Karena satu dan lain hal konser Anthrax di Jakarta dikabarkan diundur hingga awal tahun depan. Kami sedikit agak kesal. Wajar, ini kali pertama Anthrax main di sini. Jika kami tak bisa menonton mereka di zaman album-albumnya menjadi anthem keseharian, ini kesempatan terbaik menebusnya meski terlambat dua dasawarsa.
Terlebih mereka baru saja merilis album baru dengan catatan penting; vokalis lama mereka, Joey Belladona, kembali bergabung. John Bush melakukan tugasnya dengan baik, tapi bagi kami rasanya Anthrax tak bisa dipisahkan dengan Belladona.
Tapi tak mengapa, toh hanya mundur empat sampai lima bulan saja. Lagipula rentang waktu itu bisa berguna untuk menyimak lebih lama album baru mereka, ‘Worship Music.’ Ekspektasi seiring kembalinya Joey cukup tinggi, dan syukurlah ‘Worship Music’ ternyata cukup memuaskan. Sesaat setelah blast-beat Benante membuka album saya menemukan kembali apa yang sempat terlewatkan pasca ‘Sound of White Noise’. Anehnya, Belladonna menunjukkan progressnya ketika ia justru menyanyi nyaris mirip John Bush. Momen gas pol tiba di kojo ‘Fight ‘Em Til You Cant’ dengan lirik tentang serangan zombie, riff tornado khas Scott Ian dan chorus yang catchy.
Meski tidak sehebat empat album pertama mereka, sedikit banyak ‘Worship Music’ berhasil membawa saya pada memori era lapangan Karangsetra menonton Sucker Head dan Roxx di awal 1990-an. Yang saya tak prediksi adalah track penutup tersembunyi. Sungguh di luar dugaan Scott Ian dan kawan-kawan menutup album dengan “New Noise”, lagu sakti Refused almarhum dari album ‘The Shape of Punk to Come’ yang masih terdengar sama hebatnya dengan sewaktu dirilis 12 tahun lalu.
Sebuah mahakarya yang menurut sang vokalis, Dennis Lyxen, dibuat pasca kembali dari tur dunia circa 1997 dan menemukan kenyataan mereka tak diterima dimana-mana. Baik di skena HC Metal era Victory Records maupun di skena punk politis yang didominasi band-band anarko dengan sound crust a la Discharge, Conflict dan noisecore pertengahan 1990-an. Mereka mengurung diri di studio dengan attitude gas pol; “We’re gonna make a record on own terms, fuck those idiots”.
‘The Shape of Punk to Come’ adalah bentuk harfiah dari sub-judul album mereka: A Chimerical Bombination in 12 Bursts. Refused meramu tiga unsur paling maut dari hardcore punk 1980-an akhir/1990-an awal. Kalian bisa mendengar eklektikisme Fugazi, kebrutalan Born Against hingga sloganisasi dan keabsurdan Nation of Ulysses (yang saya rasa merupakan pengaruh terbesar mereka). Semuanya adalah band ultra-politis sekaligus maha dahsyat dalam hal merepresentasikan hardcore di eranya. Diracik dengan intuisi tingkat tinggi, dengan skill penulisan lagu maha jenius dan, dengan sangat disengaja, Refused melakukan pencomotan referensi dari mana-mana. Sejumlah porsi free-jazz, secuil techno, sejumput Wagnerian vibe tanpa meninggalkan sedikitpun kebrutalan hardcore yang membuat mereka terkenal sebelum album ini lahir.
Tentu saja, semua di atas tadi akan terdengar biasa tanpa ruh yang ditiupkan Lyxen ke dalam setiap lagu. Lyxen-lah yang memberi nyawa album ini dengan menulis salah satu bentangan lirik-lirik terbaik (juga catatan pendamping pada insert) dalam sejarah hardcore/punk dengan (lagi-lagi) rujukan dari segala penjuru. Novel Allen Ginsberg, kutipan Emma Goldman, Guy Debord dan literatur para Situasionis, judul novel H.G Wells yang dikutip Ornette Coleman untuk albumnya ‘The Shape of Jazz to Come,’ yang ia jadikan gestur album, ditulis dengan kecermatan dan intensitas provokasi super-serius. Seolah ia adalah Subcomandante Marcos di malam tahun baru menyerang San Cristobal dan menulis liner notes layaknya manifesto dengan kemarahan di tenggorokan.
Lyxen dengan cemerlangnya berdendang centil, menyambat ruh Ian MacKaye, bernyanyi getir hingga berbisik dengan nada orasi dingin layaknya hidup di hadapan tank baja. Berteriak sepanjang album seolah sesi rekaman mereka adalah hari terakhir sebelum besok mampus. Setiap lagu menghanyutkan di setiap momen dan meledak di saat yang tepat.
Begitu hebatnya album ini, sedemikian rupa menyedot energi mereka habis-habisan, sehingga menjalani tur promo album dengan kemuakan antar satu personil dan lainnya, berakhir pada sebuah acara yang dibubarkan polisi dan mereka bubar jalan untuk selamanya. (Momen pembubaran itu sekalipun cukup menggetarkan. Sebuah klip dalam DVD bonusnya memperlihatkan bagaimana para penonton menolak dibubarkan aparat dan bersama-sama meneriakkan “Rather Be Dead”, lagu Refused dari album sebelumnya).
