grup musik independen lokal. Sepuluh tahun kemudian menjual 500-1000 masih memungkinkan. Hari ini, menjual 50 dari 250 keping yang kalian cetak sudah sebuah bentuk prestasi.

Masuk akal bila semakin sedikit pula tempat-tempat produksi yang tersisa. Bahkan untuk membuat stamper, kita harus mengirim masternya ke Singapura karena satu-satunya pabrik stamper di lokal sudah gulung tikar. Erwin menjelaskan hal tersebut setahun lalu. CD sudah tidak lagi sepopuler era keemasannya sejak penghujung 90-an hingga awal 2000-belasan. Belakangan saat trend kaset mulai naik, penjualan CD bisa seimbang bahkan tersaingi oleh kaset.

Memasuki 2020-an, di zaman di mana algoritma tahu lebih banyak soal selera musik kita daripada kita sendiri, membeli CD terdengar seperti sesuatu yang ganjil—nyaris absurd. Beberapa band yang memproduksi dan fans yang membeli CD adalah orang-orang bebal yang masih memikirkan pengalaman memegang sampul dan membuka cangkang sebagai bagian dari tradisi mengkonsumsi musik. Apa sulitnya mengetik nama musisi-musisi itu di ponsel kalian?

Tentu saja jangan pernah berharap lebih dari penjualannya. Bagi band-band yang tidak populer di platform digital keuntungannya masih jauh lebih mending daripada royalti streaming, tapi tetap saja tidak bisa diharapkan. Beberapa band menggratiskan CD mereka, atau menjualnya sebagai bonus merchandise. Jika kalian ke pasar-pasar loak, kalian bisa membeli CD lama dengan harga tak lebih dari semangkuk bakso.

Bagi orang-orang bebal CD punya bobot yang tak tergantikan. Harfiah dan harfiah: mereka berat secara fisik, dan berat secara emosional. Erwin adalah salah satu dari mereka. CD mengingatkannya pada era dimana ia bukan hanya perkara musik, namun pula tentang kehadiran. Tentang sesuatu yang bisa disentuh, disimpan, diwariskan. Begitu ujarnya di satu kesempatan. Cukup punya pembeda dengan dokumen MP3 yang bisa hilang saat ganti PC/laptop atau hardis jebol, atau playlist yang lenyap saat koneksi buruk.

CD memaksa kita untuk hadir secara penuh. Kalian perlu upaya lebih dari sekedar browsing secara acak pada layar-layar gawai. Perlu niat untuk benar-benar sengaja menyempatkan. Untuk membuka bungkusnya dengan sabar. Duduk, membuka plastiknya dengan pelan atau kasar tergantung berapa rapat bungkus plastik itu membungkus. Bunyi tray yang terbuka, menarik sampulnya perlahan agar tidak robek oleh kaki-kaki jewel case, lalu suara putaran mesin, semuanya seperti bagian dari satu liturgi. Dan ketika lagu pertama mulai, ruangan kalian bisa berubah menjadi semesta lain.

Setiap CD punya cerita—bukan hanya dari musiknya, tapi juga dari wujudnya. Retakan kecil di pojok, stiker toko musik yang sudah memudar, obistrip yang sengaja disisipkan jika ada, atau booklet kecil berisi lirik, liner notes, foto, atau ucapan terima kasih dari personel band. Kebebalan itu berasal dari hal remeh temeh seperti ini. Menganggap tekstur dan bobot sebagai bagian dari cerita. Bahkan bau cetakan yang masih tercium bila itu barang baru, atau bau kertas tua jika disimpan terlalu lama. Kebebalan itu terkadang menemukan hal kecil lainnya yang sering terlupakan. Nama teknisi mixing misalnya. Erwin pernah bertanya, mengapa nyaris semua rilisan Grimloc di-mixing mastering oleh Hamzah Kusbiyanto?

Hari ini, orang-orang bisa mengakses jutaan lagu hanya dengan satu klik. Mereka bisa pindah dari Kendrick Lamar ke Dua Lipa, Blood Incantation lalu Didi Kempot dalam beberapa detik. Bagi orang-orang bebal semuanya terlalu mudah, mereka kehilangan pengalaman. Kehilangan kesengajaan. Lagu jadi lewat seperti suara klakson di jalan: terdengar, tapi tak menetap. Mungkin sedikit marah-marah jika klaksonnya sejenis klakson telolet basuri. Ponsel bisa memberi ribuan lagu dalam satu ketukan. Tapi justru karena itu, tiap lagu kehilangan berat. Kehilangan ruang untuk tumbuh dalam ingatan. Siapa pula yang butuh ribuan lagu dalam satu hari?

Bagi orang bebal seperti Erwin, CD adalah peristiwa. Rilisan fisik, baginya, adalah bentuk penghormatan terhadap musik. Erwin hafal betul bagaimana kawan-kawan di komunitas thrash metal di Bandung Timur berjibaku melahirkan lagu-lagu mereka, misalnya. Sesuatu yang ia perlu hormati. Ketika upaya-upaya itu bermuara pada sebuah album, ia tidak lagi hanya hidup dalam suara, tapi dalam objek, dalam upaya, dalam jarak tempuh untuk mendapatkannya, atau mungkin prosesnya. Pernah ada yang berusaha berjalan kaki atau berhenti merokok selama 3 minggu agar bisa membeli CD? Bagi orang seperti Erwin, CD adalah jejak—jejak dari waktu, dari pilihan, dari kesengajaan.

