Bandung semakin pengap oleh aroma hegemoni korporasi, kesewenangan walikota dan semerbak penetrasi mafia. Dengan kadar konflik yang jauh di bawah daerah-daerah berkrisis, kalian bisa membayangkan bagaimana kawan-kawan di Kulon Progo, Kebumen, Sumbawa, Pati, Blora dan daerah-daerah lain yang tingkat kekerasan aparatnya lebih intens di banding Bandung atau kota-kota besar lainnya. Kala semakin tengah ke kota hegemoni negara semakin menguat menyebalkan, jauh ke pelosok daerah sana justru negara semakin tak berguna, yang dengan ironis digantikan posisinya oleh para korporasi. Seperti di radius Freeport, Papua dimana Polisi tak lebih dari sekedar hansip bahkan mungkin Pramuka.
Seorang sahabat yang saya selalu kagumi intensitasnya, pulang dari advokasi keliling daerah-daerah pelosok. Malam itu kami membatalkan pertemuan karena beberapa kawan di Ujungberung tertimpa musibah yang nyaris mirip: kecelakaan motor di malam hari. Sambil menunggu ambulans tiba di RS Borromeus, kami berbincang menggelar tikar di pojokan angkringan Magelang di satu sudut jalan Ganesha. Di antara teh tarik dan gorengan dingin, ia bercerita soal satu kasus yang mempertemukannya dengan Kapolda lokal di satu pelosok dan terlibat dalam perbincangan soal kemenangan. Lagi-lagi soal kemenangan yang menurut mereka akan sulit kami raih melawan otoritas seperti mereka dengan begitu naif-nya. “Sudahlah, hidup ‘wajar’ saja”. Entah apa yang ia maksud ‘wajar’. “Saya baru saja bertemu Tuan A, anda tau siapa dia kan? memegang hampir semua konsesi kasus tanah disini, membiayai departemen kami, dan tentu akan mudah menyingkirkan anda semua dengan sekejap, jika ia mau. Kau tau ada berapa mahluk-mahluk sejenis Tuan A di propinsi ini? lalu bayangkan di Indonesia?”
Saya tak pernah terbiasa dengan reportase seperti itu meski sering mendengarnya. Ada sedikit kepesimisan menyelinap. Seorang kawan lainnya dalam sebuah forum solidaritas, sempat berbagi kisah betapa pesimisnya ia berjuang sendirian. Kala menuntut pengembang menghentikan pembangunan properti yang meluluhlantakkan lingkungan di daerahnya. Mendangkalkan permukaan sungai dan membanjiri kampungnya dengan lumpur. Dukungan dan kesolidan warga tak bertahan lama, semakin hari semakin menipis. Semua teori pengorganisiran dan pengalaman menahun berkeringat dingin di hadapan konflik komunitas tak ada artinya di hadapan gabungan tebalnya tembok birokrasi, dompet pengembang dan kokohnya hegemoni ormas preman yang cukup membuatnya bertanya pada dirinya sendiri apakah ini layak diperjuangkan. Sendirian pula, pasca rekan-rekannya pamit mundur satu persatu bergabung pada barisan mereka yang -dalam kalimat Kapolda di awal tadi- ingin ‘hidup wajar’. Puncaknya mungkin ketika sang ayah ternyata berpindah keberpihakan. Di Cimenyan, tak perlu percaya pada teori konspirasi untuk meyakini ada kekuatan besar di belakang ketidakadilan. Hanya mereka yang tak peduli pada kemenangan dan berharap hidupnya tidak pernah membosankanlah yang dapat bertahan di kondisi demikian. Dengan rentang waktu yang sudah menahun seperti ini, kawan tadi adalah salahsatunya.
Dari cerita perihal orang-orang di belakang layar republik ini yang dapat mengatur posisi dan jalannya pemerintahan hingga cerita apa yang terjadi pada stasiun TV daerah pasca akuisisi sehingga patuh mengikuti kemauan walikota untuk ‘menetralisir’ berita dan membabat acara-acara kritis demi ‘suasana kota yang kondusif’, kami tak bisa membayangkan kemenangan apa yang bisa di raih di waktu-waktu seperti ini. Mereka hampir memiliki semuanya. Kami akan mengiyakan dengan segera jika memang kesimpulannya adalah apakah kami tak akan pernah menang.
Kita memang akan kalah besok. Disingkirkan lusa. Dilenyapkan minggu depan. Terpuruk berulang setiap tahun. Dimakan habis kompromi di penghujung hari. Namun bukan hari ini. Mungkin belum, mungkin tak akan pernah. Yang pasti bukan hari ini. Kami masih punya hari ini untuk dihabiskan, sampai waktunya kami benar-benar lenyap.
Bukan hari ini, bukan atas alasan-alasan heroik. Hanya sedikit kewajaran kala kami masih ingin hidup wajar memiliki harapan. Wajar yang bukan dalam tanda kutip.
– Untuk kawan-kawan di pelosok. Di Kulon Progo, Blora, Pati, Kebumen, Sidoarjo, Deli Serdang, di pelosok manapun kala krisis berlanjut, konflik bertaring dan keadilan hampir rata dengan horison.
– Untuk kenangan kawan kami Abdul Rakhman Feraz, nampaknya dunia tak mengizinkanmu untuk menyerah. Selamat jalan kamerad. You will be missed.
bell
August 22, 2011
Pengadilan memfonis pak tukijo 3 tahun penjara, melebihi tututannya… hiks menyedihkan! sebuah perang yang tak mungkin akan kita menangkan,.. bojuis biadap…
Kudil
December 31, 2011
Ali bin Abi Thalib sahabat Nabi Muhammad pernah bilang : “Kebaikan yang tidak sistemik tidak akan pernah bisa mengalahkan Kejahatan yang sistemik”. Jadi mungkin mafia harus dilawan mafia. Kita bikin kerajaan mafia “putih” yang bisa buat tandingan mafia “hitam”. mungkin itu jalan satu2nya dan mungkin anda bisa memulai kerajaan anda sendiri? 🙂
ANTI-ORMAS Salam Muntah, Muak, Harakiri Bandung
May 24, 2012
2012 Bandung Kota ORMAS berkedok Preman, hampir di setiap stasiun, terminal, banyak yg menggunakan atribut Ormas untuk menakut2in kami warga Bandung yg makin cengeng dgn segala bentuk konvoi2 dan aksi bentrok.. yay! setelah mulai menlenyapnya gangster. yg mulai marak juga skrg adalah gangster berkedok ormas dan bla bla bla.. intinya memuakan!!! dan akhirnya.. Bentrok ormas yg terjadi di soreang-banjaran kemarin! membuat: MUAK MUAK MUAK, Muntah!!! makin banyaknya pengendara motor yg “SOK” dengan menggunakan atribut ORMAS. Fakkk!!! Selamat Buat Para Penguasa, ada Banyak Bodyguard buat kalian saat ini, di Bandung.. silahkan berinvestasi, berbisnis, & berkuasa di kota kembang.
Salam Muntah
Warga Bandung
Hambs Dekil (@HambsDekil)
July 27, 2016
Salut untuk Kawan Feraz,..
Selalu beristirahat dalam damai disana,..