Hingga hari ini bulu kuduk saya selalu berdiri setiap mendengar “Summer Holiday vs Punk Routine” dan “Liberation Frequency” lewat, tangan tremor saat memutar “Tannhausser/Derive” dengan volume maksimum hingga suara violin-nya menusuk. Tak banyak album hardcore dalam hidup saya yang proses mendengarnya begitu menggugah. Album ini salah satunya. Saking seringnya album ini kami putar dahulu, banyak memori numpang lewat saat kembali mendengarnya. Pernah ada waktu, pada satu demonstrasi di sekitar 1999, (aksi menentang kembalinya militer dalam kancah politik lewat Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya), kami terpojok di sudut kota, bersembunyi di sebuah kampus, dikejar ratusan polisi anti huru-hara. Seorang kawan punk dari Gedebage, sempat-sempatnya memutar “Apollo Program was a Hoax” dari walkman untuk membunuh pesimisme bahwa kita akan gagal. Juga kala seorang sahabat mabuk mengamuk membawa belati siap mengacak-ngacak sebuah kampung mencari orang yang mengencani pacarnya, dan kami menenangkan dia dengan lagu favoritnya, “Tanhausser/Derive”.
‘The Shape of Punk to Come’ pula memiliki catatan personal bagi saya dalam irisannya dengan politik di era kefrustasian pasca runtuhnya rezim Suharto. Album ini merupakan gerbang awal bagi saya memasuki segala hal yang beririsan dengan peristiwa Mei ‘68. Cerita bagaimana gelora revolusi dari demonstrasi terbesar dalam sejarah Perancis kontemporer itu berakhir setelah Partai Komunis Perancis (yang merasa dirinya wakil dari gerakan besar itu) secara menyebalkan berunding dengan rezim dan menghasilkan pemilu legislatif yang menjadi pintu kembalinya rezim de Gaulle. Temuan cerita ini menemukan relevansinya ketika di penghujung 2000 kami mulai bermasalah dengan PRD yang kala itu semakin menunjukkan watak otoritariannya. Berujung pada konflik yang membuat saya dan beberapa kawan lain keluar dan menemukan ulang inspirasi emansipasi dalam banyak hal yang hadir dari Mei ‘68, terutama Situasionisme dan wacana anti-otoritarian lainnya. Selain kiriman pamflet dan buku Crimethinc era ‘Days of War,’ ‘Nights of Love’, album ‘Shape of Punk to Come’ memiliki peran penting menghubungkan itu semua, meski persinggungan kami dengan wacana anarkisme terjadi jauh hari sebelum album ini datang.
Album ini kadung menjadi bagian dari memori kolektif skena HC Bandung menjelang milenium baru datang, paling tidak di lingkaran kolektif Harder di Cihampelas. Sehebat itulah album ini meninggalkan jejak di hidup kami, sehingga ada semacam kekhawatiran saat Epitaph mengumumkan bahwa mereka akan merilis ulang album ini tak hanya dengan bonus rekaman live dan wawancara, namun juga berisi versi terkini di mana (dalam versi DVD) Refused melakukan lebih dari sekedar me-mastering ulang ‘The Shape of Punk to Come.’ Mereka mengotak-atik komposisi, merekayasa ulang beberapa lagu, memberinya ornamen tambahan dan lain sebagainya. Saya berasumsi bermain-main dengan maha karya itu bisa jadi mengacak-acak kesakralan, total blasphemy.
Ternyata saya salah total. Semua kekhawatiran tadi berbalik seiring dengan lagu demi lagu diputar. Lagi-lagi passion mereka terhadap musik (dan politik) berbicara dan album ini justru terasa lebih buas. Seolah membuat versi asli tahun 1998 dulu justru seperti teaser-nya. Kesempatan re-issue kali ini nampaknya mereka manfaatkan sebaik-baiknya. Semua suara semakin terdengar, kontras semakin terasa, bahkan versi ekstensif “Refused Are Fuckin Dead” menjadi lebih terdengar seperti versi asli yang seharusnya, bukan remix. Mereka seolah berujar seperti inilah album ‘The Shape of Punk to Come’ seharusnya terdengar.
Keberhasilan mastering ulang mereka seolah menyindir saya yang sudah mirip bagian dari puritanisme ketika berharap versi asli mereka tak diutak-atik. Persis larik-larik Lyxen paling pol dari album itu, yang sangat kental pengaruh para Situasionis dari Mei ‘68; “We’re all tired of dying, So sick of not trying. Scared that we might fail. We’ll accomplish nothing. Not even failure”. Padahal di hadapan hidup yang terlalu membosankan dibiarkan begitu saja, kita sudah harus mulai bersiap untuk apapun, termasuk bersiap menelan mentah-mentah kenyataan bahwa pasca ‘The Shape of Punk to Come’ ini dirilis justru ketika wajah paling buruk punk rock sedang menyeruak dengan hadirnya gelombang corporate emo-punk era Myspace yang lebih menggelikan dari eyeliner yang mereka pakai. Hampir semua berujar terpengaruh Refused, termasuk Paramore dengan terang-terangan memasukkan elemen “Liberation Frequency” dalam salah satu lagu mereka.