Ia adalah keputusan. Sebuah upaya. Sebuah kesediaan untuk menyimpan sesuatu, memberinya tempat, dan menemuinya lagi di waktu yang direncanakan atau malah tak terduga. Bagi seorang ‘kontraktor’ yang bersiap pindah rumah bila kontrakan habis masa seperti saya, tak jarang menemukan kembali satu CD lama saat beres-beres pindahan, lalu memutarnya. Tiba-tiba teringat masa ketika CD itu pertama kali saya peroleh. Saya masih ingat satu sore Deden mampir ke rumah memberikan CD split antara band-nya Hooded dengan band asal Perak, Malaysia, Disaster Funhouse di satu musim panas.

Dan mungkin bagi orang-orang keras kepala yang membuat rilisan fisik seperti CD menjadi penting: ia bukan hanya rekaman suara, tapi juga rekaman waktu. Ia menyimpan versi lama dari diri kita, dan diam-diam menjaganya. “Streaming bisa memberimu musik-tapi CD memberimu peristiwa,” tentu dengan mudah dapat dituduh sebagai upaya meromantisasi. Tak sepenuhnya salah. Namun momen kehilangan kesempatan untuk sengaja memilih album dan memberinya waktu untuk tumbuh dalam diri kalian adalah hal yang nyata. Sekali lagi, siapa yang butuh puluhan atau ratusan album dalam satu minggu?

Di sudut-sudut kota yang punya seribu pilihan, musik seringkali menjadi latar yang lewat begitu saja. Di kafe, kedai kopi, mall, di Tiktok. Di dunia yang makin sibuk mencari yang cepat dan instan, dalam belantara pilihan, algoritma loudness, CD adalah bentuk cinta yang diam-diam. Yang tidak menuntut viralitas atau validasi, tapi menyimpan makna dalam sunyi. Jika perlu kalian akan tergugah mencatatnya sedikit ketika terkesima pada satu album tertentu. Seringkali yang dibutuhkan orang-orang bebal hanyalah kesempatan untuk menyepi dalam kesunyian yang diputar dalam 44.1 kHz. Momen kalian sendiri yang disengaja disempatkan setelah berupaya penuh memperolehnya. Tak bisa disela notifikasi. Tak bisa loncat-loncat sesuka hati. Sesuatu yang tak perlu terdistraksi bewara pop-up “Video terbaru dari band favoritmu sudah bisa disaksikan” pada layar utama ponsel kalian. Dalam keriuhan algoritma, kadang kalian perlu ke pinggir sejenak, tanpa harus direcoki terus menerus oleh rekomendasi.

Mungkin hal-hal remeh ini yang membuat Erwin mencintai pekerjaannya. Saya membayangkan rutinitas keseharian Erwin saat memasukkan sampul ke dalam jewel case satu persatu dengan telaten. Sembari mendengarkan CD yang ia ambil acak dari setiap dus berisi 50 keping untuk memastikan kualitas duplikasi. Ia meyakini CD tersebut akan mampir ke tangan seseorang yang dengan niat penuh sedang menjalani jejak-jejak dari waktu, pilihan dan kesengajaan seperti dirinya. Untuk mengingatkan produk itu bukan hanya sebongkah cakram plastik yang melewati proses produksi industri sebagai produk massal, yang ia jelaskan panjang lebar kepada seorang bapak yang mengantar anaknya mengantri di event Record Store Day Bandung 7 tahun lalu. Bahwa musik di dunia yang disesaki produk-produk budaya populer bukan sekedar gelombang suara, tapi hidup di antara ruang dan waktu—dalam bentuk, dalam kenangan, dalam peristiwa kecil di ruang sempit.

Hari minggu lalu sudut-sudut Bandung berbinar-binar. Kabar Persib kembali menjuarai Liga merubah kota ini kembali menjadi keriuhan acak, seketika teringat Erwin malam itu. Saya menghubunginya lewat aplikasi pesan sambil menanyakan apakah saya masih bisa menambah jumlah CD yang sedang Grimloc produksi. Saya yakin ia sedang berpesta entah di warung kopi mana bersama teman-teman lain. Namun sebaliknya, yang saya dapatkan adalah kabar buruk. Istrinya membalas pesan saya dengan berita bahwa Erwin sedang kritis di IGD RS Santo Yusuf setelah terjatuh di kamar mandi. Kemungkinan penyakit gula dan strokenya kembali menyerang, kali ini cukup fatal.

Erwin berpulang keesokan malamnya. Pada Selasa, 6 Mei. Kami berkumpul di jalan kecil depan rumahnya malam itu. Bergantian masuk melihat Erwin untuk terakhir kali, beberapa kawan menshalatkannya. Tubuh gempalnya terbaring di ruang tamu kecil yang dindingnya dipenuhi rak-rak CD koleksinya. Duduk lesehan di samping jenazah, saya gagal fokus. Perhatian saya tertuju pada dinding penuh CD itu. Saya yakin di situ hidup peristiwa-peristiwa penting dalam hari-hari Erwin.

Selamat jalan ‘Win. Terimakasih atas bantuan dan inspirasinya. Pileuleuyan.

Bandung, 07 Mei 2025.

Leave a comment