Tentu album ini tak berhasil dalam menstimulasi generasi baru punk yang mereka harapkan. Tak bisa disebut berhasil dalam mengembalikan punk menjadi alat personal dan komunal membongkar kejumudan setelah empat dekade kelahirannya tak menemukan kenyataan, kecuali di pojokan-pojokan skena D.I.Y tertutup yang memang sudah begitu adanya sejak Profane Existence edisi pertama dicetak. Namun setidaknya 12 lagu dahsyat dalam album ini pernah menjadi bagian dari inspirasi bagi generasi baru aktivis radikal pasca Battle of Seattle sampai sekarang.
Dan ini adalah hari yang aneh untuk mengenang Refused, menemukan “New Noise” di album baru Anthrax Worship Music. Sebuah album yang notabene saya berharap dapat beromantisme dengan old noise. Terus terang, tak pernah saya mengharapkan Anthrax berubah banyak atas alasan progresifitas. Apa itu pepatah lamanya? Jika tidak rusak jangan diperbaiki? Yang pasti kami sudah siap dengan tarian perang nanti saat mereka datang dan membawakan “Indian“ ke tengah moshpit. Seperti imajinasi kami dua dasawarsa lalu, dan masih belum terlambat untuk menebusnya.
Handy
December 7, 2013
kok bisa bang, corong hegemoni selera?
mungkin mencium pantat jadi pilihan kita semua semenjak hal seabsurd “selera”(aesthetic value) dibentuk oleh kemampuan akses terhadap sumber – sumber hak hidup.
cuma segelintir yang masih bernazar melawan kebosanan, hegemonisasi, homogenisasi, dan ujung ujungnya malah jadi alien, fuck lah.
ps: bang tulisan baru nya mana?
regards.
gutterspit
December 7, 2013
Lah ini pertanyaannya aneh masbro. Kayaknya ada yg miss situ bacanya. Atau saya yg miss baca pertanyaannya?
Tulisan baru kalo ada udah saya pasang pasti
Handy
December 7, 2013
kayaknya ane yg miss bacanya, cuma bingung sama statemen ‘corong hegemoni selera’ aja bang,
imho bang, kalo ane kaitin politik selera ama politik hidup & ekonomi, banyak yang jipan(jilat pantat) karena ketika hak2 yg sifatnya ekonomi turut andil memberikan bargain position atas akses ke pembentukan selera bang,
yang mana ane yakin nilai ekonomi terkadang dijadikan justifikasi ketika seseorang menjadi ‘elit selera’,
lebih banyak akses informasi, makin bisa jadi hakim selera, bener gak?.
just my 2cent (maap kalo mbingungi, my another talkshit,perhaps,hehe)
gutterspit
December 7, 2013
No no no. Its ok. Dan saya sepakat. Hanya saja konteks yg saya bicarakan disini beda. Coba masbro baca lagi. Dan itu sebenernya nyambung ama kolom saya sebelumnya di majalah itu. Soal penghakiman ama yg mencoba elit di wilayah selera, yg menurut saya yg harus dihakimi itu justru yg jadi elit di wilayah ekonomi (baca: dominasi kesejahteraan).
Handy
December 7, 2013
ane yang miss bacanya, terlalu terpaku ama aspek “selera” itu, jadi miss konteks sospol nya nih, ane setuju bang, elitisme dalam ekonomi butuh dihakimi, dan kuliah 8 semester pun belum cukup untuk menjadi problem solving buat masalah itu, politik praktis butuh strategi untuk dapat menjadi aktual.
yang ane penasaran, selama ini pada nangkep gak reader tulisan abang yang di dominasi oleh, mengutip kata abang “mainstream ekstrem”?
yang mungkin(ini cuma mungkin lho ya), selama ane liat blog ini, reader yang posting comment kok kayaknya pada apolitis semua, pada lebih senang talkshit about music culture, gossiping & fashion.
simbiosis kultur musik dan politik imho jaman sekarang udah gak efektif, wong sama media biasanya dijadiin jualan,
begitu ada yang mencoba “berbeda” dalam arti kata seperti yg ane bilang di post paling atas ane, mereka yang nyoba langsung di alienisasi oleh publik.
tapi tulisan abang emang khas, mix antara politic dan music,& coolness(aesthetic value) hehe,
bang kalo buat referensi penulisan ada saran gak buat ane,
penulis yg style nya kayak abang tapi politik & movies?, ane butuh buat tugas nih bang 🙂
thanks bang, salam dari jogja, maen maen dong ke mari 🙂
ps:duluu bgt sekitar 6 atau 7 tahun yang lalu ane pernah email2 an ama abang, masih bocah banget(sekarang juga masih sih hehehe), isi emailnya dulu cuma talkshit hehe, tapi bukan kayak email haters gak penting yang masuk inbox abang, dulu cuma nanya – nanya aja.
Acil
December 8, 2013
My fav band ever!